Thursday, May 31, 2012

Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (Hans Kelsen : General Theory of Law and State)



I.        KONSEP HUKUM DINAMIS (“NOMODINAMICS”)
Hans Kelsen adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat[1]. Pada hakekatnya ajaran Hans Kelsen melangkah lebih jauh. Menurutnya ilmu negara itu harus menarik diri atau melepaskan pemikirannya secara prinsip dari tiap-tiap percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya secara kausal atau sebab musabab yang bersifat abstrak, dengan kata lain kalau kita hendak membicarakan negara katakanlah saja negara itu sebagaimana adanya. Sedangkan disisi lain Hans Kelsen berpendapat bahwa ilmu hukum tidak perlu lagi mencari dasar negara, kelahiran negara untuknya hanya merupakan suatu kenyataan belaka, yang tidak dapat diterangkan dan ditangkap dalam sebutan yuridis[2].
Jadi, masih menurut Hans Kelsen negara itu identik dengan hukum, namun demikian Hans Kelsen juga mengakui bahwa negara itu terikat oleh hukum karena negara itu adalah suatu tertib hukum, atau suatu tertib masyarakat yang bersifat memaksa, dan karena suatu sifat memaksa itulah maka di dalam negara ada hak memerintah dan kewajiban tunduk, maka kesimpulannya adalah bahwa negara itu identik dengan hukum[3].

A.  Tata Hukum
1.        Kesatuan Tata Normatif
a.  Norma Dasar Sebagai Landasan Validitas[4]
Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Kita menyatakan suatu norma bahwa “Kamu dilarang membunuh karena Tuhan melarangnya” atau “Kamu harus pergi ke sekolah, karena ayahmu memerintahkannya.”
Alasan validitas norma kamu dilarang membunuh adalah norma umum yaitu kamu harus mematuhi perintah Tuhan. Jadi alasan validitas norma adalah selalu suatu norma, bukan fakta. Kita menerima pernyataan bahwa kamu harus membantu pengikutmu yang membutuhkan sebagai norma yang valid karena norma ini berasal dari pernyataan kamu harus mencintai tetanggamu. Norma ini kita terima sebagai norma yang valid karena merupakan norma akhir yang validitasnya ada pada norma itu. Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar[5].
b.  Sistem Norma Statis[6] dan Norma Dinamis[7]
Dalam teori statis, suatu norma adalah valid dan hal ini berarti kita mengasumsikan bahwa individu yang perbuatannya diatur oleh norma harus berbuat sesuai dengan yang ditentukan norma, yang berdasarkan nilai isinya merupakan suatu bukti yang menjamin validitasnya. Norma-norma demikian seperti “Kamu tidak boleh berbohong”, “Kamu tidak boleh menipu”, “Kamu harus menepati janjimu”, mengikuti dari norma umum yang menerapkan kebenaran. Sedangkan Teori dinamis obyeknya adalah aktivitas proses pembuatan dan pelaksanaan hukum, sistem norma yang disebut tata hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Karakter dinamis ini menjadi karakter dari norma hukum di mana norma dasar dari suatu sistem hukum adalah aturan dasar yang mengatur pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut, dimana Norma dengan sistem dinamis harus dibuat melalui tindakan individual yang telah diotorisasikan (delegasi) untuk membuat norma oleh norma yang lebih tinggi.

2.        Hukum Sebagai Sistem Dinamis
a.  Positivisasi Hukum
Sistem norma yang disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem dinamis. Hukum adalah selalu hukum positif, dan positivisasi tersebut berdasarkan pada fakta bahwa hukum tersebut dibuat dan dibatalkan dengan tindakan manusia yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hukum adalah suatu hierarkhi mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam.
Dasar yang terpenting dari Kelsen ini adalah, manusia sebagai bagian dari alam tunduk sebagai hukum sebab-akibat dan mengatur perilakunya dengan perintah-perintah[8]. Hal inilah yang membedakan antara hukum positif dengan hukum alam yang dideduksikan dari norma dasar tidak nyata yang dianggap sebagai ekspresi dari kehendak alam atau rasio alam. Hukum positif atau “hukum yang disebut sebenarnya” yang masih ada memiliki empat ciri unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan[9].
b.  Hukum Kebiasaan dan Undang-Undang
Kebiasaan adalah tindakan umum yang dilakukan secara sadar dan diakui sebagai norma mengikat dan bukan merupakan pilihan bebas, sedangkan hukum (Undang-undang) Hukum selalu dibuat dengan suatu tindakan secara sengaja sebagai pembuatan hukum (melalui legislasi), kecuali dalam hal ketika hukum tertentu berasal dari kebiasaan.
Dalam hal suatu negara, haruslah dipandang negara tersebut sebagai suatu kesatuan tata tertib, atau suatu kesatuan peraturan, dengan demikian maka tidak mungkin negara dapat diperhadapkan dengan hukum[10]. Jika dilihat secara fundamental, dari segi pembentukannya maka tentu saja hukum kebiasaan dan Undang-undang adalah berbeda karena Hukum undang-undang harus dipahami sebagai hukum yang dibuat dengan cara selain kebiasaan, yaitu oleh legislatif, yudisial, atau tindakan administratif, atau oleh tindakan hukum lainnya.

3.        Norma Dasar Suatu Tata Hukum
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali secara langsung atau tidak, kepada konstitusi awal. Namun jika tata aturan yang awal/terdahulu terhenti, dan tata aturan baru mulai berlaku, karena perbuatan individu diatur menurut tata aturan baru, maka tata aturan ini menjadi tata aturan yang valid dan mulai saat itu perbuatan individu dinilai sebagai legal atau ilegal menurut tata aturan baru ini.
Setiap satu norma kehilangan validitasnya ketika keseluruhan tata hukum norma tersebut kehilangan keberlakuannya Norma-norma ini valid bukan karena tata hukum secara keseluruhan berlaku, tetapi karena dibuat dengan cara konstitusional.
Di sisi lain norma dasar suatu tata hukum nasional bukan merupakan imajinasi hukum. Fungsi norma dasar adalah membuat penafsiran normatif terhadap fakta tertentu mungkin dilakukan, dan hal ini berarti bahwa penafsiran fakta merupakan pembuatan dan pelaksanaan norma yang valid, Norma hukum, dinyatakan valid hanya jika dimiliki oleh suatu tata aturan yang berlaku.
Maka isi dari norma dasar ditentukan oleh fakta melalui mana suatu aturan dibuat dan dilaksanakan. Dalam negara sebagai sistem peraturan hukum yang valid memiliki bentuk kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah bentuknya yang mengikuti perubahan kekuatannya yang menentukan kedudukan sementara dari negara tersebut[11]. Dan konsep validitas hukum yang berubah-ubah tersebut validitasnya dapat dipahami dengan mempelajari empat arti yang diberikan oleh Kelsen,yaitu :
a.  Suatu norma eksis dengan kekuatan mengikat;
b.  Norma partikuler tersebut dapat diidentifikasi sebagai bagian dari suatu tata hukum yang berlaku;
c.  Suatu norma dikondisikan oleh norma lain yang lebih tinggi dalam hirarki norma;
d.  Suatu norma yang dijustifikasi kesesuaiannya dengan norma dasar.,
Sedangkan jika kembali lagi kepada keadaan suatu negara pemikiran hukum memiliki lima aspek indikasi hidupnya fungsi hukum dalam suatu negara yaitu [12];
a.  Semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum;
b.  Pemerintah harus berperilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuatan diskresi;
c.  Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif.

4.        Konsep Hukum Statis dan Dinamis
Sebuah tatanan hukum yang dinamis dapat saja menerapkan konsep hukum yang berbeda  dimana mungkin saja untuk mengabaikan unsur paksaan dalam mengartikan konsep hukum. Pembuat undang-undang dimungkinkan membuat rumusan hukuman baik pidana maupun perdata bagi setiap pelanggar hukum, dan aturan seperti ini tetap valid dianggap sebagai hukum pada akhirnya karena dibuat oleh lembaga yang ditunjuk dan mempunyai kewenangan untuk itu.
Akan tetapi bagaimanapun juga harus tetap diperhatikan bagaimana selain suatu aturan dapat dibuat menurut tata aturan dalam konstitusi tetapi juga harus diperhatikan bagaimana cara para pembuat undang-undang membuat suatu undang-undang atau hukum yang ternyata tidak hanya selalu menyangkut masalah legislasi/pembuatan undang-undang tetapi juga masalah pengaturan kewenangan dan administrasi.


B.  TINGKATAN NORA HUKUM[13]
1.        Norma Superior dan Inferior
Adalah pembagian norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dimana pada prinsipnya norma yang lebih tinggi memiliki cakupan yang lebih luas namun berperan sebagai dasar bagi norma yang lebih rendah, dan sebaliknya norma yang lebih rendah umumnya mengatur atau memiliki ruang lingkup yang cenderung lebih sempit, memiliki substansi yang relatif lebih rinci, akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi karena justru norma yang lebih rendah harus dapat mengacu pada norma yang lebih tinggi.
2.        Tingkatan dalam Tata Hukum
a.  Konstitusi;
1).   Dalam arti Materiil, yang terdiri dari substansi aturan yang mengatur pembuatan norma-norma hukum umum yang lain.
2).   Dalam arti Formiil, artinya adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut ketentuan khusus dengan tujuan agar perubahan norma ini sulit dilakukan.
b.  Undang-undang dan Kebiasaan
Yaitu norma yang ditetapkan oleh para pembuat undang-undang/legislator, yang posisi aturan tersebut berada dibawah konstitusi, digunakan oleh badan/lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang itu yang pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan. Dan secara umum undang-undang dan kebiasaan memiliki dua fungsi yaitu (1) menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti; dan (2) menentukan tindakan yudisial dan administratif badan/lembaga tersebut.
c.  Hukum Substantif dan Ajektif
Adalah hukum materiil dan formiil dimana hukum materiil merupakan aturan, larangan atau perintah, sedangkan hukum formiil adalah seperangkat tata cara hukum untuk mempertahankan hukum materiil.
d.  Penentuan Organ Pelaksana Hukum oleh Norma Umum
Sesuai dengan prosedur dan isi dari fungsi yang dijalankan. Proporsi penentuan pelaksanaan atau pembuatan hukum, baik secara formal maupun material, ditentukan berbeda-beda. Materi konstitusi utamanya menentukan oleh organ mana dan melalui prosedur apa norma umum dibuat.
e.  Peraturan
Beberapa konstitusi juga memberikan kekuasaan pada organ administratif, khususnya kepala negara atau pelaksana eksekutif, pada kondisi yang tidak biasa menetapkan norma umum untuk mengatur masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui undang-undang.
f.  Sumber Hukum
Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.
g.  Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum
Pembuatan norma hukum adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma lebih rendah. Pembuatan hukum menurut konstitusi disebut juga Legislasi.
h.  Norma Individu Yang Dibuat Berdasarkan Norma Umum
Dari sudut pandang dinamis, norma individual yang dibuat oleh keputusan yudisial adalah suatu tahapan dalam suatu proses yang dimulai dengan penetapan konstitusi pertama, dilanjutkan dengan legislasi dan kebiasaan, dan menuju pada proses yudisial. Proses ini menjadi lengkap dengan eksekusi sanksi individual. Hukum undang-undang dan kebiasaan adalah produk setengah jadi yang diselesaikan hanya melalui keputusan pengadilan dan eksekusinya.

C.  Kedaulatan Hukum
Suatu teori tentang kedaulatan hukum memiliki atau merupakan kekuasaan yang tertinggi di dalam suatu negara. Baik penguasa maupun rakyat, dan bahkan negara itu sendiri semuanya patuh kepada hukum[14], baik hukum dalam tingkatan konstitusi (undang undang dasar) maupun hingga kepada tingkatan undang-undang yang lebih rendah bahkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Semua sikap tindak, dan tingkah laku harus sesuai dengan hukum, sehingga pada akhirnya hukum lah yang berdaulat.
Hukum pada dasarnya bukanlah selalu harus diterjemahkan atau diartikan hanya sebagai undang-undang saja, karena hukum tidak timbul dari kehendak negara, hukum memiliki karakter/kepribadian tersendiri, mandiri dan terlepas dari kehendak negara. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum itu dapat diberlakukan terhadap negara, sedangkan hukum itu sendiri terlepas dari negara? Dalam hal ini tiap-tiap individu mempunyai rasa hukum dan rasa hukum itu dapat berkembang menjadi kesadaran hukum.
Rasa hukum yang terdapat pada tiap-tiap individu di samping rasa-rasa lainnya, misalnya rasa kesusilaan, rasa keindahan dan sebagainya. Jadi kesadaran hukum itu adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia, bahkan hukum itu adalah salah satu bagian dari perasaan manusia.

D.  Konsep Negara Hukum
Secara garis besar ada dua konsep mengenai negara hukum. Konsep yang pertama adalah konsep negara hukum formal yang muncul bersamaan dengan negara “modern” yang dengan kekuasaan yang dimilikinya membuat peraturan untuk melindungi hak-hak warganya[15]. Tetapi dalam prakteknya kemudian, negara hukum seperti itu kurang terasa manfaatnya sehingga munculah konsep negara hukum kedua yaitu konsep negara hukum substansial yang pada dasarnya merupakan konsep negara hukum yang mencerminkan keadilan dan kebenaran objektif. Negara modern bertujuan, tidak saja melingsungi masyarakat terhadap kekuasaan negara, tetapi aktif meningkatkan martabat warga dalam bidang-bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Jika dibandingkan kedua konsep tersebut, maka negara hukum substansial lebih mengedepankan hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan konsep negara hukum formal hanya mementingkan perlindungan individu dan dituangkan dalam bentuk peraturan, prosedur, doktrin, dan sebagainya. Tentunya negara hukum formal tidak mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Konsep negara hukum formal lebih menonjolkan pembedaan status kewarganegaraan, sehingga tidak seluruh masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Konsep negara hukum selalu dikaitkan dengan pengertian “demokratis” sehingga kedua istilah tersebut kemudian digabungkan menjadi negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu sebenarnya hukum harus digunakan sebagai instrumen pengaturan mengenai kewenangan lembaga-lembaga negara, perwujudan HAM dan keadilan. Tidak semua negara hukum adalah negara demokratis. Karena pemerintahan monarkis pun taat kepada hukum. Tetapi demokrasi yang bukan negara hukum, bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, selain itu juga demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
Sebenarnya konsep negara hukum harus lebih dipahami sebagai suatu kondisi di dalam masyarakat yang mampu mengembangkan hukum dalam negara demokratis yang ditentukan oleh rakyat bagi pengaturan hubungan di antara sesama rakyat. Itu sebabnya ada salah satu perspektif penting di dalam sosiologi hukum yang harus dipahami dan diimplementasikan secara baik yaitu, bahwa undang-undang maupun konstitusi meruapakan konsensus dari beragam aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka norma-norma hukum yang harus diciptakan oleh para pembuat hukum atau pembentuk konstitusi, terutama yang mengatur pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara khususnya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, adalah norma-norma hukum yang memiliki landasan sosiologis yang kuat. Intinya adalah, bahwa norma-norma hukum tersebut harus dibuat dengan terlebih dahulu mendapat tanggapan dan masukan yang relevan dari berbagai lapisan masyarakat[16].
Pada negara hukum modern yang berkembang, umumnya telah memasukkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam konstitusi dan peraturan hukumnya dengan mengacu pada unsur-unsur negara demokratis yaitu:
1.        ada pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang dan peradilan;
2.        penyusunan pembentukan undang-undang secara demokratis;
3.        asas legalitas;
4.        pengakuan atas hak asasi manusia.
Secara lebih jauh asa legalitas adalah asa yang dipakai untuk menjami asas-asas lainnya, antara lain asas pembatasan kekuasaan pemerintahan dan hak-hak asasi. Dan juga adanya pengawasan pengadilan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh pelaksanan undang-undang (pemerintah), pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum.













DAFTAR PUSTAKA

Efendy, Marwan. Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum“. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2005
Fredmaan, W. “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan I“. Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990
Kelsen, Hans. General Theory Of Law And State” New York : Russel, 1961 dalam “Politik Hukum II”, dikumpulkan oleh Arinanto, Satya. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Pieris, John (dkk), “Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen“, Jakarta: Penerbit Pelangi Cendekia, 2007
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004)
*Tugas Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.

[1] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004), hal.139
[2] Loc. cit.
[3] Loc. cit., hal 141
[4] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, (New York : Russel, 1961) dalam “Politik Hukum II”, dikumpulkan oleh Satya Arinanto (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004) hal.2
[5] Ibid, hal 3
[6] Ibid., hal 4
[7] Ibid., hal 5
[8] W. Fredmaan, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan I, (Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990) hal.170.
[9] Ibid, hal 150
[10] Soehino,Op. cit..,  hal 141
[11] Soehino,Op. cit..  hal 141
[12] Marwan Efendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2005), hal.19
[13] Hans Kelsen, Op.cit. hal.15
[14] Soehino,Op. cit..  hal 156
[15] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Penerbit Pelangi Cendekia, 2007), hal 23
[16] Ibid. hal. 26

Friday, May 25, 2012

Resume & Tanggapan - Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik


I.              HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
A.              Transisi Politik Menuju Demokrasi
Pergolakan yang terjadi sejak sekitar 1970 menimbulkan perubahan-perubahan dari negara-negara yang dahulunya bersifat otoritarianisme / totaliter menjadi negara yang bersifat demokratis.
Perubahan tersebut pada awalnya dimulai dari kawasan Selatan Eropa, bergerak ke Amerika Latin, lalu ke bagian Timur Eropa, dan kemudian ke Afrika Selatan.
Terjadinya perubahan atau pergeseran sifat dari totaliter ke demokrasi bagaimanapun juga meninggalkan pengalaman yang hampir sama yaitu pelanggaran-pelanggaran HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriter yang telah diganti. Namun demikian rezim-rezim otoritarian yang ada disuatu negara tidak dapat disamakan dengan rezim otoritarian dinegara lainnya, begitu pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sepeninggal rezim rezim otoritarian tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi yang coba diungkap oleh rezim demokrasi yang menggantikan pada masa transisi bukanlah perkara yang mudah, karena pada beberapa kasus pelanggaran Ham walaupun faktor-faktor internasional dapat mempengaruhi jalannya transisi namun para pelaku utama dan pengaruh-pengaruh dominan pada masing-masing kasus tetap berasal dari dalam negeri.
Banyaknya permasalahan dan kasus-kasus pelanggaran HAM dapat dilihat dari bagaimana cara-cara transisi dari pemerintahan otoritarian dibentuk oleh keadaan historis tentang seperti apa proses sebuah rezim otoritarian sebelumnya jatuh oleh sebab-sebab tertentu.
Dari beragamnya sifat rezim otoritarian, apapun jenisnya, jika dilihat, terdapat beberapa kesamaan yaitu adanya hubungan sipil-militer yang tidak terlalu diperhatikan atau tidak memiliki jiwa hubungan sipil-militer seperti di negara industrial demokratis yang disebutnya dengan istilah “kontrol sipil objektif” yang didalamnya terkandung: (1) profesionalime militer yang tinggi; (2) subordinasiyang efektif; (3) pengakuan dan persetujuan dari pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri; dan (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya.
Militer pada masa otoritarian dipandang sebagai instrumen penguasa dalam pemerintahan satu partai, maksudnya adalah bahwa militer harus menjadi bagian dari partai; komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel dengan rangkaian komando militer serta loyalitas tertingginya lebih dominan kepada partai daripada kepada negara. Hal inilah yang menjadi tantangan yang serius yang harus dihadapi negara demokrasi yang baru yaitu untuk mereformasi hubungan sipil-militer.
Di negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara pemetaan fungsi militer dan sipil sudah bisa berjalan seimbang dan berperan sebagaimana fungsi masing-masing tanpa tumpang tindih dan intervensi, karena yang berjalan atau menjadi pedoman adalah “supremasi sipil”, sehingga pengaruh yang ada adalah pengaruh sipil terhadap militer dan bukan sebaliknya. Dalam masalah ini masa transisi ke sifat demokrasi masi diperlukan reposisi hubungan sipil-militer dalam arti yang mencakup keseluruhan dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja, dan Indonesia termasuk negara yang perlu untuk melaksanakan reposisi tersebut juga.
Selain hal-hal tersebut diatas pasca transisi dan negara totaliter berubah menjadi negara demokrasi diperlkan juga adanya kebijakan baru untuk menyelesaikan permasalahan dengan rezim yang sebelumnya, penyelesaian dengan mendahulukan segala bentuk upaya pertanggungjawaban dari rezim terdahulu. Dibeberapa negara, tiap-tiap pemerintahnya memiliki cara yang berbeda beda untuk berhubungan dengan masa lalunya termasuk misalnya untuk membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM, namun dalam upaya pengungkapan tersebut tidak ada jaminan bahwa pengadilan dapat dijadikan sarana terbaik untuk mengungkap dan menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Seorang tokoh dalam sejarah filsafat Yunanai yaitu Solon yang diberi tanggung jawab untuk merevisi secara drastis terhadap sistem ekonomi, sosial, dan politik Athena melakukan tindakan yang mencerminkan cara-cara pemerintahan modern dalam mencoba untuk mengadakan rekonsilasi / pemulihan hubungan dengan masa lampau yaitu dengan cara (1) pemberian “perlindungan yang besar” bagi populasi penduduk yang kini dikenal dengan istilah kekuasaan hukum yang termasuk juga didalamnya instrumen demokratis dari majelis rakyat dan proses pengadilan yag adil, serta perlindungan hak terhadap yang lemah; (2) masyarakat baru memerlukan tatanan sosial yang baru, contohnya melalui pembersihan propaganda, menghimpun kesadaran, dan pembaruan sosial; (3) berhubungan dengan penanganan masa lalu, adalah salah satunya untuk menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan berkuasa; (4) melakukan pemihakan apakah mendukung otoritas atau melakukan perlawanan.
Masih dalam pembahasan masa transisi, ternyata ada satu hal yang cukup mendasar berkaitan dengan perubahan kedudukan dan peranan militer, hal mana sering kali juga dikaitkan dengan ideologi “kemanan nasional” yang melaksanakan bahwa kekuatan militer harus memiliki monopoli yang tidak dapat dipersengketakan mengenai hal-hal yang menjadi kepentingannya. Namun kini format tersebut berubah berdasarkan “Paradigma Baru” kelompok reformis yang berpendapat bahwa militer dalam hal ini TNI di Indonesia contohnya hanya dapat diubah secara gradual dan untuk itu ada beberapa langkah yaitu, (1) pengurangan dalam perwakilan militer (TNI-POLRI); (2) penghapusan praktik kekaryaan atau pengalihan sementara perwira militer ke posisi-posisi sipil; (3) adanya netralitas politik; (4) pemisahan POLRI dari TNI; dan (5) orientasi pertahanan. Berdasarkan hal diuraikan diatas maka dapat dilihat bahwa reformasi militer / demiliterisasi tidak hanya berkaitan dengan militer saja.


II.         Keadilan Transisional
A.              Pengantar
Ketika terjadinya perubahan drastis atau pergeseran rezim dari totaliter kepada rezim demokratis, masyarakat di berbagai belahan dunia berusaha untuk memutuskan mata rantai dengan pemerintahan peninggalan rezim totaliter dan mulai fokus membangun dan menembangkan demokrasi. Namun dibalik itu muncul permasalahan apakah sebuah masyarakat harus menghukum masa lalunya atau cukup membiarkan kaitan dengan masa lalu untuk tetap ada.
Konsep keadilan transisional akhirnya telah membawa permasalahan kepada suatu tahapan dengan suatu pola pendekatan yang menimbulkan perdebatan kontemporer. Rusia sebagai contoh, pernah memulai dengan suatu cara membawa komunisme ke pengadilan akan tetapi belum menghasilkan terlalu banyak hal untuk melawan masa lalunya yang condong mendukung pemikiran J.W Stalin. Dan contoh lain di Uruguay, dimana rakyat akhirnya memberikan referendum untuk tidak menyelidiki pemerintahan militer yang sewenang-wenang yang berakhir pada tahun 1985. Begitu juga dinegara lain yang menemukan kesulitan untuk melupakan adanya peninggalan hubungan sejarah di hadapan korban-korban yang berjatuhan.
Dari beberapa contoh pengalaman tersebut, bagaimanapun juga fenomena yang terjadi justru terlihat adanya semacam ketertutupan, banyak bang sa telah berupaya untuk menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”.
Seorang mantan petinggi Amnesty International, Daan Bronkhorst memilih kata-kata yang dijadikan tolok ukur penting untuk menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan keadilan transisional, yaitu kata “kebenaran”, “rekonsiliasi” (pemulihan terhadap korban-korban tindakan represif dari masa lalunya) dan ”keadilan”, hasilnya berdasarkan hasil penelitian Bronkhorst di dunia terdapat sekitar 40 negara yang mengambil langkah pencarian kebenaran, rekonsiliasi dan keadilan sebagai bagian dari konsepsi keadilan transisional, hal mana juga sebenarnya penting untuk dilakukan oleh Indonesia.


B.              Konteks Internasional pada Waktu Transisi
Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri, pemerintahan asing didorong untuk berperan baik dalam melindungi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atatu memfasilitasi pengeluaran atauu ekstradisi mereka untuk diadili.
Konsep penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional yang menempatkan institusi-institusi dan proses-proses diatas hukum dan politik domestik, dan menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang pemahamannnya dipercayai oleh pengadilan-pengadilan lokal. Adapun suatu perdebatan tentang ilmu hukum timbul, secara khusus contohnya di Amerika Serikat, mengenai apakah pengadilan pasca perang yang diselenggarakan di Nuremberg dan Tokyo sejalan dengan prinsip aturan hukum, dan disinilah hukum internasional menunjukan perannya sebagai penengah untuk mereduksi dilema dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam transisi.

C.              Keadilan dalam Masa Transisi Politik
Wacana tentang “keadilan transisional” pada umumnya dibingkai oleh masalah normatif bahwa beberapa respon hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka terhadap demokrasi dan dalam perkembangannya terdapat pandangan yang saling berhadapan yaitu kelompok idealis dan realis. Adapun pandangan tersebut adalah sbb: apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan aturan-aturan hukum atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik.
Di Indonesia hubungan yang erat antara hukum dan politik ini pernah diteliti oleh Moh.Mahfud Md yang menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya hukum ternyata tidak bebas dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pertanyaan tentang mana yang lebih utama apakah hukum atau politik, pertanyaan yang mengawali pertanyaan lainnya seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter, dsb.

D.              Dilema Penerapan Aturan Hukum
Suatu dilema muncul dalam suatu periode transisi politik yang substansial tentang penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Apakah yang dapat dijadikan dasar bagi suatu rezim yang terdahulu agar dapat dibawa ke pengadilan? Apakah keadilan pidana sesuai dengan aturan hukum? Dilema yang dihadapi oleh keadilan pidana yang menggantikan ini membawa kita ke arah permasalahan yang lebih luas tentang teori mengenai sifat dan peranan hukum dalam proses perubahan menuju ke suatu negara liberal.
Disisi lain, Teitel berpendapat bahwa pada masa perubahan politik, masalah legalitas tidaklah sama dengan masalah dalam teori hukum seperti yang muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap pada masa-masa yang normal. Pilihan terhadap prinsip-prinsip ajudikasi termasuk kondisi dan peranan transitional judiciary mengimplikasikan suatu pertanyaan yang terkait dengan dimana, sebagai suatu masalah institusional, pekerjaan perubahan transformasi) seyogyanya ditempatkan, pada pengadilan  atau parlemen.

 
TANGGAPAN
Peralihan rezim atau pergantian rezim dalam suatu masa transisi yang dalam hal ini sebagai contoh adalah ketika runtuhnya rezim otoriter berganti ke rezim demokrasi tidak selalu dapat berjalan dengan baik.
Situasi politik dalam suatu negara pada pada masa transisi umumnya sulit untuk distabilkan, dalam hal ini sebagai contoh dapat dilihat keadaan Republik Indonesia pada saat rezim “iron fist”  Presiden Soeharto runtuh dan kemudian berganti ke era demorasi yang menuntut keterbukaan dan kebebasan berpikir, berpendapat, berkreasi d.l.l.
Pergeseran pola pemerintahan pada masa itu dituntut untuk dapat diselenggarakan dalam waktu yang singkat, namun dalam perjalananannya tidak dapat dipungkiri, menjembatani masa otoriter dengan masa demokrasi.
Banyak pihak mungkin berharap bahwa rezim demokrasi akan 180 derajat berbeda dan lebih baik dibanding ketika otoriter masih berkuasa, namun kenyataannya hingga kini, di republik ini masih banyak masalah yang dihadapi yang beberapa diantaranya mungkin saja warisan dari masa otoriter. Seperti misalnya masalah bagaimana suatu negara demokrasi harus memperlakukan pihak-pihak yang telah bersalah melakukan kejahatan-kejahatan direzim yang lalu, masalah sulitnya mencapai jalan keluar yang adil dan pantas serta dapat diterima oleh masyarakat yang telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua belah pihak, baik pihak yang menindas maupun yang menutup-nutupi suatu pelanggaran/penindasan.
Masih bobroknya birokrasi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih terjadi, dan kebebasan berpendapat yang kebablasan adalah sedikit contoh masalah yang ternyata jika dilihat, justru tidak seburuk apa yang terjadi era otoriter.
Sebagai perbandingan, mungkin masih dapat diingat betapa Indonesia begitu “powerful” setidaknya di level regional (ASEAN), sebagai bukti adalah pada masa Presiden Soeharto, Indonesia memiliki keunggulan dibidang pendidikan, pelatihan militer, industri pesawat (IPTN), sektor pertanian yang berkualitas, dan sektor industri lainnya yang cukup membanggakan, namun kini, di era demokrasi (reformasi) hampir banyak sektor bahkan sektor strategis pun sudah “disusupi” oleh keterlibatan asing. Orientasi pemerintah dewasa ini cukup mengherankan, profit yang sebesar-besarnya tanpa mengutamakan kemandirian anak bangsa.
Banyak komoditas diimpor dari luar negeri dengan dalih, lebih murah impor daripada produksi di dalam negeri (kebijakan impor lebih menguntungkan). Kebijakan tersebut tentu saja semakin menyudutkan industri kecil atau industri lain di dalam negeri. Karena persaingan produk mereka dengan produk asing yang cukup sulit diimbangi baik dari segi harga maupun kualitas. Disini sebenarnya peran pemerintah yang demokratis haruslah lebih melindungi kepentingan bangsa sendiri dengan memberikan bantuan berupa permodalan, pelatihan sumber daya manusia, pengendalian kualitas produk yang memadai, dan kebijakan yang tidak mencekik leher pengusaha dalam negeri.
Permasalahan-permasalahan inilah yang terjadi di era demokrasi yang secara de facto  justru cenderung lebih ke gaya kapitalis / liberal. Memang benar ketika runtuhnya kaum otoritarian pada tahun 1998 beberapa oknum pejabat kemudian di adili karena atas beberapa pelanggaran, baik pelanggaran HAM, dugaan tindak pidana korupsi dan lain sebagainya. Namun setelah berganti ke era demokrasi sekarangpun, ternyata masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan  penyalahgunaan wewenang pun masih acap kali terjadi.
Belum terungkapnya kasus Semanggi I dan II, Tanjung Priok, Korupsi BLBI, adalah beberapa “dosa” era otoriter yang ternyata sekarangpun belum bisa diampuni oleh sebagian besar masyarakat, bahkan pelaku-pelakunya pun tidak jelas karena perkara-perkara tersebut diatas menguap cenderung menjadi “mainan kampanye” bagi rezim berkuasa.
Di era demokrasi pun seperti itu juga, korupsi Bank Century, mafia perpajakan, korupsi anggota dewan, korupsi proyek pembangunan, mafia hukum adalah sedikit dari beberapa contoh perkara-perkara yang penuntasannya tidak sesuai harapan masyarakat. Seiring bergantinya rezim pemerintahan, maka nantinya akan berganti pula arah kebijakan dan gaya politiknya. Entah bagaimana nantinya pemerintahan yang selanjutnya harus mengambil sikap terhadap permasalahan-permasalahan tersebut diatas.
Melihat problematika diatas sebenarnya permasalahan yang mendasar dan dominan yang sering dibicarakan pada masa reformasi tidak lain dan tidak bukan adalah mengenai aspek hukum. Aspek yang dimaksudkan adalah melingkupi berbagai soal yang, yang secara general pada pokoknya dibagi menjadi (1) struktur; (2) substansi; dan (3) kultur (Lawrience M. Friedman. Dalam prakteknya di era reformasi, ketiga-tiganya sulit untuk dilaksanakan secara seimbang karena bagaimanapun juga dalam penegakan hukum di Indonesia masih sering ditemui adanya intervensi faktor-faktor politis, hal ini lah penyebab timbulnya inkonsistensi dalam law enforcement.
Arah kebijakan pemerintah yang pro rakyat dirasa masih sangat kurang karena begitu tergantungnya negeri ini terhadap cengeraman asing. Kontras dengan bagaimana seharusnya negara demokrasi tumbuh dan berkembang. Kemampuan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat di rasa masih jauh panggang dari api. Sementara jika kita menilik ke masa otoriter, entah mengapa, cukup banyak petani, nelayan, dan kaum termarginal yang cenderung lebih bersyukur dengan kebijakan pada masa  Presiden Soeharto. Terbukti dengan berjayanya Indonesia pada sektor agraris yang pada masa itu mencetak prestasi dengan berswasembada, sektor perikanan, sektor olahraga dimana pada beragam event olahraga baik tingkat regional maupun internasional Indonesia bisa menjadi yang diperhitungkan, pada sektor pendidikan, cukup banyak mahasiswa dari kawasan regional yang menuntut ilmu di Indonesia (namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya), pertahanan dan keamanan yang pada masa itu bisa meredam gerakan-gerakan/ ancaman-ancaman terhadap keamanan maupun kedaulatan negara (berbeda dengan sekarang dimana pemerintah Indonesia masih belum bisa tenang akibat ulah teroris), dan hal-hal lainnya.
Perbedaan-perbedaan ini lah yang pada akhirnya membuat banyak pihak termasuk penulis berkesimpulan bahwa tidak selalu rezim otoriter itu buruk, dan tidak selalu rezim demokrasi itu baik, karena semuanya bagai dua sisi mata uang, ada baiknya dan ada buruknya. Di masa otoritarian pemerintahan begitu kuat dengan “melemahkan” rakyat, di masa demokrasi pemerintah bergitu terbelenggu oleh kekuatan mafia yang menggurita.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Hal ini lah yang masih menjadi pekerjaan rumah yang sulit baik bagi pemerintah maupun bagi setiap  warganegara.  Dari sisi pemerintah mungkin seharusnya tidak kata terlambat untuk mengembangkan pola pemerintahan yang efektif dan efisien, memangkas alur birokrasi untuk meminimalisir adanya peluang / celah untuk KKN, melaksanakan UUD untuk benar-benar bisa menjadi negara hukum (rechstaat), hukum harus superior, ditegakkan tanpa tebang pilih baik terhadap “sisa-sisa kroni” orde baru maupun mereka-mereka yang menyimpang di era demokrasi, kemudian lakukan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat seperti keringanan pajak bagi pengusaha dalam negeri, alokasikan dana khusus untuk pengembangan penelitian (dalam berbagai bidang, seperti IPTEK, ilmu-ilmu sosial dll), awasi aliran dana untuk proyek-proyek pemerintah dengan sebaiknya, lepaskan pengaruh asing dengan nasionalisasi aset-aset asing agar Indonesia bisa berdaulat dibidang ekonomi, perkuat rasa persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa dengan melibatkan lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, tumbuhkan toleransi sebagaimana amanat Pancasila sila ke-3, dan last but not least upayakan agar politik tidak terlalu banyak mengintervensi hukum dengan benar-benar menjadikan aspirasi/suara rakyat sebagai dasar membuat dan mengambil kebijakan, bukan mendasarkannnya pada kepentingan golongan, atau partai saja. Dengan demikian niscaya Indonesia yang mungkin masih labil pasca masa transisi perlahan tapi pasti akan bisa berdaulat (berdaulat disegala lini; kebijakan umum, sektor ekonomi, penegakan hukum, hankam, dan sosial budaya,dll) dan dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain.

*Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.

Perjanjian Yang Ideal



A.          PENDAHULUAN

Pada hakekatnya sebuah perjanjian adalah sebuah tulisan atau dokumentasi yang berisi dan mengakomodir para pihak yang untuk mencapai tujuan atau prestasi tertentu. Semakin berkembangnya jaman dan kebutuhan tiap-tiap subjek hukum dan berimplikasi terhadap perjanjian-perjanjian dan bentuk-bentuknya yang semakin dinamis yang mengiringi kemajuan jaman yang pesat.
Perjanjian pada umumnya cenderung diartikan sama dengan perikatan. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan konsep dan batasan definisi pada kata perikatan dan perjanjian.
Perjanjian pada dasarnya adalah peristiwa dimana seseorang mengucapkan janji kepada pihak lain atau adanya dua pihak atau lebih yang saling berjanji satu sama lain untuk adanya sebuah tujuan. Perjanjian adalah tindakan yang mengikat dua belah pihak yang berjanji untuk menjamin adanya kepastian. Perjanjian tersebut bisa dibuat melalui lisan maupun tulisan. Kekuatan perjanjian lisan sangatlah lemah, sehingga bila terjadi sengketa diantara pihak-pihak yang berjanji, maka akan lebih sulit dibuktikan kebenarannya. Untuk hal-hal yang sangat penting, orang lebih suka menggunakan surat perjanjian sebagai bukti hitam diatas putih demi keamanan. Sedangkan, perikatan adalah dua pihak yang melakukan suatu hubungan hukum, hubungan yang memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak  untuk memberikan atau memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sebuah perjanjian akan menimbulkan perikatan.
Artinya tidak ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati (perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian juga merupakan sumber perikatan). Namun dilain pihak sebuah perikatan tidak hanya dapat terjadi karena adanya perjanjian sebab timbulnya perikatan juga dapat terjadi karena adanya perintah undang-undang tertentu yang mengaturnya.
Pada tulisan ini untuk selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang definisi, asas, hingga syarat sahnya sebuah perjanjian, agar sebuah perjanjian dapat  dikategorikan sebagai sebuah perjanjian yang ideal.

B.           PENGERTIAN
Perikatan[1]:
Perikatan[2] artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa:
1.      Perbuatan, misalnya, jual-beli, utang-piutang, hibah.
2.      Kejadian, misalnya, kelahiran, kematian, pohon tumbang.
3.  Keadaan, misalnya, pekarangan berdampingan, rumah susun, kemiringan tanah pekarangan.
Perikatan lebih lanjut dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata. Adapun bagian umumnya meliputi aturan dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), Bab IV KUHPerdata yang berlaku bagi perikatan umum.
Perjanjian[3]:
Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang yang lain atau lebih.

C.           ASAS DALAM PERJANJIAN

1.      Asas Terbuka[4]; Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
2.      Asas Konsensualitas; Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
3.      Asas “pacta sunt servanda”; Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan[5].



D.          SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN

Untuk sahnya suatu perjanjian ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata Pasal 1320 yaitu:
1.      Syarat Subyektif:
a.      Sepakat untuk mengikatkan dirinya; dan
b.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
2.      Syarat Obyektif :
a.      Mengenai suatu hal tertentu; dan
b.      Suatu sebab yang halal.

E.            SUBJEK DALAM PERJANJIAN

Pelaku perjanjian dapat terdiri dari manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap subjek hukum yang melakukan atau membuat perjanjian harus[6]:
1.      Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri;
2.      Tidak dalam keadaan terpaksa;
3.      Tidak ada penipuan dari salah satu pihak; dan
4.      Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
Terkait masalah kehendak melakukan atau kewenangan berbuat, setiap pihak dalam perjanjian harus disetujui oleh para pihak karena adanya kewenangan yang syarat-syaratnya menurut hukum sudah ditentukan oleh undang-undang sbb[7]:
1.      Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh;
2.      Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah;
3.      Dalam keadaan sehat akal;
4.      Tidak berada di bawah pengampuan; dan
5.      Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain.

F.            OBJEK PERJANJIAN

Dalam lingkup perjanjian perdata umumnya adalah benda, yaitu setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya.
         Benda yang diperjanjikan haruslah benda yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat.
Apabila benda dijadikan objek perjanjian, maka benda tersebut harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu:
1.      benda dalam perdagangan;
2.      benda tertentu atau dapat ditentukan;
3.      benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud;
4.      benda itu tidak dilarang oleh undang-undang;
5.      benda itu ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya;
6.      benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya;
7.      benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak sah.
Dan dalam konsepsi modern dewasa ini, pengertian benda termasuk juga modal, piutang, keuntungan , dan jasa.

G.          ASAS-ASAS PERJANJIAN

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuannya. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antara lain sebagai berikut:

a.      Asas Kebebasan Berkontrak
         Dengan adanya asas ini dalam hukum perjanjian maka setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apapun baik yang sudah diatur, maupun yang belum diatur dalam undang-undang. Ketentuan mengenai asas ini dicantumkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas kebebasan berkontrak dalam hal ini bukan berarti tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian yang dibuatnya tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.



b.      Asas Konsensuil
Konsensuil berasal dari bahasa latin yaitu consensus yang berarti sepakat. Menurut asas ini, perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

c.       Asas Itikad Baik
Perjanjian ini dijelaskan baik dapat dibedakan obyektif. Itikad baik, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik dapat dibedakan antara itikad baik subyektif dan obyektif. Itikad baik subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu dilakukan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik obyektif artinya pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa saja yang dirasakan sesuai dengan nilai kepatutan dalam masyarakat.

d.      Asas Obligator
         Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, bukan memindahkan Hak Milik. Hak Milik baru dapat berpindah bila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.

H.          PRESTASI & WANPRESTASI

Prestasi[8] adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi adalah objek perjanjian dan menurut Pasal 1234 KUHPerdata umumnya ada tiga kemungkinan wujud prestasi yaitu:
1.      memberikan sesuatu[9];
2.      melakukan sesuatu;
3.      tidak melakukan sesuatu.
Prestasi sebagai objek perjanjian untuk dapat dipenuhi, maka perlu diketahui sifat-sifatnya yaitu:
1.      Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
2.      Prestasi tersebut harus mungkin untuk dipenuhi;
3.      Prestasi harus halal;
4.      Prestasi harus bermanfaat bagi kreditor;
5.      Prestasi terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan.

Wanprestasi, berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena dua kemungkinan yaitu:
1.      karena kesalahan debitur, baik karena sengaja maupun lalai;
2.  karena keadaan memaksa (force majeur)[10], diluar kemampuan debitur. Jadi, debitur tidak bersalah.

Dalam hal menentukan seorang debitur bersalah atau tidak perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur wanprestasi dan dalam hal ini terdapat tiga keadaan[11], yaitu:
1.      debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2.      debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru;
3.      debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu atau terlambat[12].

I.             SURAT PERJANJIAN

Surat perjanjian adalah surat kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Definisi itu menunjukkan ciri khas surat perjanjian sebagai surat yang dibuat oleh dua pihak secara bersama, bahkan seringkali melibatkan pihak ketiga sebagai penguat.
Surat perjanjian ada dua macam, yaitu:
1.      Perjanjian autentik, yaitu perjanjian yang disaksikan oleh pejabat pemerintah.
2.      Perjanjian dibawah tangan, yaitu perjanjian yang tidak disaksikan oleh pejabat pemerintah.
Penggolongan diatas tidak ada hubungannya dengan keabsahan surat perjanjian. Surat perjanjian tanpa notaris, misalnya sah saja asal memenuhi syarat tertentu seperti yang akan dirinci dibawah ini. Selain mencantumkan persetujuan mengenai batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pihak, surat tersebut juga menyatakan jalan keluar yang bagaimana, yang akan ditempuh, seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Jalan keluar disini bisa pemberian sanksi, ganti rugi, tindakan administrasi, atau gugatan ke pengadilan.

J.             GUNA SURAT PERJANJIAN

1.   Untuk menciptakan ketenangan bagi kedua belah pihak yang berjanji karena terdapatnya kepastian didalam surat perjanjian.
2.      Untuk mengetahui secara jelas batas hak dan kewajiban pihak yang berjanji.
3.      Untuk menghindari terjadinya perselisihan.
4.  Untuk bahan penyelesaian perselisihan atau perkara yang mungkin timbul akibat suatu perjanjian.
         Sehubungan dengan guna surat perjanjian pada butir 3 diatas, dalam setiap surat perjanjian harus tercantum pasal arbitrase yang berisi kesepakatan bersama yang menetapkan pengadilan negeri tertentu sebagai tempat untuk menyelesaikan perkara, jika timbul.

K.          SYARAT SURAT PERJANJIAN

Adapun syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
1.      Surat perjanjian harus ditulis diatas kertas segel atau kertas biasa yang dibubuhi materai.
2.      Pembuatan surat perjanjian harus atas rasa ikhlas, rela, tanpa paksaan.
3.      Isi perjanjian harus disetujui oleh kedua belah pihak yang berjanji.
4.      Pihak yang berjanji harus sudah dewasa dan dalam keadaan waras dan sadar.
5.      Isi perjanjian harus jelas dan tidak mempunyai peluang untuk ditafsirkan secara berbeda.
6.      Isi surat perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan norma susila yang berlaku.



L.            ANEKA SURAT PERJANJIAN

Dalam kehidupan modern banyak sekali aktivitas yang perlu dituangkan ke dalam surat perjanjian untuk memperoleh kepastian dan kekuatan hubungan antara surat perjanjian terpenting, berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang perjanjian jual beli, sewa beli (angsuran), sewa-menyewa, borongan pekerjaan, pinjam-meminjam, dan perjanjian kerja.

1.      Perjanjian Jual Beli
Dalam surat ini disebutkan bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan suatu barang kepada pihak pembeli. Sebaliknya, pihak pembeli diwajibkan menyerahkan sejumlah uang (sebesar harga barang tersebut) kepada pihak penjual sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah penandatanganan surat tersebut, kedua belah pihak terikat untuk menyelesaikan kewajiban masing masing. Setiap pelanggaran atau kelainan dalam memenuhi kewajiban akan mendatangkan konsekuensi hokum karena pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan atau klaim.

2.      Perjanjian Sewa Beli (angsuran)
      Surat ini boleh dinyatakan sama dengan surat jual beli. Bedanya harga barang yang di bayarkan oleh pihak pembeli dilakukan dengan cara mengangsur. Barangnya diserahkan kepada pihak pembeli setelah surat perjanjian sewa beli ditandatangani. Namun hak kepemilikan atas barang tersebut masih berada di tangan pihak penjual. Jadi sebelum pembayaran atas barang tersebut masih di angsur, pihak pembeli masih berstatus sebagai penyewa. Dan selama itu pihak pembeli tidak berhak menjual barang yang disebutkan dalam perjanjian sewa beli tersebut. Selanjutnya hak milik segera jatuh ke tangan pembeli saat pembayaran angsuran/cicilan terakhir dilunasi.

3.      Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian ini merupakan suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa., dimana pihak yang menyewa (pihak 1) berjanji menyerahkan suatu barang (tanah, bangunan, dll) kepada pihak penyewa (pihak II) selama jangka waktu yang di tentukan kedua belah pihak. Sementara itu pihak penyewa di wajibkan membayar sejumlah uang tertentu atas pemakaian barang tersebut.
4.      Perjanjian Borongan
Perjanjian ini dibuat antara pihak pemilik proyek dan pihak pemborong, dimana pihak pemborong setuju untuk melaksanakan pekerjaan borongan sesuai dengan syarat syarat/spesifikasi serta waktu yang di tetapkan/disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk itu pihak pemilik proyek wajib memebayar sejumlah uang tertentu (harga pekerjaan borongan) yang telah di sepakati kedua belah pihak kepada pihak pemborong.

5.      Perjanjian Meminjam Uang
Surat perjanjian ini merupakan persetujuan antara pihak piutang dengan pihak berhutang untuk menyerahkan sejumlah uang. Pihak yang berpiutang meminjamkan sejumlah uang kepada pihak yang meminjam, dan pihak peminjam wajib membayar kembali hutang tersebut ditambah dengan buang yang biasanya dinyatakan dalam persen dari pokok pinjaman, dalam jangka waktu yang telah disepakati.

6.      Perjanjian Kerja
Pada dasarnya surat perjanjian kerja dan perjanjian jual beli adalah sama. Yang membedakan adalah obyek perjanjiannya. Bila dalam surat perjanjian jual beli objeknya adalah barang atau benda, maka objek dalam surta perjanjian kerja adalah jasa kerja dan pelayanan Para pihak dalam surat perjanjian kerja adalah majikan (pemilik usaha) dan pekerja (penyedia jasa).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat surat perjanjian kerja adalah:
(a)   Lama masa kerja;
(b)   Jenis pekerjaan;
(c)    Besarnya upah atau gaji beserta tunjangan. Pihak majikan biasanya telah mempunyai suatu pegangan atau standar gaji untuk menentukan gaji yang layak untuk suatu tingkat keahlian kerja;
(d)   Jam kerja per hari, jaminan sosial, hak cuti, dan kemungkinan untuk memperpanjang perjanjian tersebut.



M.         TAHAPAN PENYUSUNAN SUATU PERJANJIAN

Untuk membuat suatu perjanjian yang baik serta mencegah terjadinya masalah hukum di kemudian hari, maka perjanjian sebaiknya di bauat dengan tahapan tertentu mulai dari persiapan, sampai pada pelaksanaan perjanjian. Adapun tahap – tahap itu sebagai berikut:

1. Negosiasi
Sebuah perjanjian tidak muncul tiba tiba, tetapi terlebih dahulu dulakukan negosiasi. Pada proses ini terjadi tawar menawar untuk kemudian di tuangkan dalam perjanjian.

2. Memorandum Of Understanding (MoU)
Setelah pada tahap negosiasi tercapai kesepakatan, tahap selanjutnya membuat MoU. Isi MoU hanya butir butir kesepakatan negosiasi. MoU bukan sebuah perjanjian tapi merupakan pegangan sementara bagi para pihak sebelum masuk pada tahap penyusunan perjanjian.

3. Penyusunan Perjanjian
Penyusunan perjanjian dimulaid dengan membuat draft perjanjian. Draft perjanjian ini kemudian dikoreksi oleh masing masing pihak untuk kemudian ditandatangani. Yang dibutuhakn dalam proses penulisna naskah perjanjian adalah kejelian dalam menangkap berbagai keinginan para pihak, memahami aspek hukum, dan menguasai bahasa perjanjian denagn rumusan yang tepat, singkat, jelas dan sistematis. Sebuah perjanjian pada umumnya mengikuti kerangka sbb:
a) Judul perjanjian
b) Pembukaan
c) Identifiaksi Para Pihak
d) Latar belakang kesepakatan (recital)
e) Isi
f) Penutup

4. Pelaksanaan Perjanjian
Sebuah perjanjian yang ideal mestinya dapat dilaksanakan oleh para pihak. Artinya, hak dan kewajiban masing masing pihak dijalankan sepenuhnya sesuai dengan isi perjanjian.
Namun dalam pelaksaannya bisa jadi para pihak punya penafisran yang berbeda terhadap pasal pasal tertentu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi persengketaan. Itulah sebabnya dalam perjanjian para pihak juga memasukkan pasal yang mengatur tentang pilihan hukum dan prosedur penyelesaian sengketa.

*Tugas Kolektif Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata-Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Pengajar Dr.Fulgensius Jimmy, S.H.,M.H.,M.M


[1] Lihat ketentuan umum Pasal 1233, 1234 KUHPerdata
[2] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perdata Indonesia, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2010. Hal.229.
[3] Pasal 1313 KUHPerdata
[4] Sistem terbuka, disimpulkan dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya
[5] Lihat Pasal 1320 KUHPerdata
[6] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.233
[7] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.234
[8] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.239
[9] Lihat Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata
[10] Unsur-unsur keadaan memaksa adalah tidak dipenuhinya prestasi (1) karena terjadi peristiwa yang membinasakanatau memusnahkan benda objek perjanjian; atau (2) karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur; dan (3) peristiwa tersebut tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.
[11]  Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.242.
[12] Bila dalam perjanjian ditentukan mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasi, menurut Pasal 1238  KUHPerdata, debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.