I.
KONSEP HUKUM DINAMIS (“NOMODINAMICS”)
Hans Kelsen adalah seorang ahli pemikir besar tentang
negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga negara Amerika
Serikat[1].
Pada hakekatnya ajaran Hans Kelsen melangkah lebih jauh. Menurutnya ilmu negara
itu harus menarik diri atau melepaskan pemikirannya secara prinsip dari
tiap-tiap percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya secara
kausal atau sebab musabab yang bersifat abstrak, dengan kata lain kalau kita
hendak membicarakan negara katakanlah saja negara itu sebagaimana adanya.
Sedangkan disisi lain Hans Kelsen berpendapat bahwa ilmu hukum tidak perlu lagi
mencari dasar negara, kelahiran negara untuknya hanya merupakan suatu kenyataan
belaka, yang tidak dapat diterangkan dan ditangkap dalam sebutan yuridis[2].
Jadi, masih menurut Hans Kelsen negara itu identik
dengan hukum, namun demikian Hans Kelsen juga mengakui bahwa negara itu terikat
oleh hukum karena negara itu adalah suatu tertib hukum, atau suatu tertib
masyarakat yang bersifat memaksa, dan karena suatu sifat memaksa itulah maka di
dalam negara ada hak memerintah dan kewajiban tunduk, maka kesimpulannya adalah
bahwa negara itu identik dengan hukum[3].
A. Tata Hukum
1.
Kesatuan Tata Normatif
a. Norma
Dasar Sebagai Landasan Validitas[4]
Suatu norma adalah
bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau
salah dengan ukuran realitas. Kita menyatakan suatu norma bahwa “Kamu dilarang membunuh karena Tuhan
melarangnya” atau “Kamu harus pergi
ke sekolah, karena ayahmu memerintahkannya.”
Alasan validitas
norma kamu dilarang membunuh adalah
norma umum yaitu kamu harus mematuhi
perintah Tuhan. Jadi alasan validitas norma adalah selalu suatu norma, bukan
fakta. Kita menerima pernyataan bahwa kamu
harus membantu pengikutmu yang membutuhkan sebagai norma yang valid karena norma
ini berasal dari pernyataan kamu harus
mencintai tetanggamu. Norma ini kita terima sebagai norma yang valid karena
merupakan norma akhir yang validitasnya ada pada norma itu. Suatu norma yang
validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut
norma dasar[5].
Dalam teori statis,
suatu norma adalah valid dan hal ini berarti kita mengasumsikan bahwa individu
yang perbuatannya diatur oleh norma harus berbuat sesuai dengan yang ditentukan
norma, yang berdasarkan nilai isinya merupakan suatu bukti yang menjamin
validitasnya. Norma-norma demikian seperti “Kamu
tidak boleh berbohong”, “Kamu tidak
boleh menipu”, “Kamu harus menepati
janjimu”, mengikuti dari norma umum yang menerapkan kebenaran. Sedangkan Teori
dinamis obyeknya adalah aktivitas proses pembuatan dan pelaksanaan hukum,
sistem norma yang disebut tata hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Karakter dinamis ini
menjadi karakter dari norma hukum di mana norma dasar dari suatu sistem hukum
adalah aturan dasar yang mengatur pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut,
dimana Norma dengan sistem dinamis harus dibuat melalui tindakan individual
yang telah diotorisasikan (delegasi) untuk membuat norma oleh norma yang lebih
tinggi.
2.
Hukum Sebagai Sistem Dinamis
a. Positivisasi
Hukum
Sistem norma yang
disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem dinamis. Hukum adalah selalu hukum
positif, dan positivisasi tersebut berdasarkan pada fakta bahwa hukum tersebut dibuat
dan dibatalkan dengan tindakan manusia yang bebas dari sistem moralitas dan
norma sejenis lainnya. Hukum adalah suatu hierarkhi mengenai hubungan normatif,
bukan suatu hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam.
Dasar yang terpenting
dari Kelsen ini adalah, manusia sebagai bagian dari alam tunduk sebagai hukum
sebab-akibat dan mengatur perilakunya dengan perintah-perintah[8].
Hal inilah yang membedakan antara hukum positif dengan hukum alam yang
dideduksikan dari norma dasar tidak nyata yang dianggap sebagai ekspresi dari
kehendak alam atau rasio alam. Hukum positif atau “hukum yang disebut
sebenarnya” yang masih ada memiliki empat ciri unsur, yaitu perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan[9].
b. Hukum
Kebiasaan dan Undang-Undang
Kebiasaan adalah tindakan
umum yang dilakukan secara sadar dan diakui sebagai norma mengikat dan bukan
merupakan pilihan bebas, sedangkan hukum (Undang-undang) Hukum selalu dibuat
dengan suatu tindakan secara sengaja sebagai pembuatan hukum (melalui
legislasi), kecuali dalam hal ketika hukum tertentu berasal dari kebiasaan.
Dalam hal suatu
negara, haruslah dipandang negara tersebut sebagai suatu kesatuan tata tertib,
atau suatu kesatuan peraturan, dengan demikian maka tidak mungkin negara dapat
diperhadapkan dengan hukum[10].
Jika dilihat secara fundamental, dari segi pembentukannya maka tentu saja hukum
kebiasaan dan Undang-undang adalah berbeda karena Hukum undang-undang harus
dipahami sebagai hukum yang dibuat dengan cara selain kebiasaan, yaitu oleh
legislatif, yudisial, atau tindakan administratif, atau oleh tindakan hukum
lainnya.
3.
Norma Dasar Suatu Tata Hukum
Semua norma hukum
adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak
kembali secara langsung atau tidak, kepada konstitusi awal. Namun jika tata
aturan yang awal/terdahulu terhenti, dan tata aturan baru mulai berlaku, karena
perbuatan individu diatur menurut tata aturan baru, maka tata aturan ini menjadi
tata aturan yang valid dan mulai saat itu perbuatan individu dinilai sebagai
legal atau ilegal menurut tata aturan baru ini.
Setiap satu norma
kehilangan validitasnya ketika keseluruhan tata hukum norma tersebut kehilangan
keberlakuannya Norma-norma ini valid bukan karena tata hukum secara keseluruhan
berlaku, tetapi karena dibuat dengan cara konstitusional.
Di sisi lain norma
dasar suatu tata hukum nasional bukan merupakan imajinasi hukum. Fungsi norma dasar
adalah membuat penafsiran normatif terhadap fakta tertentu mungkin dilakukan,
dan hal ini berarti bahwa penafsiran fakta merupakan pembuatan dan pelaksanaan
norma yang valid, Norma hukum, dinyatakan valid hanya jika dimiliki oleh suatu
tata aturan yang berlaku.
Maka isi dari norma
dasar ditentukan oleh fakta melalui mana suatu aturan dibuat dan dilaksanakan.
Dalam negara sebagai sistem peraturan hukum yang valid memiliki bentuk
kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah bentuknya yang mengikuti perubahan
kekuatannya yang menentukan kedudukan sementara dari negara tersebut[11].
Dan konsep validitas hukum yang berubah-ubah tersebut validitasnya dapat
dipahami dengan mempelajari empat arti yang diberikan oleh Kelsen,yaitu :
a.
Suatu norma eksis dengan kekuatan mengikat;
b.
Norma partikuler tersebut dapat diidentifikasi sebagai bagian
dari suatu tata hukum yang berlaku;
c. Suatu
norma dikondisikan oleh norma lain yang lebih tinggi dalam hirarki norma;
d. Suatu norma yang
dijustifikasi kesesuaiannya dengan norma dasar.,
Sedangkan jika
kembali lagi kepada keadaan suatu negara pemikiran hukum memiliki lima aspek
indikasi hidupnya fungsi hukum dalam suatu negara yaitu [12];
a. Semua
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum;
b. Pemerintah
harus berperilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuatan diskresi;
c. Sengketa
mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang
murni independen dari eksekutif.
4.
Konsep Hukum Statis dan Dinamis
Sebuah tatanan hukum
yang dinamis dapat saja menerapkan konsep hukum yang berbeda dimana mungkin saja untuk mengabaikan unsur
paksaan dalam mengartikan konsep hukum. Pembuat undang-undang dimungkinkan
membuat rumusan hukuman baik pidana maupun perdata bagi setiap pelanggar hukum,
dan aturan seperti ini tetap valid dianggap sebagai hukum pada akhirnya karena
dibuat oleh lembaga yang ditunjuk dan mempunyai kewenangan untuk itu.
Akan tetapi bagaimanapun
juga harus tetap diperhatikan bagaimana selain suatu aturan dapat dibuat
menurut tata aturan dalam konstitusi tetapi juga harus diperhatikan bagaimana
cara para pembuat undang-undang membuat suatu undang-undang atau hukum yang
ternyata tidak hanya selalu menyangkut masalah legislasi/pembuatan
undang-undang tetapi juga masalah pengaturan kewenangan dan administrasi.
B.
TINGKATAN NORA HUKUM[13]
1.
Norma Superior dan Inferior
Adalah pembagian norma
yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dimana pada prinsipnya norma yang
lebih tinggi memiliki cakupan yang lebih luas namun berperan sebagai dasar bagi
norma yang lebih rendah, dan sebaliknya norma yang lebih rendah umumnya
mengatur atau memiliki ruang lingkup yang cenderung lebih sempit, memiliki
substansi yang relatif lebih rinci, akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan
norma yang lebih tinggi karena justru norma yang lebih rendah harus dapat
mengacu pada norma yang lebih tinggi.
2.
Tingkatan dalam Tata Hukum
a.
Konstitusi;
1).
Dalam arti Materiil, yang terdiri dari substansi aturan
yang mengatur pembuatan norma-norma hukum umum yang lain.
2).
Dalam arti Formiil, artinya adalah suatu dokumen nyata
sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut ketentuan
khusus dengan tujuan agar perubahan norma ini sulit dilakukan.
b.
Undang-undang dan Kebiasaan
Yaitu norma yang
ditetapkan oleh para pembuat undang-undang/legislator, yang posisi aturan tersebut
berada dibawah konstitusi, digunakan oleh badan/lembaga yang ditunjuk oleh
undang-undang itu yang pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan. Dan
secara umum undang-undang dan kebiasaan memiliki dua fungsi yaitu (1) menentukan
organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti; dan (2) menentukan tindakan
yudisial dan administratif badan/lembaga tersebut.
c.
Hukum Substantif dan Ajektif
Adalah hukum materiil
dan formiil dimana hukum materiil merupakan aturan, larangan atau perintah,
sedangkan hukum formiil adalah seperangkat tata cara hukum untuk mempertahankan
hukum materiil.
d.
Penentuan Organ Pelaksana Hukum oleh Norma Umum
Sesuai dengan prosedur
dan isi dari fungsi yang dijalankan. Proporsi penentuan pelaksanaan atau
pembuatan hukum, baik secara formal maupun material, ditentukan berbeda-beda. Materi
konstitusi utamanya menentukan oleh organ mana dan melalui prosedur apa norma
umum dibuat.
e. Peraturan
Beberapa konstitusi
juga memberikan kekuasaan pada organ administratif, khususnya kepala negara atau
pelaksana eksekutif, pada kondisi yang tidak biasa menetapkan norma umum untuk
mengatur masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui
undang-undang.
f. Sumber
Hukum
Dalam konteks ini,
hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang
bagaimanapun merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.
g. Pembuatan
dan Pelaksanaan Hukum
Pembuatan norma hukum
adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma
hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma lebih rendah. Pembuatan
hukum menurut konstitusi disebut juga Legislasi.
h. Norma
Individu Yang Dibuat Berdasarkan Norma Umum
Dari sudut pandang
dinamis, norma individual yang dibuat oleh keputusan yudisial adalah suatu
tahapan dalam suatu proses yang dimulai dengan penetapan konstitusi pertama, dilanjutkan
dengan legislasi dan kebiasaan, dan menuju pada proses yudisial. Proses ini
menjadi lengkap dengan eksekusi sanksi individual. Hukum undang-undang dan
kebiasaan adalah produk setengah jadi yang diselesaikan hanya melalui keputusan
pengadilan dan eksekusinya.
C. Kedaulatan
Hukum
Suatu teori tentang
kedaulatan hukum memiliki atau merupakan kekuasaan yang tertinggi di dalam
suatu negara. Baik penguasa maupun rakyat, dan bahkan negara itu sendiri
semuanya patuh kepada hukum[14],
baik hukum dalam tingkatan konstitusi (undang undang dasar) maupun hingga
kepada tingkatan undang-undang yang lebih rendah bahkan kebiasaan-kebiasaan
tertentu. Semua sikap tindak, dan tingkah laku harus sesuai dengan hukum, sehingga
pada akhirnya hukum lah yang berdaulat.
Hukum pada dasarnya
bukanlah selalu harus diterjemahkan atau diartikan hanya sebagai undang-undang
saja, karena hukum tidak timbul dari kehendak negara, hukum memiliki
karakter/kepribadian tersendiri, mandiri dan terlepas dari kehendak negara. Lalu
bagaimanakah sebenarnya hukum itu dapat diberlakukan terhadap negara, sedangkan
hukum itu sendiri terlepas dari negara? Dalam hal ini tiap-tiap individu
mempunyai rasa hukum dan rasa hukum itu dapat berkembang menjadi kesadaran
hukum.
Rasa hukum yang
terdapat pada tiap-tiap individu di samping rasa-rasa lainnya, misalnya rasa
kesusilaan, rasa keindahan dan sebagainya. Jadi kesadaran hukum itu adalah
salah satu fungsi dari jiwa manusia, bahkan hukum itu adalah salah satu bagian
dari perasaan manusia.
D. Konsep
Negara Hukum
Secara garis besar
ada dua konsep mengenai negara hukum. Konsep yang pertama adalah konsep negara
hukum formal yang muncul bersamaan dengan negara “modern” yang dengan kekuasaan
yang dimilikinya membuat peraturan untuk melindungi hak-hak warganya[15].
Tetapi dalam prakteknya kemudian, negara hukum seperti itu kurang terasa
manfaatnya sehingga munculah konsep negara hukum kedua yaitu konsep negara
hukum substansial yang pada dasarnya merupakan konsep negara hukum yang
mencerminkan keadilan dan kebenaran objektif. Negara modern bertujuan, tidak
saja melingsungi masyarakat terhadap kekuasaan negara, tetapi aktif
meningkatkan martabat warga dalam bidang-bidang seperti ekonomi, sosial,
budaya, dan politik. Jika dibandingkan kedua konsep tersebut, maka negara hukum
substansial lebih mengedepankan hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan konsep
negara hukum formal hanya mementingkan perlindungan individu dan dituangkan
dalam bentuk peraturan, prosedur, doktrin, dan sebagainya. Tentunya negara
hukum formal tidak mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Konsep negara hukum
formal lebih menonjolkan pembedaan status kewarganegaraan, sehingga tidak
seluruh masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Konsep
negara hukum selalu dikaitkan dengan pengertian “demokratis” sehingga kedua
istilah tersebut kemudian digabungkan menjadi negara hukum yang demokratis.
Oleh karena itu sebenarnya hukum harus digunakan sebagai instrumen pengaturan
mengenai kewenangan lembaga-lembaga negara, perwujudan HAM dan keadilan. Tidak
semua negara hukum adalah negara demokratis. Karena pemerintahan monarkis pun
taat kepada hukum. Tetapi demokrasi yang bukan negara hukum, bukan demokrasi
dalam arti yang sesungguhnya, selain itu juga demokrasi merupakan cara paling
aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
Sebenarnya konsep
negara hukum harus lebih dipahami sebagai suatu kondisi di dalam masyarakat
yang mampu mengembangkan hukum dalam negara demokratis yang ditentukan oleh
rakyat bagi pengaturan hubungan di antara sesama rakyat. Itu sebabnya ada salah
satu perspektif penting di dalam sosiologi hukum yang harus dipahami dan
diimplementasikan secara baik yaitu, bahwa undang-undang maupun konstitusi
meruapakan konsensus dari beragam aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka norma-norma hukum yang harus diciptakan oleh para pembuat
hukum atau pembentuk konstitusi, terutama yang mengatur pembatasan kekuasaan
lembaga-lembaga negara khususnya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif,
adalah norma-norma hukum yang memiliki landasan sosiologis yang kuat. Intinya
adalah, bahwa norma-norma hukum tersebut harus dibuat dengan terlebih dahulu
mendapat tanggapan dan masukan yang relevan dari berbagai lapisan masyarakat[16].
Pada negara hukum
modern yang berkembang, umumnya telah memasukkan prinsip-prinsip demokrasi di
dalam konstitusi dan peraturan hukumnya dengan mengacu pada unsur-unsur negara
demokratis yaitu:
1.
ada
pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang dan
peradilan;
2.
penyusunan pembentukan undang-undang secara demokratis;
3.
asas legalitas;
4.
pengakuan atas hak asasi manusia.
Secara lebih jauh asa
legalitas adalah asa yang dipakai untuk menjami asas-asas lainnya, antara lain
asas pembatasan kekuasaan pemerintahan dan hak-hak asasi. Dan juga adanya
pengawasan pengadilan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh
pelaksanan undang-undang (pemerintah), pemberian wewenang kepada pemerintah,
dan perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Efendy,
Marwan. “Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya
dari Perspektif Hukum“. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2005
Fredmaan, W. “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan
I“. Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990
Kelsen, Hans. “General
Theory Of Law And State” New York
: Russel, 1961 dalam “Politik Hukum II”,
dikumpulkan oleh Arinanto, Satya. Jakarta:
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Pieris, John (dkk), “Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen“, Jakarta: Penerbit Pelangi Cendekia, 2007
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Penerbit
Liberty Yogyakarta, 2004)
*Tugas Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.
[1] Soehino, Ilmu
Negara (Yogyakarta : Penerbit Liberty
Yogyakarta, 2004), hal.139
[2] Loc. cit.
[3] Loc. cit., hal 141
[4] Hans
Kelsen, General Theory Of Law And State, (New
York : Russel, 1961) dalam “Politik Hukum II”, dikumpulkan oleh Satya Arinanto
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004) hal.2
[5] Ibid, hal 3
[6] Ibid., hal 4
[7] Ibid., hal 5
[8] W.
Fredmaan, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan
I, (Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990) hal.170.
[9] Ibid, hal 150
[10] Soehino,Op. cit.., hal 141
[11] Soehino,Op. cit.. hal 141
[12] Marwan
Efendy, Kejaksaan RI, Posisi
dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama,2005),
hal.19
[13] Hans Kelsen, Op.cit. hal.15
[14] Soehino,Op. cit.. hal 156
[15] John
Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara
Hukum dan Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Penerbit Pelangi Cendekia, 2007), hal 23
[16] Ibid. hal. 26