Thursday, January 20, 2011

Mengimplementasikan Azas Pembuktian Terbalik

Di tengah gencarnya Tim SBY meneriakkan slogan “Anti Korupsi”, fakta maraknya mafia peradilan diberbagai bidang kelembagaan Negara dan Swasta menjadi sinisme publik. Banyak kasus jual beli hukum yang melibatkan advokat, polisi, jaksa, hakim, dan panitera, misalnya; Mafioso pajak Gayus Tambunan dalam kasus manipulasi pajak yg telah melibatkan sejumlah perwira polri yang kini masih dalam proses hukum, kasus Bahasyim Asyifi, Syahriel Johan, kemudian kasus-kasus lama seperti Ramadhan Rizal (Panitera PT DKI Jakarta dalam kasus penyuapan Abdullah Puteh diganjar 8 bulan penjara), Harini Wiyoso, Pengacara Probosutedjo dalam kasus perkara kasasi, dan masih banyak lagi kasus lainnya

Kasus jual beli hukum bagai fenomena gunung es, kasus yang terkuak ke permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kasus-kasus yang ada sesungguhnya. Setelah sekian tahun lamanya kita hidup dalam era reformasi, cita-cita penegakan hukum tanpa pandang bulu dan tebang pilih rasanya masih jauh dari api dari panggang. Supremasi hukum yang menjadi salah satu tuntutan reformasi sekedar orasi manis di atas mimbar belaka.
Banyak pakar dan ahli hukum yang melihat hukum di Indonesia ibarat pisau dapur, tajam di bawah dan tumpul di atas. Hukum hanya garang saat berhadapan dengan pencuri ayam dan kambing, tapi mandul saat berhadapan dengan penjahat “kerah putih”. Keadilan dan kebenaran bukan milik semua warga Negara. Hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil tapi tidak bagi para penguasa dan orang-orang yang berkantong tebal, karena hukum masih bisa dimainkan dan dibeli.

Tidak tegaknya hukum di negeri ini karena semua aparat penegak hukum, dari kepolisian, kejaksaan, panitera, dan hakim terkontaminasi oleh apa yang kita kenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Pengadilan tidak memberikan keyakinan kepada rakyat bahwa di sana mereka bisa menemukan keadilan dan kebenaran.
Teriakan SBY untuk memberantas korupsi tidak akan majas jika mafia peradilan masih tetap berkeliaran. Ia akan selalu menjadi benalu bagi upaya dan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia sampai kapanpun.
Melihat banyaknya kasus jual beli hukum yang terungkap (tentu saja masih lebih banyak lagi yang belum terungkap), tindakan pemberantasan korupsi harus dimulai dengan membersihkan dinding-dinding lembaga penegak hukum dari “tikus-tikus kotor”. Pemerintah harus berani mengikis habis mafia peradilan ini.

Pemberian remisi dan grasi kepada para koruptor baru-baru ini oleh pemerintah, laksana petir di siang bolong. Ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Terkesan pemerintah demikian bersikap lunak kepada para koruptor. Ironis sekali, disatu sisi pemerintah hendak memberantas korupsi di sisi lain pemerintah demikian over forgiving ( terlalu pemaaf ) kepada para koruptor. Preseden tersebut akan semakin membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan aparat penegak hukum kian pupus. Ini akan menumbuh-suburkan munculnya aksi-tindakan anarkhis dan main hakim sendiri sebagai akibat inkredibilitas publik kepada institusi hukum pemerintah. Tentu perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi penegakan hukum dan stabilitasi Negara.
Jadi sudah semestinya pemerintah hendaknya membenahi lembaga-lembaga penegakan hukum, dengan menerapkan asas pembuktian terbalik. Tanpa itu, sampai habis suara SBY teriak “ Berantas Korupsi “, para koruptor dan calon-calon koruptor baru akan tetap “senyum diplomat” . Selama hukum masih bisa dibeli, apa yang mesti dikawatirkan ?!

Sejarah tentang pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Prof. Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self-incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut dengan istilah pembuktian negatif.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali suap (bribery).
Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.
Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mandul dan impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan lagi. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.

Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.
Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001 dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut teknis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.
Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi. Jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutannya.

Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.      
Beberapa faktor  yang  menghambat  mekanisme pembuktian terbalik dalam sistem hukum kita :
  1. Bahwa kewajiban beban pembuktian terbalik, tidaklah dikenal dalam sistem hukum kita. Celah untuk menggunakan asas pembuktian terbalik, telah dikunci rapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita. Pada pasal 66 KHUP ditegaskan bahwa, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Dengan demikian, seseorang yang telah disangkakan telah melakukan tindak pidana, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan bebab pembuktian terbalik.
  2. Penggunakan asas pembuktian terbalik, dianggap melanggar hak-hak dasar seseorang. Terlebih jika hal tersebut dikaitkan dengan asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum (non self incrimination). Pasal 14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”.
  3. Adanya problematika hukum, yakni meski celah untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik, terdapat pada sejumlah klausul Undang-undang kita, namun secara universal berlaku asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” atau peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah, harus tunduk kepada peraturan hukum yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, peraturan tersebut tidak boleh melanggar ketentuan yang berada diatasnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menyebutkan bahwa, jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri dari : UUD 45, UU/Perpu, PP, Perpres dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, aturan dalam bentuk apapun untuk mengakomodasi asas pembuktian terbalik, akan dipersoalkan sebab melanggar ketentuan UUD 45 sebagai dasar tertinggi dalam penyelenggaraan hukum Negara kita.
 
Perlu Terobosan Hukum
Meskipun asas pembuktian terbalik dianggap kontradiktif dengan kitab undang-undang kita, namun terdapat beberapa aspek hukum yang patut dijadikan pertimbangan dalam pemberantasan tindak pidana penggelapan, korupsi dan pencucian uang. Asas pembuktian terbalik, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa, “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik bisa dikatakan setengah hati, dengan tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann dakwaannya”.

Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa, “Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
 
Pembuktian Terbalik Untuk Pejabat Negara
Jika beban pembuktian terbalik diakomodir dalam sejumlah peraturan perundang-undangan akan tetap dianggap bertentangan dengan aspek HAM, khususnya menyangkut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), lantas bisakah beban pembuktian terbalik diberlakukan ke dalam sistem hukum kita?. Jawaban dari pertanyaan ini, tentu saja mengacu konteks dan situasinya. Jika beban pembuktian terbalik diberlakukan pada kasus penyalahgunaan uang Negara (penggelapan, korupsi, pencucian uang), maka tidak ada alasan untuk menolak pemberlakukan beban pembuktian terbalik ini. Hal tersebut dapat diperkuat dalam beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, bahwa pejabat penyelenggara Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang dimilikinya baik sebelum, ketika dan sesudah menjabat. Hal ini diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, pasal 5 ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”. Dengan demikian, beban pembuktian terbalik dapat diberlakukan sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan uang Negara lainnya. Perlu diingat bahwa, beban pembuktian terbalik ini disyaratkan bagi seseorang yang melekat pada dirinya kewajiban sebagai pejabat penyelenggara Negara, bukan dirinya sebagai personal.

Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya pulalah asas pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa pula, meski bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah. Logika hukum (logic of law), adalah prinsip yang penting untuk menguatkan posisi ini. Dimana kita dapat belajar dari upaya pemberantasan korupsi dengan membangun suatu komisi Negara (contoh: KPK), dengan sejumlah kewenangan yang bersifat diluar kaedah-kaedah hukum pada umumnya. Misalnya kewenangan penuntutan, yang sebelumnya hanya menjadi beban jaksa penuntut, namun melalui UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka KPK diberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan.lembaga penuntut kita yang cenderung mandul dalam menyelesaikan perkara korupsi (Pasal 6 huruf c). Dengan demikian, upaya pemberlakukan beban pembuktian terbalik, juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar biasa dalam membangun sistem penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme picik.

Ketiga, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan untuk dirinya sendiri, namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan dan pencucian uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, merupakan tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, aturan hukum yang bersifat status quois, perlu untuk ditinjau ulang dengan tidak hanya terpatok kepada aturan-aturan teks semata. Jika sistem aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan masyarakat, maka adalah keharusan kita untuk mencari jalan keluar dengan memberlakukan asas pembuktian terbalik sebagai wujud keberpihakan hukum di Negara kita. Progresifitas hukum harus kita pandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana  untuk memperoleh keadilan secara utuh.
Sudah barang tentu pembuktian terbalik da­lam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korup­si menimbulkan pro dan kontra. Pandang­an kontra mengatakan bahwa, pembukti­an terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan de­ngan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Na­mun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber ke­miskinan dan kejahatan luar biasa yang pelik pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di berbagai negara, maka hak asasi in­dividu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melain­kan hak relatif. Berbeda dengan per­lindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang  fair dan kredibel.   

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me­ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freez­ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum. Pasca ratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.

Azas  pembuktian terbalik bukanlah barang haram dalam dunia hukum. Setidaknya untuk kasus penyuapan pejabat negara (bribery), pembuktian terbalik digunakan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 memperkenankan penggunaan pembalikan pembuktian terbalik dalam kasus suap.
Selain itu pembuktian terbalik juga bisa digunakan sebagai upaya memperkuat sistem LHKPN dalam mencegah penyelewengan pejabat negara. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, pejabat penyelenggara negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang dimilikinya baik sebelum, ketika dan sesudah menjabat.

Melihat bagaimana kasus Gayus, Bahasyim, kasus-kasus terdahulu dan yang paling baru terkait laporan PPATK terkait sejumlah transaksi mencurigakan sejumlah menteri dan anggota Dewan. Pemberlakuan pembuktian terbalik bagi pejabat penyelenggara negara perlu segera dilakukan demi menyelamatkan uang negara dan menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
Yang terpenting dalam hukum pem­buktian terbalik terhadap setiap kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, oleh karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan. Memang korupsi sudah seharusnya diakomodir di dalam UU baru pemberantasan korupsi. Dan semua itu terpulang pada good will pemerintah dan DPR untuk membangun Indonesia yang clean government supaya tercipta good governance dalam Negara kita ke depan. Semoga !!

Hery Nugroho, Staf Ahli Khusus Anggota Dewan, Fraksi Demokrat DPR-RI, mantan staf peneliti LP3ES, mantan jurnalis SCTV,.alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada

No comments:

Post a Comment

No SARA please..