Wednesday, January 26, 2011

Skema Batas Usia Dewasa


 Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/blog-post.html
 

The Miranda Rights

Kalau anda sering menonton film Amerika yang menyangkut penjahat dan polisi, pasti anda pernah mendengar kata-kata yang diucapkan polisi ketika menangkap seorang tersangka yang berupa : "You have the right to remain silent. Anything you say can be used against you in a court of law". Jika diterjemahkan kira-kira akan memiliki arti : "Anda punya hak untuk berdiam diri, dan apapun yang anda katakan bisa dipakai sebagai bukti di muka pengadilan untuk memberatkan kasus anda".
Kalimat diatas adalah bagian dari apa yang dikenal dalam hukum Amerika sebagai Miranda Rights atau Hak-Hak Miranda, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam sebuah keputusannya pada tahun 1966. Pada hakekatnyaHak-hak Miranda adalah jaminan bahwa tersangka tidak boleh dipaksa membuat pernyataan di luar pengadilan, yang akan merugikan dirinya sendiri. Namun sekarang telah banyak kelompok kepolisian, para penyelidik kejahatan [investigator] dan perkumpulan jaksa penuntut umum, meminta kepada Mahkamah Agung supaya mencabut atau membatalkan Hak-Hak Miranda itu, dengan alasan bahwa “hak tersebut hanya merugikan masyarakat banyak, khususnya para korban kejahatan”.
Paul Cassel adalah seorang pengacara dan Guru Besar ilmu hukum di Universitas Utah. Dia adalah pendorong utama untuk dihapuskannya kewajiban polisi memberi tahu tersangka akan hak tersebut. Cassel mengutip sebuah kasus dimana seorang terdakwa dibebaskan dari tuduhan pembunuhan, karena polisi tidak membacakan Hak-Hak Miranda, sebelum dia memberikan pengakuan.
Menurut para pendukung peraturan itu, peringatan untuk tidak membuat pernyataan atau pengakuan yang akan merugikan diri sendiri itu, sangat penting untuk menjamin integritas polisi yang melakukan pemeriksaan awal. Tanpa Miranda Rights, menurut American Civil Liberties Union, sebuah kelompok pembela hak asasi yang kuat, dikhawatirkan akan terjadi kasus-kasus pemaksaan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh polisi yang sedang berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Kongres Amerika dalam tahun 1968 sebetulnya telah mengeluarkan sebuah keputusan yang pada dasarnya membatalkan Hak-Hak Miranda, dengan mengatakan, pengadilan akan mempertimbangkan pengakuan seorang terdakwa yang di berikan kepada polisi, asal saja pengakuan itu dilakukan secara sukarela, artinya tanpa paksaan.
Menurut Departemen Kehakiman, Hak-Hak Miranda itu dibuat berdasarkan Amandemen ke-5 Undang-undang Dasar Amerika yang menjamin hak tersangka untuk tidak memberikan kesaksian atau pernyataan yang merugikan diri sendiri. Karena adanya keraguan akan keabsahan keputusan Kongres tahun 1968 itulah, maka tujuh pemerintahan Amerika yang telah berkuasa sejak itu tidak pernah berusaha untuk memberlakukannya. Menurut Para Pengacara Departemen Kehakiman, karena Miranda Rights dibuat berdasarkan Undang-undang Dasar, maka Kongres tidak punya hak untuk membatalkannya. Tapi kendati The Fraternal Order of Police, perkumpulan polisi terbesar di Amerika dan kelompok-kelompok petugas hukum lainnya yang punya anggota dalam jumlah ratusan ribu, keberatan untuk terus diberlakukannya Miranda Rights, namun tidak semua petugas kepolisian sepakat. Harian Washington Post mengutip Charles A. Moose, kepala Polisi di Montgomery dekat Washington, mengatakan, polisi telah terbiasa dengan pelaksanaan Hak-Hak Miranda itu, selama lebih dari satu generasi.
ISTILAH MIRANDA RIGHTS diambil dari nama Ernesto Miranda, seorang laki-laki berumur 23 tahun yang ditangkap polisi di Phoenix atas tuduhan memperkosa seorang perempuan dalam tahun 1963. Ketika diperiksa polisi, Ernesto Miranda mula-mula mengatakan tidak bersalah, tapi kemudian memberikan pengakuan tertulis bahwa dialah pelakunya. Waktu itu polisi tidak memberi tahu Miranda bahwa dia punya hak untuk tidak membuat pernyataan yang akan memberatkan dirinya, dan bahwa dia punya hak untuk didampingi seorang pengacara. Setelah pengadilan menjatuhkan hukuman, Ernesto Miranda naik banding dengan mengatakan hak-haknya yang dijamin oleh Undang-undang Dasar telah dilanggar; sehingga Mahkamah Agung memutuskan pada tahun 1966, semua tersangka yang ditangkap polisi harus diberi tahu tentang hak-hak yang dimilikinya, dan sejak itulah muncul istilah Miranda Rights.

Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/miranda-rights.html
 

Perbedaan Kapal Berdasarkan Fungsinya

Menurut W. P. Lumintang Nakhoda P. B membedakan kapal salah-satunya berdasarkan fungsinya yang memiliki pengertian :
  1. Kapal penumpang (passenger ship). Jenis kapal-kapal ini dibangun dengan tujuan selain membawa penumpang, juga mempunyai palka (hatch) untuk muatan, khususnya barang-barang kepunyaan para penumpang dan juga surat-surat (mail) dan paket-paket.
  2. Kapal barang (cargo ship). Jenis kapal ini dibangun dengan tujuan utama mengangkut muatan, terutarna muatan-muatan umum (general cargoes).
  3. Kapal barang/penumpang (cargo passenger ship). Jenis kapal memenuhi syarat-syarat sebagai kapal barang maupun kapal. penumpang. Jadi, kapal ini mempunyai akomodasi sejumlah penumpang dan palka untuk muatan.
  4. Kapal tangki (tankers). Jenis kapal ini dibangun khusus untuk mengangkut muatan-muatan curah, misalnya minyak mentah dan hasil produksinya.
  5. Kapal gandum (grain ship). Jenis kapal ini dibangun khusus untuk mengangkut muatan¬-muatan curah, misalnya gandum dan semacamnya.
  6. Kapal bijih besi (core carrier). Jenis kapal ini dibangun khusus, untuk mengangkut muatan bijih-bijih besi.
  7. Kapal muatan dingin (refrigerated ship). Jenis kapal ini dibangun khusus untuk mengangkut muatan¬-muatan yang memerlukan suhu rendah, misalnya buah-buahan, daging, ikan dan lain-lain.
  8. Kapal tangki khusus (special liquid cargo ship). Istilah kapal tangki biasanya langsung diartikan sebagai kapal yang dibangun untuk membawa minyak mentah dan hasil-hasil produksi yang masih berwujud cairan seperti bahan kimia, minyak, gas, dan air gula (molasses).
  9. Kapal (container). Jenis kapal ini mempunyai sistem muatan dan bongkar yang sangat cepat disebabkan oleh muatan-muatan yang diangkut telah diisi didalam kotak-kotak yang disebut "container".
  10. Kapal hewan. Kapal yang dibangun selain dari mengangkut muatan-muatan umum (general cargoes), dapat juga membawa hewan, misalnya sapi dan lain-lain.
Sebagai perbandingan pengertian kapal berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 36, yaitu : Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk & jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Pengertian menurut pembentuk UU sebagai berikut :
  1. Kapal yang digerakkan dengan tenaga mekanik adalah kapal yang mempunyai alat pengerak mesin, misalnya kapal motor, kapal uap, kapal dengan tenaga matahari, kapal dengan tenaga nuklir ;
  2. Kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal layar ;
  3. Kapal tunda yaitu kapal yang digerakkan dengan alat penggerak kapal lain ;
  4. Kendaraan berdaya dukung dinamis adalah jenis kapal yang dapat dioperasikan diatas permukaan air atau diatas permukaan air dengan menggunakan daya dukung dinamis yang diakibatkan oleh kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu sendiri, misalnya jet foil, hidro foil, hovercraft, dan kapal¬-kapal lainya yang mempunyai kriteria tertentu ;
  5. Kendaraan dibawah permukaan air adalah jenis kapal yang bergerak dibawah permukaan air ;
  6. Alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah¬pindah adalah alat apung dan bangunan terapung yang tidak mempunyai alat penggerak sendiri, serta ditempatkan disuatu lokasi perairan tertentu dan tidak berpindah-pindah untuk waktu yang lama, misalnya, hotel terapung, tongkang akomodasi (accommodation barge) untuk penunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang penampung minyak (oil storage barge), serta unit-unit pemboran lepas pantai berpindah (Mobile Offshore Drilling Unit/MODU).
Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/02/perbedaan-kapal-berdasarkan-fungsinya.html

Perbedaan Kapal Menurut Tenaga Pendorongnya

Apabila kita mengambil tenaga pendorong (mesin) sebagai dasar [W. P. Lumintang], maka kapal-kapal dapat dibagi menjadi ;
  1. Jenis kapal-kapal dengan mesin diesel (motor vessel)
  2. Jenis kapal-kapal dengan tenaga uap (stoam vessel)
  3. Jenis kapal-kapal turbin (turbine vessel)
  4. Jenis kapal-kapal dengan tenaga atom (nuclear vessel)
Jenis-jenis kapal yang tidak dipakai dalam perdagangan angkutan laut adalah sebagai berikut :
  1. Kapal-kapal perang
  2. Kapal-kapal patroli (polisi, bea dan cukai, serta kapal penjaga laut dan pantai)
  3. Kapal-kapal negara
  4. Kapal-kapal tunda
  5. Kapal-kapal pencari dan penolong (search dan rescue)
  6. Kapal-kapal kabel
  7. Kapal-kapal pemecah es (ice breaker)
  8. Kapal-kapal penangkap ikan paus, dan lain-lain.
Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/02/perbedaan-kapal-menurut-tenaga.html

Kualitas Saksi

Dalam suatu persidangan pidana yang saya amati di suatu pengadilan negeri di Jakarta, sesuai prosedur hukum-acara saksi dalam setiap perkara perdata maupun pidana, akan ditanyakan identitas, agama dan sebagainya, selanjutnya saksi-saksi diminta untuk mengucapkan lafal sumpah atau berjanji dihadapan majelis hakim, untuk memberi kesaksian dan/atau keterangan "yang sebenar-nya tidak lain dari pada yang sebenarnya" [kutipan lafal yang harus diucapan oleh saksi sebelum memberikan kesaksian].
Persidangan yang saya amati disini rupanya suatu perkara yang menjadi sorotan publik, sehingga ruang-sidang dilengkapi dengan atribut elektronik berupa pengeras suara [microphone & speaker] agar para pengunjung, atau penegak hukum [Jaksa, Hakim, Advokat] bisa mendengar jelas apa yang ditanyakan & yang diucapkan oleh saksi ketika memberikan kesaksian dalam persidangan.
Dalam suatu perkara pidana, seperti biasa Jaksa Penuntut Umum mengajukan beberapa orang saksi, dimana Ketua majelis hakim karena jabatannya, dan bertujuan untuk memperoleh keterangan saksi se-obyektif mungkin, akan meminta dan/atau memerintahkan salah-satu saksi berada diluar sidang, dan selanjutnya persidangan akan memeriksa saksi-satu-persatu.
  • UU-81-1981 : HAPID Pasal 172 [1] : Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kahadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar katerangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
Sebagaimana pengamatan kami selaku advokat, dalam praktek persidangan perdata maupun pidana di Pengadilan Negeri, setelah saksi diangkat sumpah, majelis hakim akan memerintahkan salah satu saksi untuk tinggal di ruang sidang [untuk diperiksa] dan saksi lain [saksi-2] diperintahkan untuk segera keluar ruang sidang dan selanjutnya :
  1. persidangan akan memeriksa saksi-1 hingga tuntas ; kemudian
  2. persidangan akan melanjutkan memeriksa saksi-2 hingga tuntas dan selesai.
Ketika point ke-1 selesai, ada saksi yang diperkenankan untuk boleh mengikuti jalannya persidangan dan duduk di bangku pengunjung, atau boleh juga saksi-1 keluar & tidak mengikuti pemeriksaan saksi-2. Tindakan menempatkan saksi-2 diluar ruang sidang bertujuan agar saksi-2 [atau saksi selanjutnya] :
  1. Tidak bisa mendengar berbagai pertanyaan yang diajukan dalam persidangan terhadap saksi-1, dan
  2. Saksi-2 tidak dapat bisa memberikan kesaksian atau mencontoh keterangan yang diberika oleh saksi-1.
  3. Apabila saksi-2 setelah dipisah dan tidak bisa mendengarkan keterangan saksi-1 tetap memberi keterangan yang sama dengan saksi-1 atas sebuah pertanyaan yang sama, hal ini mengartikan bahwa fakta yang diperoleh berdasarkan keterangan saksi-saksi adalah benar fakta hukum tak terbantah [benar-benar obyektif].
Sehubungan adanya perlengkapan elektronik pengeras suara yang dipergunakan dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini berdampak positif yaitu setiap orang dapat mendengar jelas materi pertanyaan dan jawaban yang diajukan oleh Hakim, Jaksa dan Advokat terhadap seorang saksi. Sedemikian jelasnya suara tersebut terdengar, sehingga dapat pula didengar oleh orang-orang diluar ruang sidang, dan tentunya suara tersebut dapat pula terdengar oleh saksi-2 yang saat diperintahkan menunggu di luar ruang sidang. Dengan terjadinya keadaan ini [saksi-2 bisa mendengar segala bentuk pertanyaan yang tercipta dan terjadi di ruang sidang], kami berpendapat bahwa tujuan menempatkan saksi-2 diluar ruang sidang sia-sia, karena saksi-2 mempunyai kesempatan mendengar jelas berbagai pertanyaan yang sedang diajukan kepada saksi-1, dan keadaan ini bisa memiliki dampak :
1. Saksi-2 bisa memprediksi pertanyaan yang mungkin muncul dan akan diajukan kepadanya ;
2. Saksi-2 akan berupaya mempersiapkan jawaban kesaksian, baik itu kesaksian yang menyerupai atau-pun bertentangan dengan saksi-1 ; atau
3. kemungkinan terburuk akan mempengaruhi bobot kebebasan dan kemandirian saksi-2, jika ia terpengaruh keterangan yang diberikan oleh saksi-1 atau karena ia bisa mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Hakim, Jaksa & Advokat ketika persidangan berlangsung.
  • Butir ke-1, ke-2 & ke-3, kami berpendapat bahwa saksi jenis ini sudah tidak merupakan saksi yang bebas & mandiri [sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UU-13-2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban : Saksi berhak untuk [c] memberi keterangan tanpa tekanan], kami tafsirkan disini bahwa saksi harus dalam kondisi bebas, termaksud tidak boleh terpengaruh oleh suara yang muncul dari ruang sidang melalui pengeras suara
Sekedar saran dari fakta sederhana ini dan dengan tetap memanfaatkan teknologi pengeras suara, sebaiknya Pengadilan Negeri mempersiapkan 1 ruang khusus yang kedap suara dan dibuat senyaman mungkin bagi para saksi untuk menunggu. Atau, Pengadilan bisa mempersiapkan cara-cara lain agar saksi yang menunggu diluar ruang sidang, semaksimal mungkin tidak bisa mendengar jalannya persidangan. Saran ini sederhana, namun baik untuk bisa dilaksanakan, karena kebebasan dan kemandirian saksi sangat penting, dimana saksi adalah salah-satu unsur agar bisa tercapainya putusan obyektif melalui prosedur persidangan di Pengadilan, terlebih lagi bagi suatu perkara yang menjadi sorotan masyarakat maupun pers.

Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/09/pengeras-suara-mempengaruhi-kualitas.html

Menakar Peran Paralegal Gerakan Bantuan Hukum

Dalam sebuah diskusi mengenai RUU Bantuan Hukum, salah satu poin krusial yang menjadi bahan pembahasan yang penting adalah tentang kedudukan Paralegal dalam gerakan bantuan hukum. Paralegal secara definisi menurut saya adalah orang – orang yang dilatih secara khusus untuk memiliki kemampuan dasar serta pengetahuan dasar dalam pemberian beberapa tindakan hukum namun berada di bawah supervisi seorang advokat. Dalam definisi tersebut, paralegal tidak hanya terbatas pada mahasiswa hukum atau sarjana hukum namun juga masyarakat umum yang memang dilatih secara khusus untuk memiliki kemampuan membantu pekerjaan seorang advokat. Dalam konteks ini paralegal punya kedudukan yang sama seperti paramedis yaitu mantri, bidan, atau perawat yang tetap tidak bisa menggantikan fungsi sentral dari seorang dokter.
Paralegal tidak hanya ditemukan dalam organisasi bantuan hukum namun juga dapat ditemukan dalam firma – firma hukum raksasa. Mungkin ada yang pernah membaca salah satu novel dari John Grisham, Street Lawyer, disitu ada sedikit cerita tentang Paralegal dan pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh seorang Paralegal. Di Indonesia sendiri paralegal memiliki kedudukan yang cukup unik, di masa lalu ia lebih dikenal dengan pokrol bambu. Pokrol Bambu dulu di adaptasi untuk menjembatani kekurangan tenaga Advokat yang masih sangat sedikit jumlahnya di Indonesia.
Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah soal paralegal ini, karena beberapa kelompok seperti Pokja Paralegal menuntut diakuinya peran paralegal dalam bantuan hukum. Dalam satu sisi saya mengerti bahwa peran paralegal memang masih dibutuhkan karena ketersediaan Advokat yang belum merata di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari PERADI per 30 Maret 2010, jumlah anggota PERADI terbanyak berada di Jawa yaitu sejumlah 7954 anggota dan kemudian diikuti dengan Sumatera sebanyak 2351 anggota. Di Jawa sendiri konsentrasi terbesar advokat berada di Jakarta Selatan 1860 anggota dan diikuti di Jakarta Pusat sebanyak 1103 anggota. Sementara di Sumatera konsentrasi advokat terbesar berada di Medan dengan jumlah 1045 anggota. Dengan data itu dibanding dengan luas wilayah Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia maka ketersediaan Advokat terkait dengan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap keadilan memang masih minim.
Dari titik ini saya memandang bahwa peran Paralegal memang masih penting dan pasti juga dibutuhkan oleh masyarakat. Namun pada saat yang sama memberikan peran yang besar dan mendudukan Paralegal dalam kedudukan yang setara dengan Advokat tentu menjadi masalah besar. Saya sendiri dalam posisi masih menerima jika Paralegal hendak masuk dalam bagian di RUU Bantuan Hukum sepanjang Paralegal berada di bawah pengawasan Advokat. Selain itu ada dua alasan mendasar saya saat saya menolak keras jika Paralegal bisa masuk dalam ruang sidang apalagi tanpa supervisi seorang Advokat yaitu:
Soal Psikologis
Soal psikologis ini penting, bagaimana jika masyarakat miskin tahu bahwa yang mendampingi mereka sebagai kuasa hukum di Pengadilan bukanlah seorang Advokat dan orang tersebut harus berhadapan dengan seorang Penuntut yang memiliki kualifikasi khusus dan tinggi. Tidakkah mereka akan dikecewakan, dan akan beranggapan bahwa hanya orang – orang kaya saja yang berhak di dampingi oleh Advokat sementara si miskin hanya mendapat kuasa sekelas Paralegal. Dari sini perimbangan politik antara si miskin yang diwakili oleh Paralegal dengan negara yang diwakili oleh Penuntut menjadi semakin tidak seimbang.
Soal Pengawasan
Siapakah yang mengawasi Paralegal jika ia diperkenankan masuk ke ruang sidang jika tanpa supervisi seorang Advokat? Ingatlah pada umumnya Paralegal hanya dibekali kemampuan dan pengetahuan dasar tentang hukum dan beberapa tindakan hukum tertentu.
Saya sempat mengingatkan bahwa Pengawasan terhadap Advokat saja masih lemah, dan masih cukup banyak Advokat yang malah terlibat dalam sebuah mafia hukum yang secara prinsip telah merugikan kepentingan keadilan. Nah, jika Paralegal hendak diberikan ruang yang sama dengan Advokat, tidakkah kita memberikan suatu celah untuk munculnya Mafia – Mafia baru? Berkedok Paralegal yang kemudian bergaya seperti seorang Advokat namun bertingkah laku yang melanggar hukum dan etika
Saya sendiri punya pengalaman di suatu kasus pidana, dimana klien saya pernah ditawari untuk didampingi seorang yang mengaku Advokat namun ketika saya cek di data anggota PERADI, ia bukan anggota dari PERADI. Well, mungkin saja ia anggota KAI atau PERADIN. Namun berdasarkan pemaparan rekan saya, orang tersebut mengaku sebagai anggota dan pengurus di PERADI DPC Jakarta Pusat, tapi sayangnya ketika ditelusuri nama yang bersangkutan sama sekali tidak terdaftar di database anggota PERADI. Dugaan saya ia adalah orang seperti Paralegal yang berlagak seperti Advokat dan mempunyai jaringan luas di kalangan penegak hukum tertentu akan tetapi sama sekali tidak menjalankan apa yang seharusnya dijalankan
Dalam beberapa kesempatan saya selalu menyatakan bahwa sebaiknya Paralegal ini hanya berada di lingkungan organisasi bantuan hukum dan bukan memiliki kedudukan yang sama dengan Advokat. Paralegal dalam Organisasi Bantuan Hukum ini bisa melakukan tindakan – tindakan tertentu dibawah pengawasan seorang Advokat. Begitu juga di dalam ruang sidang, saya pribadi tidak keberatan jika Paralegal masuk ke dalam ruang sidang namun tetap berada di bawah pengawasan Advokat. Artinya si Advokat itu tetap ada di ruang sidang dan bukannya malah tidak ada Advokatnya sama sekali. Nah, artinya jika Paralegal ini melakukan tindakan di luar koridor yang telah ditentukan maka si Advokat ini yang akan diberikan sanksi baik secara etika maupun secara hukum.
Beberapa teman baik saya bertanya, bagaimana jika di Pengadilan itu tidak ada Advokat sama sekali? Saya selalu berkata, bisa dikoordinasikan menggunakan sistem Advokat terbang atau jika mau Organisasi Advokat bisa memfungsikan duty lawyer untuk anggota ke beberapa Pengadilan yang memang tidak ada Advokat sama sekali.

Sumber: http://anggara.org/2010/11/23/menakar-peran-paralegal-gerakan-bantuan-hukum/

Acara Pemeriksaan dalam Sidang Peradilan

  1. Sistem pemeriksaan. Adapun 2 cara sistem pemeriksaan yaitu: (1) Sistem Accusatoir, tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas dirinya. Dalam sistem ini pemeriksaan terbuka untuk umum (depan sidang pengadilan) (2) Sistem Inquisitoir, tersangka/terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan. Dalam sistem ini pemeriksaan tertutup, dan tersangka /terdakwa tidak mempunyai hak untuk membela diri (di depan penyidik). Namun kedua sistem ini mulai ditinggalkan, setelah diterapkan UU No.8/1981 tentang KUHAP, dengan diberinya hak tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum
  2. Exceptie (tangkisan), suatu jawaban yang tidak mengenai pokok perkara. Exceptie sangat penting bagi terdakwa dan penasehat hukum, sebab dengan hal ini suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat: dinyatakan batal demi hukum (pasal 143:3), dinyatakan tidak dapat diterima (pasal 143:2 a), perkara dinyatakan sudah nebis in idem, dinyatakan ditolak, pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain, penuntutan dinyatakan telah daluwarsa, dan pelaku pidana dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (pasal 14). 2 Jenis exceptie yaitu: (1) exceptie absolut, suatu tangkisan mengenai kompetensi pengadilan. Kompetensi ini menyangkut kompetensi absolut, menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara itu, dan kompetensi relatif, menyangkut wewenang pengadilan mana untuk mengadilinya. Jika tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut, maka perlawanan diajukan menjadi batal. Untuk (b) exceptie relatif hanya dapat diajukan pada sidang pertama, setelah penuntut umum membacakan dakwaannya. Exceptie relatif tidak harus ada putusan sela, tapi ia dapat diperiksa dan diputus bersama pokok perkara. Dua alasan diajukannya exceptie, yaitu: (1) menyangkut kompetensi pengadilan (kompetensi absolut, bahwa perkara tersebut menjadi wewenang pengadilan lain yang tidak sejenis untuk memutuskan, dan atau kompetensi relatif, bahwa perkara bukan menjadi wewenang pengadilan negeri tertentu untuk mengadinya, tetapi menjadi wewenang pengadilan negeri yang lain) (2) menyangkut syarat pembuatan surat dakwaan; (a) syarat formil (pasal 143:2a) tidak diberi tanggal, tidak ditandatangi oleh penuntut umum, dan tidak memuat identitas terdakwa secara lengkap, (b) syarat materil (pasal 145:2b) surat dakwaan tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tidak pidana yang didakwakan, surat dakwaan yang tidak memuat waktu (tempos delictei), tempat (locus delictie) tindak pidana itu dilakukan
  3. Pembuktian, bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 4 teori pembuktian, yakni (1) teori pembuktian positif, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan), (2) teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam UU ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti, (3) teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam UU, dan (4) teori pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah, apabila ada hubungan dengan suatu tindak pidana, menurut pasal 184:1, alat bukti yang sah: (1) keterangan saksi (pasal 1:27), keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia saksi dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (tidak termasuk keterangan diperoleh dari orang lain/testimonium de auditu), dengan 2 syarat: syarat formil, apabila keterangan tersebut diberikan oleh saksi di bawah sumpah, sedangkan syarat materil, bahwa ketarangan saksi, hanya salah satu dari alat bukti yang sah, serta terlepas dari hal mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168), bahwa yang tidak didegar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang sama-sama terdakwa, dan suami atau istri terdakwa, walaupun telah bercerai. 2 jenis saksi: (a) saksi A Charge (memberatkan terdakwa), saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, (b) saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa), saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. (2) Keterangan ahli (pasal 1:28), keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. (3) Surat (pasal 187). (4) Petunjuk (pasal 189), perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh hakim. (5) Keterangan terdakwa (pasal 189), apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
  4. Requisitoir penuntut umum, surat yang dibuat oleh penuntut umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim dan terdakwa atau penasehat hukum. Isi requisitoir (surat tutntutan umum) adalah: (1) identitas terdakwa, (2) isi dakwaan, (3) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, seperti: keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti, visum et repertum, dan fakta-fakta juridis, (4) pembahasan juridis, (50 hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, (6) tuntutan hukum, dan (7) surat tuntutan yang telah diberi nomor , tanggal, dan tanda tangan penuntut umum
  5. Pledooi (nota pembelaan) (pasal 182:1b), pidato pembelaan yang diucapkan oleh terdakwa maupun penasehat hukum yang berisikan tangkisan terhadap tuntutan penuntut umum dan mengguakan hal-hal yang meringankan dan kebenaran dirinya. Isi pledooi pada dasarnya, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslag van rechtsvervolging) karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindakan pidan dan atau terdakwa minta dihukum yang seringan-ringannya, karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya
  6. Contempt of court, suatu tindakan merendahkan martabat pengadilan. Jenis contempt of court: (1) direct contempt of court, tindakan penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dan menyaksikan secara langsung sidang pengadilan, (2) construjtive contempt of court, tindakan yang dilakukan tidak di dalam ruang sidang pengadilan
Upaya Hukum
Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU. Dua upaya yang dapat ditempuh: (1) upaya hukum biasa: (a) banding (pasal 67), suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, agar putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi, dengan tujuan memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Permohonan ini dapat dilakukan dalam waktu 7 hari setelah vonnis diberitahukan kepada terdakwa, (b) kasasi, suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari mahkamah agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan terdahulu dan ini merupakan peradilan terakhir. Permohonan ini diajukan dalam kurung waktu 14 hari setelah vonnis dibacakan. Pada pengajuaan kasasi, terdakwa diwajibkan membuat memori kasasi yang diserahkan kepada panitera pengadilan negeri dan untuk itu panitera memberi suarat tanda terima. Alasan kasasi diajukan, karena pengadilan tidak berwenang atau melampau batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 253:1). (2) upaya hukum luar biasa, (a) kasasi demi kepentingan hukum (pasal 259), semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selaian dari putusan MA, Jaksa Agung, dapat mengajukan satu kali permohonan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. (b) Herziening, peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 263:1). Peninjauan ini diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Alasan pengajuan (pasal 263:2), apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui sebelum sidang berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala tuntutan, atau ketentuan lebih ringan (novum), apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.pengadilan ditetapkan. (3) Upaya hukum grasi, wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuma (pasal 14 UUD 1945)

Praperadilan (pasal 1:10)
Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU tentang; sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarga atau pihak lain yang dikuasakan.

ProsesTerjadinya Perkara Pidana

Perkara pidana dapat terjadi karena :
  1. Tertangkap tangan artinya tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( pasal 1:19)
  2. Laporan/pemberitahuan, artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21). Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, - tulisan; pelor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
  3. Pengaduan, artinya pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang :
  1. mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana
  2. melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana,
  3. menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana ,
  4. menjadi korban dari peristiwa tindak pidana,
  5. mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap: -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan
  6. setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321, 332, 320

Penegak Hukum dan Wewenangnya
  1. Penyelidik, setiap pejabat Polisi RI, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur uu) (pasal 1;5). Menurut pasal 4, penyelidik berwenang : a, karena jabatan untuk; (1) meneriam laporan, atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (2) mencari keterangan dan barang bukti, (3) menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, (4) mengadakan tindakan lain menurut hukum, dan b. atas perintah penyidik, penyelidik, dapat melakukan tindakan berupa : (1) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan (2) pemeriksaan dan penyitaan surat, (30 mengambil sidik jari dan memotret seseorang (4) membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik
  2. Penyidik (pasal 1:1), setiap pejabat Polisi RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan. Kepangkatan untuk menjadi penyidik: (1) Pejabat Polisi RI, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/Golongan II-b. Wewenang penyidik menurut pasal 7: (a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, (c.) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, (g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, (I) mengadakan penghentian penyidikan
  3. Penangkapan, suatu tindakan penyidik, berupa penggekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, dalam hal serta menurut yang diatur dalam UU (pasal 1:2). Berwenang melakukan penangkapan: (a) penyidik, (b) penyidik pembantu, (c.) penyelidik atas perintah penyidik. Bukti permulaan menurut SK Kapolri No. Pol SKEEP/04/I/1982, 18 Februari 1982, merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua di antara: (1) laporan polisi, (2) Berita Acara Pemeriksaan di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan, (4) Keterangan saksi, saksi ahli, dan (5) barang bukti. Saat melakukan penangkapan petugas wajib (a) menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa, (b) menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka (tersangka tertangkap tangan dalam waktu 24 jam harus menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penyidik)
  4. Penahanan (pasal 1:21), penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatut UU. Berwenang menahan adalah, penyidik, penuntut umum dan hakim. Alasan penahanan menurut pasal 20:3 adalah tersangka/terdakwa dikuatirkan: (a) melarikan diri, (b) akan merusak/menghilangkan barang bukti, dan (c.) akan melakukan lagi tindak pidana. Untuk melaksanakan penahanan, petugas harus dilengkapi, surat penahanan dari penyidik, atau jaksa penuntut umum, atau hakim yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa. Penahanan ini hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukann tidak pidana atau percobaan, maupun perbuatan bantuan dalam tindak pidana menurut pasal 20:4 KUHAP, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan atau tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 283:3, 296, 335:1, 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP. Adapun jenis penahanan: (1) Penahanan Rumah Tahanan Negara, (2) Penahanan Rumah, (3) Penahanan Kota. Lama penahanan oleh penyidik 20 hari (ps 24:1) perpanjang 40 hari oleh JPU (ps 24:2), penuntut umum 20 hari (ps 25:1). Perpanjang 30 hari oleh Ketua PN (ps 25:2, hakim pengadilan negeri 30 hari (ps 26:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PN (ps 26:2), hakim pengadilan tinggi 30 hari (ps 27:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PT (ps 27:2), dan hakim mahkama agung 50 hari (ps 28:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua MA (ps 28:2) . Penangguhan penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dengan jaminan uang atau barang, dengan syarat, tersangka/terdakwa wajib lapor, tidak boleh keluar rumah, atau tidak boleh keluar kota
  5. Penggeledahan (pasal 1:17), mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau badan orang. Menurut pasal 33 penggeledahan oleh penyidik harus; dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, dengan perintah tertulis dari penyidik, disertai dua saksi (apabila tersangka/penghuninya menyetujui), disaksikan oleh Kepala Desa, atau Ketua lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka/penghuni menolak atau tidak hadir, dan membuat berita acara yang ditembuskan kepada pemilik/penghuni rumah, dalam waktu 48 jam setelah penggeledahan dilakukan
  6. Penyitaan (pasal 1:16), serangkaian tindakan penyidik mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktiaan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
  7. Penyidikan. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik dilakukan dengan sistem inquisitoir, dimana pemeriksaan dilakukan dengan menganggap tersaka sebagai obyek pemeriksaan. Penyidikan dianggap telah selesai, apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan .Penghentian penyidikan dengan memberitahukan kepada penuntut umum dapat dilakukan, apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa ternyata bukan merupakan tindakan ridana, dihentikan demi hukum (karena lampau waktu (verjarig) persoalan yang sama sudah pernah diadili dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Nebis in Idem)) , dan tidak ada pengaduan/pengaduan dicabut dalam hal tindak pidana
  8. Penuntutan (pasal:7) tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Proses penuntutan: Penyidik penyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum untuk diperiksa dalam jangka waktu 7 hari harus segera melaporkan kepada penyidik, apakah hasil penyidikan telah selesai atau belum (pasal 138:1). Apabila belum lengkap, hasil penyidikan dikembalikan untuk diperbaiki oleh penyidik dalam jangka waktu 14 hari harus sudah balik ke penuntut umum. Jika hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut dalam waktu secepatnya membuat "Surat Dakwaan"
  9. Koneksitas, percampuran orang-orang yang sebenarnya termasuk jurisdiksi Pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara, misalnya seorang sipil dan seorang yang bersatus militer melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Tersangka/terdakwa terdiri dari dua orang atau lebih yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Untuk penyilidikan dilakukan berdasar Pasal 2 SK Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman No.KEP.10/M/XII/1985 .No.KEP.57.ir.09.05 Th.1985 . terdiri dari unsur-unsur (a) Tim Pusat: Penyidik dari Mabes Polri, Penyidik dari PM ABRI pada Pusat PM ABRI, Oditur Militer dari Oditur Jenderal ABRI, dengan tugas melakukan penyidikan apabila perkara dan atau tersangka mempunyai bobot nasional dan atau internasional, dan apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah Hukum Pengadilan Tinggi (b) Dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri: penyidik pada markas komando wilayah kepolisian, markas komando kota besar, markas komando resort dan markas komando sektor, penyidik dari PM ABRI pada Detasemen POM ABRI, dan Oditur Militer dari Oditur Militer dengan tugas (1) dalam daerah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya lebih dari satu Daerah Hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam suatu Darah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (2) dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri, apabila dilakukan tindak pidana Koneksitas atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Susuna majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas adalah sebagai berikut: (1) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, hakim ketua dari lingkungan peradilan umum, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang, (2) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang (hakim dari peradilan umum diberi pangkat Tituler
  10. Bantuan Hukum. Orang yang dapat memberikan "bantuan hukum'" kepada tersangka/terdakwa disebut Penasehat Hukum (pasal 1:13) atau seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan UU untuk memberikan bantuan hukum. Hak seorang penasehat hukum yaitu menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69), menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (pasal 70:1), menerima turunan berita acara pemeriksaan (pasal 72), mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (pasal 73), dan dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan jalan melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terdapat tersangka (pasal 115:1)

Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT

CULPA IN CONTRAHENDO / PARS PRO TOTO
(TANGGUNG JAWAB HUKUM PRAKONTRAKTUAL)
DALAM PRINSIP HUKUM UNIDROIT

Menarik sekali mengamati penggunaan istilah oleh rekan saya Bpk. Miftachul Machsun pada pertemuan berkala yang diselenggarakan oleh Pengurus INI dan IPPAT Daerah Surabaya beberapa waktu yang lalu dengan tema Ikatan Jual Beli.
Dalam makalahnya beliau menyebutkan bahwa : “Ikatan Jual Beli merupakan Perjanjian Pendahuluan ( Pactum de Contrahendo ) untuk melakukan jual beli, yaitu untuk mempersiapkan hubungan hukum Jual Beli yang merupakan tujuan pokok diadakannya perjanjian pendahuluan ini.”
Terlepas dari setuju atau tidak setuju atas pemakaian istilah tersebut, pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindakan prakontraktual yang menimbulkan hak gugat yang di Jerman disebut dengan istilah “culpa in contrahendo” atau secara international lebih dikenal sebagai “Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual” dalam praktek.
Dalam KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPdt). Definisi ini oleh J Satrio dan Purwahid Patrik dianggap mempunyai banyak kelemahan antara lain oleh karena :
- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hukum
Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).
KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.
Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.
Sebagai pedoman marilah kita melihat prinsip-prinsip yang digunakan dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT ( mohon maaf dalam tulisan ini saya tidak menguraikan sejarah, latar belakang dan perkembangannya, silahkan dilihat sendiri UPICCs 1994 ).
Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu :
  1. Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak );
  2. Prinsip itikad baik ( good faith) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa );
  3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
  4. Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran (Offer) dan Penerimaan ( Acceptance) atau Melalui Perilaku ( Conduct);
  5. Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk;
  6. Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi;
  7. Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku;
  8. Prinsip Syarat Sahnya Kontrak;
  9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity);
  10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
  11. Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship);
  12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeur).
Dari 12 prinsip hukum kontrak ini yang relevan dalam pembahasan artikel ini adalah prinsip nomor 5 yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk.
Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts) mengatur larangan tersebut sebagai berikut :
  1. A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.
    However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party.
  2. It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :
  1. Kebebasan negosiasi;
  2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
  3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan; jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan :
"each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
the parties may not exclude or limit this duty
."
Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing;
Contohnya :
  • seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
  • suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
  • apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.
Pertanyaannya seberapa tanggung jawab pihak yang beritikad buruk tersebut ?
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain.
Pertanyaan selanjutnya apakah pihak yang dirugikan dapat menuntut selain biaya yang dia keluarkan juga ganti rugi dan bunga seperti yang diatur dalam pasal 1243 s/d pasal 1252 KUHPdt?
Menurut penulis pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut berdasarkan yang tertulis dalam KUHPdt, oleh karena Bab I bagian 4 Buku III KUHPdt hanya mengatur tentang Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan; jelas disini yang ada baru negosiasi prakontrak, belum ada perikatannya.
Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa Pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu.
Kesimpulannya :
Proses negosasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak / hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum; yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.

Sumber: http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html

Mengenai Due Dilligence

Mengenai Due Dilligence

  1. Sedikit penjelasan tentang MOU Due Diligence, pada prinsipnya sebelum kedua belah pihak hendak menjajaki suatu hubungan hukum diantara mereka, maka masing-masing pihak perlu meyakinkan diri terlebih dahulu bahwa dirinya terlindungi atau aman secara legal jika mengadakan hubungan hukum dengan pihak lain tersebut.
  2. Untuk itu para pihak akan bernegosiasi terlebih dahulu dan hasil dari negosiasi awal masing-masing pihak akan menyatakan kehendaknya biasanya dimuat dalam suatu Letter of Intent (Pernyataan Kehendak) untuk membuat suatu hubungan hukum (misalnya : kontrak).
  3. Selanjutnya para pihak akan memasuki tahap yang lebih serius lagi yaitu tahap due diligence (secara mudah sebut aja pemeriksaan legalitas dari subyek maupun obyek dari hubungan hukum yang akan dilakukan oleh mereka). Jadi pada hakekatnya MOU Due Diligence itu sebenarnya juga MOU pada umumnya yaitu suatu tahapan/proses sebelum terjadinya suatu kontrak yang sesungguhnya.
Kesimpulan :
  1. Yang diatur dalam MOU Due Diligence adalah syarat-syarat untuk terjadinya suatu kontrak, dimana masing-masing pihak harus memenuhi syarat legalitas Subyek Hukum dan juga Obyek Hukumnya.
  2. Para pihak saling memberikan semua dokumen yang diperlukan untuk itu, tenggang waktu pelaksanaan pemeriksaan tersebut, tanggung jawab terhadap biaya yang dikeluarkan ; dan (kalau Due Diligence terpisah dari MOU umum) sebutkan klausula bahwa dengan terpenuhinya syarat2 legalitas Subyek dan Obyek, maka para pihak sepakat untuk masuk dalam hubungan hukum sesuai yang dikehendaki, dengan ketentuan jika salah satu pihak mundur, maka dia bertanggung jawab untuk mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan.  Sumber:  http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/11/mengenai-due-dilligence.html

Eksepsi Dalam Hukum Acara Perdata

Eksepsi adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak menyangkut pokok perkara. Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak/menerima gugatan.
Eksepsi dibagi menjadi 2 :
  1. Eksepsi Absolut ( menyangkut kompetensi pengadilan ) yakni :
a. Kompentensi absolut (pasal 134 HIR/Pasal 160 RBG) Kompentensi absolut dari pengadilan adalah menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara) termasuk juga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah (P4D)/ Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat (P4P) & wewenang Kantor Urusan Perumahan (KUP)
b. Kompentensi Relatif ( Psl. 133 HIR/Psl59 RBG/Putusan MA-RI tgl 13-9-1972 Reg. NO. 1340/K/Sip/1971 ) Kompentensi relatif adalah menyangkut wewenang pengadilan. Eksepsi kompentensi relatif diajukan sebagi keberatan pada saat kesempatan pertama tegugat ketika mengajukan JAWABAN. Eksepsi Absolut yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara ( Eksepsi van onbevoegdheid )
  1. Eksepsi Relatif : adalah suatu eksepsi yang tidak mengenai pokok perkara yang harus diajukan pada jawaban pertama tergugat memberikan jawaban meliputi :
a. Declinatoire Exceptie : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwewang memeriksa perkara /gugatan batal/perkara yang pada hakikatnya sama dan/atau masih dalam proses dan putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
b. Dilatoire Exceptie : Adalah eksepsi yang tidak menyangkut gugatan pokok sama sekali atau gugatan premature.
c. Premtoire Exceptie : Adalah eksepsi menyangkut gugatan pokok atau meskipun mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukan tambahan yang sangat prinsipal dan karenanya gugatan itu gagal
d. Disqualification Exceptie : Adalah eksepsi yang menyatakan bukan pengugat yang seharusnya mengugat, atau orang yang mengajukan gugatan itu dinyatakan tidak berhak.
e. Exceptie Obscuri Libelli : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat kabur ( Psl 125 ayat (1) HIR/Ps 149 ayat (1) RBG
f. Exceptie Plurium Litis Consortium : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa seharusnya digugat yang lain juga digugat. Hal ini karena ada keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap.
g. Exeptie Non–Adimpleti Contractus : Adalah eksepsi yang menyatakan saya tidak memenuhi prestasi saya, karena pihak lawan juga wanpresetasi. Keadaan ini dapat terjadi dalam hal persetujuan imbal balik.
h. Exceptie : yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai hukum tetap (azas ne bis in idem atau tidak dapat diadili lagi) Psl. 1917 BW ne bis in idem terjadi bila tututan berdasarkan alasan yang sama, dimajukan oleh dan terhadap orang yang sama dalam hubungan yang sama.
i. Exceptie Van Litispendentie : Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sama masih tergantung/masih dalam proses keadilan (belum ada kepastian hukum)
j. Exceptie Van Connexteit : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa perkara itu ada hubungannya dengan perkara yang masih ditangani oleh pengadilan/Instansi lain dan belum ada putusan.
k. Exceptie Van Beraad : Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan belum waktunya diajukan
Eksepsi relatif tidak hanya terbatas pada alasan–alasan seperti diatas. Dalam praktek dapat juga menjadi alasan mengajukan eksepsi relatif sebagai berikut :
a. Posita dan Petitum berbeda, misalkan terdapat hal–hal yang dimintakan dalam pentitum padahal sebelumnya hal itu tidak pernah disinggung dalam posita, Petitum tidak boleh lebih dari posita.
b. Kerugian tidak dirinci : dalam hal timbulnya kerugian harus dirinci maka kerugian mana harus dirinci satu persatu. Jika tidak dirinci dalam gugatan juga menjadi alasan mengajukan eksepsi.
c. Daluwarsa : suatu gugatan yang diajukan telah melebihi tenggang waktu Daluwarsa , maka hal tersebut menjadi alasan eksepsi.
d. Kualifikasi perbuatan Tergugat tidak jelas : Perumusan perbuatan/kesalahan tergugat yang tidak jelas akan menjadi alasan tergugat untuk mengajukan eksepsi.
e. Obyek gugatan tidak jelas : Obyek gugatan harus jelas, dapat dengan mudah dimengerti dan dirinci ciri–cirinya. Ketidak-jelasan obyek gugatan akan menjadi alasan bagi Tergugat mengajukan eksepsi.
f. Dan lain-lain eksepsi : eksepsi tersebut berbeda dengan jawaban (sangkalan) yang ditujukan terhadap pokok perkara. Sebaliknya eksepsi adalah eksepsi yang tiudak menyangkut perkara. Eksepsi yang diajukan tergugat kecuali mengenai tidak berwenangnya hakim (eksepsi absolut) tidak boleh diusulkan dan dipertimbangkan secara terpisah–pisah tetapi harus bersama–sama diperiksa dan diputuskan dengan pokok perkara (Pasal 136 HIR/Psl 162 RBG). Intisari dari isi eksepsi adalah agar Pengadilan menyatakan tidak dapat menerima atau tidak berwenang memeriksa perkara ( Psl 1454,Psl 1930,Psl 1941 BW, Psl 125/Psl 149 RBG, Ps 133 HIR/Psl 159 RBG dan Psl 136/Psl 162 RBG)
 
Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/02/eksepsi-dalam-hukum-acara-perdata.html

Amicus Curiae

Amicus Curiae"
Merupakan istilah latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus Curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.Amicus Curiae yang dalam bahasa Inggris disebut "friend of the court", diartikan : "someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court's decision may affect its interest".
Terjemahan bebas, amicus curiae adalah friends of the court atau "sahabat pengadilan", dimana, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Miriam Webster Dictionary memberikan definisi amicus curiae sebagai "one (as a professional person or organization) that is not a party to particular litigation but that is permitted by the court to advise it in respect to some matter of law that directly affects the case in question".
Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa ; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas. Dalam tradisi common law, mekanisme amicus curiae pertama kali diperkenalkan pada abad-14. Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England Report. Dari laporan ini diketahui beberapa gambaran berkaitan dengan amicus curiae :
  1. fungsi utama amicus curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu;
  2. amicus curiae, berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara (lawyer);
  3. amicus curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat, namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus;
  4. izin untuk berpartisipasi sebagai amicus curiae
Di Amerika Serikat, sebelum terjadinya kasus Green v. Biddle pada awal abad ke-19, lama sekali pengadilan menolak untuk memperbolehkan partisipasi amicus curiae dalam proses peradilan. Namun, sejak awal abad 20 amicus curiae memainkan memainkan peranan penting dalam kasus-kasus hak sipil dan aborsi. Bahkan, dalam studi yang dilakukan tahun 1998, amicus curiae, telah berpartisipasi dalam lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung.

Perkembangan terbaru dari praktik amicus curiae adalah diterapkannya amicus curiae dalam penyelesaian sengketa internasional, yang digunakan baik oleh lembaga-lembaga negara maupun organisasi internasional. Sementara untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai saat ini, baru dua amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok penggiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto dan amicus curiae dalam kasus " Upi Asmaradana " di Pengadilan Negeri Makasar, dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi buat majelis hakim yang memeriksa perkara.

Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, dengan berpegang pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi " Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ", sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasusu-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial. "Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional" Amicus Curiae (Komentar Tertulis) diajukan oleh : ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI atas Kasus : "Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia" di Pengadilan Negeri Tangerang Nomor Perkara : 1269/PID.B/2009/PN.TNG, Jakarta, Oktober 2009.

Sumber: http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2010/10/amicus-curiae.html

Legal Opinion

Istilah Legal Opinion dalam bahasa latin disebut dengan Ius Opinio. Ius berarti hukum dan Opinio artinya pandangan atau pendapat. Legal opinion sendiri adalah istilah yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo Saxon), sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dikenal dengan istilah Legal Critics.
Secara umum Legal opinion dibuat adalah untuk memberikan pendapat hukum atas suatu permasalahan hukum yang sedang dihadapi oleh seseorang (klien) agar didapat suatu bentuk penyelesaian atau tindakan yang tepat atas permasalahan hukum tersebut.
Agar membuat Legal Opinion yang benar, maka pembuat Legal Opinion harus mengerti dan memahami permasalahan hukum yang ada dan kemudian memberikan jawaban atas permasalahan tersebut.  Untuk itu Legal Opinion harus berdasarkan pada data dan informasi yang lengkap dan akurat (berupa fakta-fakta hukum)dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku, kemudian berdasarkan fakta-fakta hukum dan peraturan hukum tersebut kemudian dibuat pendapat hukum atas permasalahan yang ada.
Untuk lebih memahami pembuatan Legal Opinion, berikut ini akan dibahas mengenai anatomi dan Prinsip-Prinsip dalam pembuatan Legal Opinion, termasuk pembahasan mengenai Format Penyusunan Legal Opinion serta Permasalahan yang ditemui dalam membuat Legal Opinion.
Prinsip-Prinsip dalam pembuatan Legal Opinion
a. Legal Opinion dibuat dengan mendasarkan pada hukum yang berlaku.
Ada pendapat berbeda tentang hukum normatif, hal ini berkaitan erat dengan pandangan mengenai ilmu hukum. Ada sebagian orang berpendapat bahwa ilmu hukum adalah bagian dari ilmu sosial. Sementara yang lain berpandangan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang berdiri sendiri (sui generis). Namun sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang hukum (norma) yang muaranya pada kepastian hukum, ilmu hukum seyogyanya tidak dicampuradukkan dengan permasalahan sosial, karena akan mendegradasi adanya kepastian hukum.
Prinsip utama dalam pembuatan Legal Opinion adalah mencari pendapat berdasarkan norma hukum dan sama sekali tidak berdasarkan norma sosial. Dengan demikian yang harus dijadikan dasar hanyalah norma (ketentuan) hukum yang berlaku. Hal ini erat kaitannya dengan kepastian hukum.
b. Legal Opinion disampaikan secara lugas, jelas dan sistematis.
Legal Opinion harus mudah dipahami oleh klien atau bagi pihak yang membacanya. Karena disampaikan dengan bahasa yang baik dan sistematis maka Legal Opinion tidak menimbulkan tafsiran berganda (bias) dan diharapkan melalui Legal Opinion tersebut terciptalah suatu kepastian hukum.
c. Legal Opinion tidak memberikan jaminan terjadinya suatu keadaan.
Dalam Legal opinion, tidak boleh memberikan jaminan atau kepastian akan kondisi suatu penyelesaian persoalan dalam praktek. Karena kepastian hukum atas permasalahan merupakan wewenang hakim (pengadilan). Demikian juga Advokat tidak dibenarkan memberikan jaminan kepada klien. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 butir c Kode Etik Advokat yang berbunyi: “Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang”.  Dilihat dari isi Kode Etik Advokat tersebut dapat disimpulkan bahwa advokat di dalam Legal Opinionnya tidak dapat memberikan jaminan kepada  klien bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Legal Opinion harus diberikan secara jujur, lengkap dan berisi saran.
Meskipun berupa opini, Legal Opinion harus disampaikan kepada klien sebagaimana adanya, tidak dibuat-buat dan tidak semata-mata memberikan pendapat hanya untuk mengakomodir keinginan klien. Jika berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku keinginan klien tidak dapat terpenuhi, maka hal tersebut harus dikemukakan dengan jelas dalam Legal Opinion.
Penjelasan dalam Legal Opinion harus diberikan dengan selengkapnya. Dalam Legal Opinion, advokat tidak memberikan pendapat yang mengharuskan klien untuk melakukan tindakan tertentu. Legal OpinionLegal Opinion harus memberikan penjelasan yang selengkapnya, sehingga klien memiliki bahan pertimbangan yang cukup untuk mengambil suatu keputusan. hanya bersifat memberikan pendapat mengenai tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan oleh klien tetapi klien sendiri yang akan memutuskan apakah akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Oleh karena itu
e. Legal Opinion tidak mengikat bagi pembuat (advokat) dan bagi klien.
Advokat bertanggung jawab atas isi dan juga bertanggung jawab atas kebenaran dari Legal Opinion yang dibuatnya., tetapi advokat tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul akibat klien mengambil tindakan berdasarkan Legal Opinion tersebut. Legal Opinion yang dibuat oleh advokat yang ditunjuk tersebut tidak mengikat klien atau pihak-pihak yang meminta Legal Opinion untuk melaksanakan sebagian atau seluruh isi dari Legal Opinion. Keputusan untuk mengambil atau tidak mengambil tindakan berdasarkan Legal Opinion, sepenuhnya tergantung dari klien yang bersangkutan dan menjadi tanggung jawab dari pengambil keputusan.
Format Penyusunan Legal Opinion secara lengkap
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki format dan standar baku yang mengikat bagi seluruh Advokat Indonesia berkenaan dengan bentuk Legal Opinion. Sehubungan dengan tidak adanya format dan standar baku pembuatan Legal Opinion yang mengikat seluruh advokat di Indonesia,  dalam prakteknya bentuk Legal Opinion yang baik setidak-tidaknya mempunyai kerangka dasar yang memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Pendahuluan.
Bagian pendahuluan berisi penjelasan atas dasar apa advokat membuat Legal Opinion, yaitu apakah berdasarkan permintaan secara tertulis dari klien melalui surat atau secara lisan yang disampaikan dalam rapat yang dihadiri klien, agar advokat memberikan pendapat hukum atas permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dihadapi klien atau didasarkan karena diperlukan sebelum menangani suatu perkara.
2. Permasalahan yang dimintakan Legal Opinion.
Pada bagian permasalahan ini dijelaskan masalah pokok yang dihadapi klien yang diminta untuk dibuatkan Legal Opinion. Permasalahan tersebut mengacu pada persoalan hukum yang diuraikan atau yang disampaikan klien dalam suratnya ketika mengajukan permintaan Legal opinion. Namun apabila ternyata persoalan hukum yang diuraikan klien tidak jelas atau kurang jelas, maka advokat akan membantu merumuskan permasalahan klien tersebut. Bila terdapat lebih dari satu persoalan hukum dimana berkaitan satu sama lain maka permasalahan-permasalahan dimaksud harus disampaikan secara jelas dan sistematis.
3. Bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada seperti informasi, data-data dan dokumen-dokumen.
Bagian ini berisi uraian tentang dokumen-dokumen,  informasi material yang berbentuk tertulis maupun lisan yang diperoleh dari klien itu sendiri maupun dari pihak ketiga lainnya dan juga berisi informasi tambahan yang terkait dengan pokok permasalahan yang dapat ditambahkan pada Legal Opinion untuk mendukung pokok permasalahan. Bahan-bahan ini dapat diketahui dan ditentukan setelah advokat terlebih dahulu melakukan Legal Due Diligence (Legal Audit).
Bagian ini juga berisi pernyataan dari advokat mengenai sumber fakta yang dipergunakan dalam penyusunan Legal Opinion yaitu bahwa Legal Opinion dapat dibuat berdasarkan dokumen asli dan/ atau dokumen fotokopi dan/atau keterangan-keterangan lisan klien kepada advokat, sejak diterima sampai dengan tanggal dikeluarkannya Legal Opinion. Dokumen-dokumen dan keterangan lisan tersebut menjadi dasar untuk mencari dan menggali fakta-fakta.
4. Dasar hukum dan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan.
Bagian ini berisi uraian tentang ketentuan perundang-undangan dan peraturan terkait lainnya yang dijadikan dasar bagi advokat untuk membuat pendapat hukum. Dalam bagian ini juga dijelaskan batasan penafsiran Legal Opinion yang dibuat oleh advokat, yaitu bahwa Legal opinion yang dimaksud hanya dapat ditafsirkan menurut ketentuan hukum Negara Indonesia. Legal Opinion tersebut tidak dapat ditafsirkan menurut ketentuan hukum dari negara lain selain negara Republik Indonesia.
5. Uraian fakta-fakta dan kronologis.
Bagian ini berisi uraian fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan berdasarkan dokumen asli dan/atau fotokopi dan/atau berdasarkan keterangan lisan dari klien sampai dengan tanggal dikeluarkannya Legal Opinion dan disusun secara kronologis dengan maksud agar pembaca memahami asal mula pokok permasalahan dan perkembangannya.
6. Analisa hukum.
Bagian ini menguraikan analisa dan pertimbangan hukum advokat atas pokok permasalahan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
7. Pendapat hukum.
Berisi uraian tentang pendapat Advokat atas pokok permasalahan yang didasarkan pada analisa dan pertimbangan hukum atas fakta-fakta, informasi serta dokumen terkait dengan pokok permasalahan sehingga dapat diketahui jawaban atas permasalahan yang ada. Pendapat hukum disampaikan dengan selalu terfokus pada permasalahan, sistematis dan tidak berbelit-belit.
8.  Kesimpulan dan saran-saran atau solusi permasalahan.
Berisi uraian tentang kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil analisa setelah melakukan seluruh tahap-tahap pembuatan Legal Opinion yang telah dipaparkan sebelumnya. Setelah mendapatkan kesimpulan, advokat lalu memberikan saran-saran dan/atau solusi bagi penyelesaian persoalan hukum yang telah dibahas dalam Legal Opinion tersebut. Sangat diharapkan Advokat memberikan lebih dari satu saran dan/atau solusi terhadap masalah yang dimintakan Legal Opinion, dengan tujuan agar klien atau pihak lain yang berkepentingan dapat memilih salah satu dari saran dan/atau solusi yang terbaik menurut pandangannya.
Format Penyusunan Legal Opinion secara sederhana
Namun yang umum dibuat oleh ahli hukum maupun Advokat adalah Legal Opinion dalam bentuk sederhana. Namun meskipun dalam format sederhana, Legal Opinion tetap harus memuat permasalahan, fakta-fakta hukum dan berujung pada pendapat hukum atas permasalahan. Legal Opinion dalam format sederhana biasanya terdiri dari :
  1. Uraian fakta-fakta hukum
  2. Rumusan permasalahan hukum berdasarkan fakta-fakta hukum
  3. Peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum
  4. Pendapat atau jawaban atas permasalahan hukum
  5. Saran-saran
Permasalahan yang ditemui dalam membuat Legal opinion
Bahwa dalam proses pembuatan Legal Opinion, seringkali ditemukan beberapa permasalahan. Beberapa contoh permasalahan yang ditemukan dalam praktek antara lain:
  • Tidak dapat dipastikan apakah keterangan dan informasi yang diberikan oleh klien dan pihak-pihak yang terkait adalah keterangan yang benar dan jujur atau tidak.
Keakuratan suatu Legal Opinion tergantung pada jujur atau tidaknya klien memberikan informasi, keterangan atau data-data yang diperlukan sebagai bahan dalam pembuatan Legal opinion. Dalam hal klien memberikan keterangan lisan, maka advokat akan berasumsi bahwa keterangan lisan tersebut adalah benar.
Pada dasarnya, klien bertanggung jawab atas kebenaran data-data, dokumen-dokumen dan keterangan yang diberikannya kepada orang yang ditunjuk untuk memberikan Legal Opinion. Apabila klien memberikan informasi/keterangan, data-data dan dokumen yang salah, maka akibatnya juga akan salah dalam memberikan opini. Ini tidak jauh berbeda dengan seorang pasien dan dokter, dimana apabila pasien salah menerangkan keluhan yang dideritanya maka dokter juga akan salah mendiagnosa penyakit pasiennya dan dapat dipastikan akan memberi resep atau obat yang salah pula pada pasien tersebut.
  • Tidak dapat memastikan apakah seluruh dokumen-dokumen yang diberikan dalam bentuk fotokopi sesuai dengan aslinya atau tidak.
Untuk mengatasi permasalahan ini, maka jika dipergunakan dokumen fotokopi, maka harus ada pernyataan jika pembuat Legal Opinion tidak meneliti serta memeriksa dokumen asli dari dokumen-dokumen fotokopi tersebut, agar jika terjadi kesalahan data tidak menimbulkan masalah baru.
Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Bahwa Legal Opinion sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi para pihak yang berkepentingan dan sedang mengalami permasalahan hukum agar dapat membuat dan mengambil suatu keputusan atau tindakan yang tepat berkenaan dengan masalah yang dihadapi.
  2. Bahwa Indonesia belum mempunyai standar baku yang mengikat bagi seluruh Advokat Indonesia berkenaan dengan bentuk Legal Opinion.
  3. Bahwa advokat yang berpraktek dalam wilayah Republik Indonesia hanya memiliki kewenangan untuk memberikan Legal Opinion didalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak berkompeten untuk menyampaikan pendapat hukum yang didasarkan pada hukum selain hukum Indonesia.
Catatan: diolah dari berbagai sumber dan referensi buku, diantaranya buku Argumentasi Hukum karya Prof. Dr. Philippus Hadjon, SH. dan buku Penelitian Hukum karya prof. Dr. Pieter Mahmud, SH. LLM. Juga dari beberapa sumber di Internet.

Sumber: http://zamronicenter.com/orasi/hukum/100-legal-opinion.html