Monday, January 24, 2011

KUHAP Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia

Jakarta, MK Online - Pemerintah mengakui masih terdapat beberapa kekurangan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini terungkap dalam persidangan uji materi terhadap KUHAP, Selasa (18/1) di ruang sidang pleno MK. “Kita menyadari dalam berjalannya undang-undang, setelah berlaku sekian lama akan nampak beberapa kekurangan-kekurangan,” ujar perwakilan Pemerintah dalam persidangan. “(Oleh karenanya,) kami akan lakukan perbaikan-perbaikan dalam KUHAP,” lanjutnya.
Dalam jawabannya, Pemerintah mengungkapkan, Pemohon dalam perkara nomor 28 tidak memiliki legal standing. “Para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, maupun putusan-putusan yang telah menjadi yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi,” ungkap Pemerintah. Pemerintah juga menyatakan, permasalahan hukum yang sedang dimohonkan bukanlah terkait persoalan konstitusionalitas norma, melainkan masalah implementasi norma yang diuji.
Untuk diketahui, Yusril saat ini sedang tersangkut kasus korupsi Sisminbakum. Yang mana, ia meminta untuk dihadirkan Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie sebagai saksi meringankan dalam kasusnya. Namun ditolak oleh kejaksaan dengan alasan saksi bisa dipanggil kalau mengetahui, mendengar atau melihat suatu tindak pidana.
Dalam persidangan kali ini, Pemohon dengan nomor perkara 28/PUU-VIII/2010 hadir diantaranya: Ratna Dewi, Eka Sumarni, Rico Pandeirot, Rocky L. Kawilarang. Sedangkan Pemohon dengan nomor perkara 65/PUU-VIII/2010, Yusril Ihza Mahendra, hadir tanpa didampingi kuasannya. Dari Pemerintah, hadir Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM, Direktur TUN Sumarsono, serta beberapa Jaksa dari Kejaksaan Agung.
Adapun Pemohon nomor 28 menguji Pasal 65 KUHAP. Sedangkan Yusril, selain menguji pasal yang sama, juga menguji Pasal 1 nomor 26 dan 27, Pasal 116 ayat (3) dan (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a. Menurut mereka, rumusan pada pasal-pasal tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1).
Terkait pokok perkara, Pemerintah menyatakan, pasal-pasal yang diuji oleh para Pemohon tidak bertentangan dengan Konstitusi. Karena, lanjut Pemerintah, dengan adanya ketentuan tersebut, malah memberikan keseimbangan bagi setiap orang untuk menghadirkan saksi ataupun ahli saat berperkara, baik ditingkat penyidikan maupun persidangan. “Artinya, bahwa disisi lain terdakwa atau tersangka diberikan hak untuk menghadirkan saksi atau ahli yang meringankan atau a de charge. Dan disatu sisi, penyidik tidak bisa semena-mena menghadirkan saksi atau ahli yang sebaliknya,” ungkap Pemerintah.
Bahkan tidak hanya itu, menurut perwakilan Pemerintah, jika permohonan pengujian pada Pasal 1 dikabulkan, maka akan terjadi kerancuan, ketidakjelasan, serta ambiguitas dalam memahami KUHAP. Sebab, dalam Pasal 1 tersebut diatur batasan-batasan definisi dari  istilah yang digunakan dalam pasal-pasal berikutnya. “Yang menjadi pijakan dalam memahami pasal-pasal,” ungkapnya. 
Pada kesempatan yang sama, Majelis Hakim Konstitusi juga mendengarkan keterangan para ahli yang dihadirkan oleh Pemohon (perkara nomor 65). Para ahli tersebut adalah staf pengajar dan pakar hukum pidana serta hukum acara pidana dari beberapa perguruan tinggi. Mereka adalah Eddy O. S. Hiariej (Universitas Gadjah Mada), Mudzakkir (Universitas Islam Indonesia), Khairul Huda (Universitas Muhammadiyah Jakarta), Kurnia Toha (Universitas Indonesia) dan prkatisi hukum O.C Kaligis.
Pada intinya, para ahli tersebut berpandangan, permasalahan yang sedang dimohonkan oleh Pemohon adalah masalah konstitusionalitas norma. Karena, rumusan dalam norma-norma tersebut tidak bersesuaian dan bahkan bertentangan satu sama lain. “Sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum, sebagaimana prinsip-prinsip dasar yang telah diatur dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1),” ungkap Eddy.
Dalam paparannya, dia mendasarkan argumentasinya pada empat interpretasi, yakni interpretasi historis, doktriner, gramatikal, dan futuristik. Menurut Eddy, seseorang yang sedang dalam proses perkara pidana, pada tingkatan apapun -baik penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan- seharusnya dapat mengajukan saksi atau ahli yang meringankan atau menguntungkan dirinya. Bahkan, ia melanjutkan, permintaan tersebut menjadi kewajiban bagi aparat hukum untuk dilaksanakan. “Untuk mencegah unfair prejudice (penegakan hukum yang tidak adil),” tegasnya.
Senada dengan hal itu, Mudzakkir, berpendapat, pengumpulan alat bukti haruslah dilakukan secara objektif dan komprehensif. Sebab, jika hal ini tidak dilakukan oleh aparat hukum, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perampasan hak tersangka ataupun terdakwa. “Berpotensi melanggar hak asasi manusia,” imbuhnya.
Bahkan, ahli lainnya, Kurnia Toha, menyitir salah satu ungkapan dalam penegakan hukum, “lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, daripada menghukum 1 orang yang sebenarnya tidak bersalah.” Dengan mengungkapkan hal ini, Ia ingin menyatakan bahwa prinsip fairness dalam proses penegakan hukum adalah harga mati. “Peradilan sesat maka konsekuensinya adalah batal demi hukum,” tegasnya. Selain itu, Mudzakkir menegaskan, saksi yang diminta untuk dihadirkan tidak perlu diminta persetujuan atau kesediannya terlebih dahulu. “Caranya bisa disesuaikan (dengan situasi dan kondisi),” tuturnya. (Dodi/mh)

 Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4937

No comments:

Post a Comment

No SARA please..