Wednesday, March 23, 2011

PHK dan Kompensasi yang Diberikan


Komponen penghitungan kompensasi PHK adalah (Pasal 157 UU 13/2003):
  1. Upah Pokok;
  2. Tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepda pekerja dan keluarganya.

Sedangkan komponen kompensasi yang diterima pekerja yang terkena PHK adalah:
  1. Uang Pesangon (UP)
  2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)             
  3. Uang Penggantian Hak (UPH)
  4. Uang Pisah
 Untuk menghitung besarnya kompensasi yang diterima pekerja terkena PHK masih harus dilihat alasan-alasan PHK.
            Alasan PHK dan kompensasi yang diterima adalah:

No
Alasan PHK
Besar Kompensasi
1.       
Mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (1))
Berhak atas UPH
2.       
Tidak lulus masa percobaan
Tidak berhak kompensasi
3.       
Selesasinya Kontrak Kerja
Tidak berhak kompensasi
4.       
Pekerja melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (1))
Berhak atas UPH
5.       
Pekerja melanggar PK/PKB/PP (Pasal 161 ayat (1))
1xUP + 1xUPMK + UPH
6.       
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran Pengusaha (Pasal 169 ayat (1))
2xUP + 1xUPMK + UPH
7.       
Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya
Tergantung kesepakatan
8.       
Pernikahan antar pekerja (jika diatur)
1xUP + 1xUPMK + UPH
9.       
PHK massal karena Perusahaan rugi/force majeur (Pasal 164 ayat (1))
1xUP + 1xUPMK + UPH
10.   
PHK massal karena Perusahaan melakukan efisiensi (Pasal 164 ayat (3))
2xUP + 1xUPMK + UPH
11.   
Perusahaan Pailit (Pasal 165)
1xUP + 1xUPMK + UPH
12.   
Pekerja meninggal dunia (Pasal 166)
2xUP + 1xUPMK + UPH
13.   
Pekerja mangkir 5 hari/lebih & telah dipanggil 2 kali secara patut (Pasal 168 ayat (1))
UPH + Uang Pisah
14.   
Pekerja sakit berkepanjangan/karena kecelakaan kerja (setelah 12bln). (Pasal 172)
2xUP + 2xUPMK + UPH
15.   
Pekerja ditahan dan tidak dapat bekerja (setelah  6 bln)  (Pasal 160 ayat (3))
1xUPMK+UPH
16.   
Pekerja ditahan dan diputus bersalah (Pasal 160 ayat (5))
1xUPMK+UPH
17.   
Peleburan, penggabungan, perubahan status & pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja (Pasal 163 ayat (1))
1xUP + 1xUPMK+UPH
18.   
Peleburan, penggabungan, perubahan status & pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan (Pasal 163 ayat (2)) kerja
2xUP + 1xUPMK+UPH

19.   
Pekerja memasuki usia pensiun. (Pasal 167)
Jika perusahaannya mempunyai program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh perusahaan.

·    Tidak Berhak atas UP dan UPMK.
·    Berhak atas UPH sesuai ketentuan.
·    Bila uang program pensiun < jumlah 2xUP + 1xUPMK + UPH sesuai ketentuan, maka kekurangan dibayar oleh pengusaha.
20.   
Pekerja memasuki usia pensiun. (Pasal 167)
Jika perusahaannya menyediakan program pensiun yang iurannya dibayar oleh perusahaan dan pekerja
Maka yang diperhitungkan UP yaitu uang pensiun yang iurannya dibayar oleh pengusaha kecuali diatur lain dalam PP/PKB (Pasal 167 ayat (5))
21.   
Pekerja memasuki usia pensiun. (Pasal 167)
Jika perusahaannya tidak memiliki program pensiun.
2xUP + 1xUPMK + UPH (Pasal 167 ayat (5))

Dalam hal perhitungan Uang Pesangon, UU menentukan paling sedikit sbb (Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003):
a.      masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.      masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.       masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.     masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.      masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.        masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.      masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h.      masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.        masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Mengenai penghitungan Uang Perhargaan Masa Kerja (UPMK), ditentukan oleh UU bahwa UPMK diberikan kepada pekerja ter-PHK yang telah bekerja selama 3 thn atau lebih. Besarnya UPMK adalah (Pasal 156 ayat (3) UU 13/2003):
a.      masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.      masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.       masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.     masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.      masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.        masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.      masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.      masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.        

Mengenai ketentuan penghitungan Uang Penggantian Hak (UPH), UU menentukan, bahwa besaran UPH adalah (Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003):
a.      cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.      biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.       penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.     hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Sedangkan tentang Uang Pisah, hal ini tergantung dari apakah diatur dalam PK, PKB, atau PP (Pasal 168 ayat (3)).


Hak Pekerja Yang Mengundurkan Diri.

Jika merujuk pada Pasal 162 ayat (1) UU 13/2003, ditentukan bahwa:
“Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan tersebut, maka bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri tidak mendapatkan uang pesangon melainkan uang pengganti hak. Namun, itupun masih ada syaratnya yaitu memenuhi ketentuan Pasal 162 ayat (3); yang berbunyi:
“Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.       mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.       tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.”
Jadi, apabila pekerja/buruh mengajukan pengunduran diri dengan tidak memenuhi ketentuan Pasal 162 ayat (3) atau dengan kata lain mengundurkan diri secara tiba-tiba atau tidak memberitahukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelumnya, maka ia tidak mendapatkan Uang Penggantian Hak, karena melanggar ketentuan Pasal 162 ayat (3).

Wednesday, March 9, 2011

Meski Lewati Batas Waktu, Pengadilan Belum Mengabulkan PKPU Kreditor

Majelis menilai permohonan PKPU tidak bisa diterima serta merta tanpa memeriksa kebenaran dan keabsahan kapasitas para pihak.

Penerapan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor, nampaknya masih simpang siur. Hal ini terlihat dalam kasus perdana yang sedang berjalan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dalam persidangan kemarin (9/8), majelis pengadilan niaga yang diketuai oleh Binsar Siregar, belum mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan oleh Investeringsmaatschappij Voor Vlaanderen N.V (GIMV) terhadap PT Cahaya Interkontinental (CI).

Berdasarkan Pasal 225 ayat (3) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, diatur bahwa dalam 20 hari sejak permohonan didaftarkan, hakim harus mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor. Sebagaimana diberitakan hukumonline, permohonan PKPU GIMV telah didaftarkan sejak 20 Juli lalu.  


Pasal 225 (3) UU No 37/2004
(3)    Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.


Majelis berpandangan, PKPU ini tidak dapat diputus begitu saja tanpa memeriksa kebenaran dan keabsahan kapasitas para pihak. Apalagi, CI juga masih mempersoalkan surat kuasa penasihat hukum GIMV.

Daftar kreditor
Dalam sidang itu pula, kuasa hukum GIMV, Tony Budidjaja meminta kepada majelis agar CI segera mengajukan daftar kreditornya. Ia mengacu pada ketentuan Pasal 224 ayat (4) UU No. 37/2004.

Namun, permintaan ini tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Majelis malah meminta GIMV untuk menyampaikan hal-hal yang menjadi keberatannya secara tertulis. Selain itu, majelis kembali menegaskan perlunya dilakukan pemeriksaan terhadap kapasitas para pihak dalam perkara ini, sebelum menginjak pada agenda persidangan terlalu jauh.

Harus diperiksa dulu, apa benar memang kreditornya. Apa benar debitornya. Kalau tidak, nanti setiap orang bisa seenaknya mempailitkan, ujar Edy Cahyono, salah satu anggota majelis.

Sedianya, kuasa hukum CI, Chandra Hamzah berniat mengajukan tanggapan terhadap permohonan PKPU GIMV. Pasalnya, CI tetap berpendirian bahwa GIMV bukanlah kreditor CI. Artinya utang yang dimaksud oleh GIMV tidak pernah diakuinya. Namun, tanggapan itu akan disatukan dengan keberatannya terkait surat kuasa penasihat hukum GIMV.

Penafsiran hakim
Berdasarkan pengamatan hukumonline, pelaksanaan permohonan PKPU oleh kreditor ini tidak lagi berjalan sebagaimana praktik PKPU yang diajukan oleh debitor. Bisa jadi ini diakibatkan dalam UU No 37/2004 tidak ada aturan khusus tentang PKPU yang diajukan oleh kreditor. majelis telah menganjurkan adanya proses jawab menjawab. Hal ini tentu berlawanan dengan konstruksi permohonan PKPU yang sifatnya ex parte (tanpa pihak), sebagaimana praktik yang selama ini diterapkan.

Menanggapi hal ini Tony menilai tidak perlu ada proses jawab menjawab, melainkan. debitor harus menyerahkan daftar kreditornya ke pengadilan. Cukup secara administrasi saja, dalam artian secara prima facie saja. Tidak perlu ada pemeriksaan materiil, ujarnya kepada hukumonline.

Apabila kemudian kreditor pemohon PKPU tidak berada dalam daftar kreditor tersebut, maka menurut Tony hakim cukup adil jika kemudian hakim menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor.

Ketidakjelasan mengenai isi undang-undang sehingga diperlukan penafsiran hakim, untuk persoalan kepailitan bukanlah kali pertama. Beberapa tahun lalu misalnya sempat terjadi perbedaan interpretasi mengenai klausul arbitrase dalam suatu perjanjian yang dijadikan dasar mengajukan permohonan pailit. Solusinya, dalam Pasal 303 UU No.37/2004 dikatakan adanya klausul arbitrase tidak otomatis menyebabkan pengadilan niaga tidak berwenang memeriksa permohonan pailit.


http://hukumonline.com/berita/baca/hol13377/meski-lewati-batas-waktu-pengadilan-belum-mengabulkan-pkpu-kreditor

Agar PKPU Lebih Optimal Pengurus Idealnya Miliki Latar Belakang Akuntan

Undang-Undang Kepailitan memberi wewenang yang begitu besar kepada pengurus dalam memfasilitasi proses PKPU. Ironisnya, disinyalir banyak pengurus yang hanya berperan tak lebih sebagai "petugas administrasi", ketimbang memaksimalkan fungsinya sebagai fasilitator PKPU. Karena banyak pengurus yang tidak mengerti membaca neraca keuangan?

Undang-Undang Kepailitan (UUK) menugaskan pengurus dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bukan hanya semata-mata untuk menyusun daftar tagihan, menyusun daftar budel pailit, atau mengirimkan undangan rapat kreditur. Seorang pengurus yang diangkat oleh Pengadilan Niaga harusnya mampu berperan lebih dari sekadar "petugas administrasi".
Apabila pengurus mampu mengoptimalkan perannya, niscaya proses restrukturisasi utang melalui proses PKPU akan lebih sukses ketimbang proses restrukturisasi lain di luar Pengadilan Niaga. Hal tersebut dikemukakan oleh GP Aji Wijaya, seorang kurator dan pengurus di Jakarta.
Sayangnya, saat ini banyak pengurus yang kurang mampu memahami perannya yang begitu besar dalam proses PKPU. Menurut Aji, hal tersebut terjadi karena keterbatasan kemampuan dari pengurus yang bersangkutan. "Kalau mau jujur berapa banyak lawyer yang bisa baca laporan keuangan. Berapa banyak yang bisa baca draf restrukturisasi?,"komentar Aji kepada hukumonline.
Keuntungan lebih banyak 
Menurut Aji, sebenarnya proses PKPU memiliki keuntungan lebih banyak dibandingkan proses restrukturisasi lain di luar Pengadilan Niaga. Berbeda dengan restrukturisasi melalui Prakarsa Jakarta misalnya, PKPU prosesnya lebih cepat dan tidak memerlukan persetujuan seluruh kreditur.
"Kalau di luar Pengadilan Niaga, persetujuannya harus multilateral dan seluruh kreditur harus menyetujui. Kalau ada satu yang tidak setuju dan dia tidak ikut voting, maka kreditur tersebut tidak terikat dengan perjanjian restrukturisasi. Dia bisa setiap saat menggugat," ungkap Aji.
Sedangkan apabila melalui proses PKPU di Pengadilan Niaga, apabila terpenuhi kuorum saat voting terhadap rencana perdamaian, maka kreditur yang tidak setuju maupun yang tidak hadir saat voting tetap terikat dengan perjanjian perdamaian.
Lagi pula, perjanjian perdamaian atau restrukturisasi yang disahkan Pengadilan akan menjadi suatu produk hukum yang mengikat. Jangka waktu yang disediakan UUK untuk proses PKPU maksimal hanya 270 hari. Bandingkan dengan Prakarsa Jakarta yang memakan waktu bertahun-tahun.
Latar belakang akutansi 
Bagi Aji, idealnya seorang pengurus memiliki latar belakang akuntansi dan mampu menjembatani kepentingan kreditur dan debitur. Bahkan, seorang pengurus harusnya memberikan advis terlebih dahulu terhadap rencana perdamaian yang disusun oleh debitur, sebelum rencana perdamaian tersebut disampaikan dan dibahas oleh kreditur.
Yang pasti, Undang-Undang Kepailitan memberi wewenang yang begitu besar kepada pengurus untuk mensukseskan proses PKPU ketimbang hanya menjadi "petugas administrasi". Pengurus harus aktif menyampaikan pendapatnya terhadap rencana perdamaian yang sedang disusun debitur.
"Jadi jangan hanya mengantar rencana perdamaian debitur ke sana ke mari. Tetapi waktu dimintai penjelasan oleh kreditur, dia tidak bisa menjawab," tukas Aji.

http://hukumonline.com/berita/baca/hol6178/font-size1-colorff0000bagar-pkpu-lebih-optimalbfontbrpengurus-idealnya-miliki-latar-belakang-akuntan

PKPU Kreditor: Tanpa Adanya Utang, Pemohon Tidak Punya Legal Standing

''Kalau sudah dikatakan kreditor, berarti sudah punya piutang.''

Teka-teki tentang tata cara pengajuan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh kreditor mulai terjawab. Penjelasan pun akhirnya mulai terungkap, setelah Fred BG Tumbuan, salah satu anggota tim penyusun UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, angkat bicara.

Ditemui di tengah suatu seminar di Jakarta, Fred menjelaskan bagaimana maksud pembuat undang-undang dalam menerapkan pengajuan permohonan PKPU oleh kreditor, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 222 UU No. 37/2004.

Kalau sudah dikatakan kreditor, berarti sudah punya piutang. Kalau belum ada utangnya, maka pasal itu tidak bisa digunakan, karena tidak punya legal standing, paparnya kepada hukumonline (18/8).

Pendapat Fred ini berbeda dengan putusan majelis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memutus perkara perdana permohonan PKPU oleh kreditor terhadap debitor. Sebagaimana diberitakan, 8 Agustus lalu, telah diajukan permohonan PKPU pertama kalinya oleh kreditor. Namun dalam penerapannya, ternyata timbul beberapa pertanyaan seputar tata cara pengajuan permohonan ini.

Pasalnya, dalam pengajuan PKPU oleh kreditor belum ada pengakuan utang, sebagaimana berlaku pada pengajuan oleh debitor. Bahkan dalam permohonan PKPU pertama tersebut, pihak yang dianggap sebagai debitor, membantah adanya utang yang dimaksud oleh pengaju PKPU, alias pihak yang mengaku sebagai kreditor.

Bukti kreditor
Mengenai pembuktian oleh kreditor, menurut Fred  tidak akan ada persoalan, apabila pihak yang mengaku sebagai kreditor itu, memiliki bukti yang kuat. Kreditor pasti tahu, jika dia memang betul kreditor. Kalau dia tidak tahu berarti keterlaluan. Tanpa itu, dia tidak bisa mengajukan PKPU, tandas Fred yang juga menjadi anggota tim pakar Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Adanya bantahan dari pihak termohon PKPU, dalam hal ini debitor, dipandangnya sebagai hal yang wajar. Jika terjadi hal demikian, maka pihak debitor berhak mengajukan bantahannya. Kemudian, lanjutnya, hakim akan meminta kepada pihak yang mengaku sebagai kreditor untuk mengajukan bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata


Pasal 1865 KUH Perdata
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.


Mengenai prosedur, Fred menekankan hukum acara yang berlaku dalam mengajukan bantahan dan  pembuktian sama halnya dengan permohonan kepailitan. Namun yang harus diperhatikan, proses ini berlangsung selama 20 hari sejak permohonan didaftarkan.

Fred juga memandang tidak ada urgensi dikeluarkannya hukum acara tersendiri melalui Peraturan Mahkamah agung (Perma), dalam hal pengajuan PKPU oleh kreditor. Sebab, permohonan PKPU dan permohonan Kepailitan masih dalam satu jiwa undang-undang yang sama.


http://hukumonline.com/berita/baca/hol13426/pkpu-kreditor-tanpa-adanya-utang-pemohon-tidak-punya-ilegal-standingi

POIN-POIN PENTING DAN DASAR-DASAR HUKUM PROSES PKPU DALAM PERKARA KEPAILITAN

A.             Periode Waktu Proses PKPU:

  1. Tiga hari setelah pendaftaran permohonan PKPU hakim harus mengabulkan permohonan PKPU. Majelis Hakim yang memeriksa permohonan PKPU menunjuk hakim pengawas dan pengurus. Pasal 225 ayat (2).
  2. Permohonan PKPU wajib diperiksa dan diputus lebih dahulu dari permohonan pailit jika PKPU diajukan pada saat pemeriksan permohonan pailit. Pasal 229 ayat (3).
  3. Paling lambat dalam tempo 38 hari sejak diucapkannya putusan PKPU sementara, Debitor harus sudah menyerahkan kepada pengadilan usulan perdamaian (negosiasi).
  4. Dalam tempo 45 hari sejak dinyatakan PKPU sementara diadakan pendaftaran Kreditor dan rapat permusyawaratan dan sebelum hari ke-45 berakhir Debitor mengajukan permohonan PKPU tetap. Pasal 225 ayat (4). Para Kreditor dipanggil melalui pengumuman di 2 Surat Kabar.
  5. Apabila tidak ada kesepakatan permusyawaratan bisa ditunda dan keputusan harus sudah dicapai selambat-lambatnya dalam tempo 270 hari. Pasal 228 ayat (6). Apabila rencana perdamaian tidak mendapat dukungan suara lebih dari ½ dari jumlah yang hadir mewakili 2/3 dari jumlah seluruh tagihan. Apabila tidak tercapai perdamaian maka pada hari ke-271 harus dinyatakan pailit (penjelasan Pasal 230 ayat (1)), namun apabila tercapai perdamaian maka dilakukan pengesahan perdamaian.

B.            Tentang Bunga Sebagai Tagihan:
  1. Seluruh bunga tetap berlaku hingga adanya putusan PKPU. Pasal 273 ayat (1).
  2. Bunga yang jatuh temponya tidak jelas dimasukkan dalam daftar untuk nilai yang berlaku pada tanggal diucapkannya putusan PKPU untuk memperoleh pembayaran secara berkala. Pasal 273 ayat (1).
  3. Piutang yang jatuh temponya 1 tahun setelah putusan PKPU diucapkan disamakan dengan tagihan yang dapat ditagih pada tanggal diucapkannya putusan PKPU. Pasal 275 ayat (2).
  4. Semua piutang yang dapat ditagih lewat dari 1 tahun sejak diucapkannya putusan PKPU masuk dalam daftar nilai yang berlaku 1 tahun setelah diucapkannya putusan PKPU. Pasal 275 ayat (3).
  5. Semua utang adalah utang yang dihitung sampai dengan diucapkannya PKPU sementara.

C.                 Hak Suara dan Penetapan PKPU tetap:
Rencana PKPU tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh pengadilan berdasarkan:
    1. Disetujui lebih dari ½ Kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui. Pasal 229 ayat (1) huruf a; dan
    2. Disetujui lebih dari ½ jumlah Kreditor preferen yang hadir dan mewakili 2/3 bagian dari seluruh tagihan Kreditor.

D.                 Voting Rencana Perdamaian:
a.       Disetujui lebih dari ½ Kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui. Pasal 281 ayat (1) huruf a; dan
b.      Disetujui lebih dari ½ jumlah Kreditor preferen yang hadir dan mewakili 2/3 bagian dari seluruh tagihan Kreditor.

E.             Voting Penambahan Pengurus:
  1. Usulan pengurus tambahan dapat terjadi berdasarkan: usulan hakim pengawas, permintaan lebih dari ½ jumlah Kreditor yang hadir dalam rapat, permohonan pengurus sendiri atau pengurus lainnya. Pasal 236 ayat (3).

F.              Jenis-jenis Kreditor dan Besaran Suara dalam voting:
  1. Kreditor Istimewa (Kreditor Separatis), yaitu Kreditor yang didahulukan antara lain: pajak, biaya perkara, biaya kurator.
  2. Kreditor Preferen, (Secured Creditor) yaitu Kreditor yang didahulukan karena dilindungi oleh Hak Tanggungan.
  3. Kreditor Konkuren, (Unsecured Creditor) yaitu Kreditor biasa yang mendapat pembayaran setelah Kreditor Istimewa dan Kreditor Preferen dilunasi.

G.            Utang dan Sindikasi:
  1. Setiap anggota sindikasi adalah Kreditor yang dapat bertindak terpisah dari sindikasi.
  2. Jumlah Kreditor dihitung berdasarkan kelipatan Rp 10.000.000 per satu suara. Pasal 87 ayat (3) UUK/PKPU jo. penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No 10 Tahun 2005 Tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor.

H.                 Jumlah Tagihan Sebelum dan Setelah Kepailitan atau PKPU:
1.      Tagihan yang dialihkan oleh Kreditor kepada Kreditor lain sebelum PKPU/Kepailitan tidak dikenakan tindakan actio pauliana karena tidak merugikan boedel pailit.
2.      Pengalihan tagihan setelah PKPU/Kepailitan tidak mengalihan hak suara kepada pemilik baru. Pasal 87 ayat (4).
3.      Kreditor yang mempunyai hak suara adalah Kreditor yang diakui atau yang diterima dengan syarat atau pembawa piutang atas tunjuk yang telah dicocokan oleh pengurus. Pasal 88.

I.                    Piutang atas Tagihan yang Tertunda dan Kepastian Lanjutan Usaha:
  1. Dalam hal ada perjanjian timbal balik kepada pihak ketiga yang belum dipenuhi, Debitor dapat meminta pengurus memberikan penegasan akan kelanjutan perjanjian tersebut. Pasal 249.
  2. Dalam hal ada perjanjian timbal balik dimana debitor belum melakukan seluruh kewajibannya (future trading, misalnya: belum menyerahkan sesuatu benda) yang akan jatuh tempo kemudian, apabila tidak ada kesepakatan antara pengurus dan debitor, pemegang perjanjian timbal balik dapat menuntut sebagai Kreditor konkuren. Pasal 249 ayat (3)