Thursday, January 20, 2011

Non-Self Incrimination


ASAS-asas hukum yang bersifat mendasar dan universal yang dianut sistem peradilan pidana kita (KUHAP) membuatnya dijuluki masterpiece. Katakanlah, habeas corpus yang diterjemahkan dengan praperadilan dan Miranda Rule yang merupakan judge-made-law dari Mahkamah Agung AS secara eksplisit telah menjadi bagian kaedah yang operasional dalam KUHAP. Misalnya Pasal 77-83 tentang praperadilan, Pasal 50-68 tentang tersangka dan terdakwa, serta Pasal 69-74 tentang bantuan hukum.

Dalam peraturan pelaksanaan KUHAP itu bahkan dikatakan, The International Bill of Human Rights dapat digunakan untuk mengukur nilai Hukum Acara Pidana Baru (baca: KUHAP), sambil mengutip Pasal 9 dan 14 dari Konvenans Sipil dan Politik.
Tulisan ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan relevan dengan perhatian kita dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu harus menghormati asas praduga tak bersalah. Di sisi lain, tidak menegakkan hukum dengan ''menipu" masyarakat sama seriusnya dengan pelanggaran hukum itu sendiri.
Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu. Karena ini adalah hukum, tidak ada relevansinya dengan mengatakan, misalnya, tidak taat hukum.

Karena peradilan pidana kita menganut sistem akusatorial, bukan lagi inkuisitorial, suatu pemaksaan atau compulsory self-incrimination adalah hal yang bertentangan dengan prinsip yang paling dasar dari peradilan pidana itu. Bahkan, sesuatu yang lebih lunak dari itu pun tidak diperbolehkan, seperti meminta satu jawaban yang akan dikait-kaitkan dengan bukti lain, link-in-chain, karena bertentangan dengan asas non-self incrimination itu.
Asas yang mendasar dan universal ini secara operasional terelaborasi dalam pasal-pasal KUHAP. Pertama, tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Bahkan, ia tidak boleh menjawab dalam proses pemeriksaan—hanya diingatkan kalau hal itu terjadi, lalu pemeriksaan diteruskan (Pasal 66 jo 175). Kedua, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas. Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan. Hal ini dilarang dengan tujuan agar pemeriksaan itu mencapai hasil yang tidak menyimpang dari apa yang sebenarnya, sekaligus menjauhkan dari rasa takut. Karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka/terdakwa (Pasal 52 jo 166). Ketiga, pengakuan tersangka/terdakwa bukanlah merupakan alat bukti (Pasal 184).

Sekarang, bila asas-asas yang dianut dalam sistem peradilan pidana kita itu digunakan untuk melihat pemeriksaan kasus KKN Soeharto, agaknya ada salah titik tolak dari pemerintah, termasuk Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung. Pemerintah dengan hanya berdasarkan pemberian surat kuasa dari seseorang yang sedang dicurigai (Soeharto) telah bergerak untuk mencari hartanya di luar negeri. Padahal, sudah diketahui, sebelum pemberian surat kuasa itu, sudah pernah dinyatakan bahwa Soeharto tidak memiliki uang sesen pun di luar negeri. Secara a-contrario, sesuai dengan asas non-self incrimination di atas, mustahil Soeharto memberikan surat kuasa untuk mengambil uangnya itu. Konkretnya, ia tidak akan memberikan pernyataan dan/atau bertindak kalau pada akhirnya hal itu membuat ia in a crime. Bukankah ''berbohong", yang menurut agama dilarang, ketika seseorang menjadi terperiksa, menjadi sesuatu yang wajar dan diperkenankan sesuai dengan asas the right to silence dan hak ingkar? Dengan demikian, naif secara hukum bila serta-merta kita percaya begitu saja keterangan dari seorang terperiksa, mantan presiden Soeharto, padahal secara hukum kepentingan satu sama lain berlawanan.

Karena itu, kepergian Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung ke luar negeri dalam rangka penegakan hukum benar-benar menjadi suatu ilusi—kecuali kalau kepergian itu untuk (1) sekadar merespons pemberitaan majalah Time, (2) membuktikan bahwa Soeharto tidak berbohong dengan mengatakan tidak punya uang di luar negeri, (3) mengesankan bahwa pemeriksaan yang sedang berjalan itu seolah-olah sungguh-sungguh, (4) melindungi mantan presiden Soeharto dan keluarganya.
Sebagai tambahan, kepergian kedua pejabat itu tidak jelas, apakah dalam rangka penyelidikan, yang berarti proses pidana, atau dalam rangka ''bantuan-hukum" untuk mengambilkan uangnya, yang berarti proses perdata. Kalau hal itu merupakan proses penyelidikan, a preliminary investigation, Menteri Kehakiman Muladi tidak relevan untuk ikut di dalamnya. Sebab, ia bukan seorang penyelidik.
Kita sedang bermain-main atau mempermainkan orang lain. Di satu sisi, sistem peradilan pidana telah menentukan bahwa seseorang yang sedang diperiksa, apalagi yang telah menjadi tersangka atau terdakwa, berhak segera perkaranya diajukan ke pengadilan. Sebab, penundaan tanpa kepastian adalah ''penganiayaan". Di sisi lain, kebijakan dan/atau tindakan seolah-olah penegakan hukum adalah ''penipuan" terhadap kepentingan publik.

Maka, seperti jargon Orde Baru dulu, yang patut dicamkan adalah kita senantiasa taat asas. Kalau pemerintah (Jaksa Agung) taat asas, dugaan ''penganiayaan" dan ''penipuan" secara sekaligus tidaklah akan terjadi. Dan kepergian Jaksa Agung keluar negeri itu pun tidaklah perlu karena kenyataannya kepergian itu bukan keinginan penyelidik atau penyidik, melainkan keinginan seorang terperiksa. Ingat asas non-self incrimination.

Luhut M.P. Pangaribuan
Ketua Majelis Nasional PBHI
 

No comments:

Post a Comment

No SARA please..