I.
SEJARAH OJK[1]
Ketika berbicara mengenai OJK (Otoritas Jasa Keuangan),
ingatan kita tak bisa dilepaskan dari pengalaman negara Inggris dengan FSA (Financial Services Authority)-nya.
Seiring di Indonesia sedang berlangsung
proses seleksi calon Anggota Dewan Komisioner OJK, ada baiknya melihat sejenak
catatan sejarah berdirinya OJK di Inggris, agar menjadi pelajaran membangun OJK
di Indonesia.
Pada 20 Mei 1997, the Chancellor
of the Exchequer alias Menteri Keuangan Inggris yang baru diangkat, Gordon
Brown, mengumumkan perlunya program reformasi total dalam pengaturan sektor
jasa keuangan di Inggris. Ia menghendaki hanya satu otoritas bertanggungjawab
atas seluruh peraturan terkait pedoman bisnis dan kehati-hatian dalam berusaha
bagi seluruh sektor jasa keuangan di Inggris.
Ia lalu meminta Sir Andrew McLeod Brooks Large, Kepala
Badan Investasi dan Surat-surat Berharga (the
Securities and Investments Board), untuk menyiapkan sebuah proposal
mewujudkan rencana pembentukan lembaga super power yang ia maksudkan. Pada Juli
1997, Sir Andrew McLeod Brooks Large bekerjasama dengan Deputi Gubernur Bidang
Pengawasan Perbankan Bank of England, Sir Howard Davies, serta dibantu sejumlah
pejabat dan pegawai dari berbagai regulator terkait, berhasil menyelesaikan
proposal tersebut.
Tiga bulan kemudian, pada Oktober 1997, secara resmi OJK
Inggris berdiri, namanya Financial Services Authority (FSA). Ia menggantikan
fungsi dari Badan Investasi dan Surat-Surat Berharga Inggris. Pada 1
Juni 1998, FSA secara resmi mengambilalih tanggungjawab Bank Sentral mengawasi
perbankan Britania Raya.
Adapun hal menarik dari pengalaman Inggris, proses
transisi pengalihan fungsi pengawasan perbankan, pasar modal, dan lembaga
keuangan non-bank berlangsung mulus karena kerjasama baik antara Bank Sentral
Inggris dan badan semacam Bapepam-LK, serta Kementrian Keuangan.
Belajar dari pengalaman itu maka setidaknya ada tiga
hal perlu diperhatikan oleh Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Komisioner
(Dekom) OJK, yang diketuai Menteri Keuangan, Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertama, komposisi Dekom OJK harus mewakili
keberagaman. OJK adalah lembaga bersama karenannya rumah baru pengawasan sektor
jasa keuangan itu tak bisa hanya dibangun oleh satu institusi saja, karena bentuk
bangunannya bisa jadi tak sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, rancang bangun bentuk OJK harus dilakukan
melalui musyawarah melibatkan seluruh institusi terkait. Dekom-OJK terpilih
harus mau dan harus mampu melibatkan seluruh institusi terkait seperti Bank
Indonesia, Kemenkeu, LPS,
Asosiasi-asosiasi Keuangan melalui berbagai forum diskusi dan urun
rembuk.
Dialog itu haruslah dilandasi kesungguhan, dan niat
menjaga stabilitas sistem keuangan bersama. Tak boleh membuat rancang bangun
rumah OJK itu, misalnya jika hanya ada satu institusi berjalan sendiri, dan
mengabaikan lembaga lainnya. Risikonya besar: instabilitas sistem keuangan
negeri ini yang akan menjadi taruhan kelak.
Ketiga, berhati-hati menetapkan Pemimpin OJK. Pengalaman
OJK Inggris ketika masa-masa kritis berdirinya FSA perlu dilirik sebagai
masukan. Kegagalan FSA di Inggris dalam menjaga stabilitas sistem keuangannya
pada 2008 sampai 2011 boleh jadi dikarenakan salah memilih pemimpin FSA.
Selepas Sir
Howard Davies meletakkan jabatannya sebagai Kepala FSA pada 2003, OJK Inggris
ini tidak lagi dipimpin oleh mereka yang memiliki latar belakang pengetahuan,
dan pengalaman di bidang pengawasan sektor keuangan.
Misalnya,
penerus Davies adalah Sir Callum McCarthy,
yang menjadi Kepala FSA pada 2003-2008. McCarthy sebelumnya adalah
Dirjen Pengaturan Gas (Director-General
of the gas regulator Ofgas) dan Kepala Eksekutif Regulator Energi Baru (Chief Executive of new energy
super-regulator Ofgem).
Pengganti
McCarthy juga sama. Ketika krisis sub-prime
mortgage menghantam Amerika Serikat, dan berimbas ke Eropa, OJK Inggris
malah dipimpin Adair Turner. Dia memimpin lembaga itu sampai saat ini. Sebelum di FSA, Turner adalah ketua Komite
Perubahan Iklim (Chair of the Climate
Change Committee) Inggris, lembaga yang kurang atau mungkin tak terkait
tugas mengawasi sektor jasa keuangan.
II.
PENGERTIAN DAN SUMBER HUKUM FORMAL
Otorita Jasa Keuangan Indonesia lahir berdasarkan
Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang Otorita Jasa Keuangan (UU OJK) yang
disahkan pada tanggal 22 Nopember 2011, sehingga jelas sekarang landasan kerja,
tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan hal-hal lain tentang lembaga baru
ini diatur oleh undang –undang tersebut diatas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, pengertian
OJK sendiri adalah:
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.“
Sejauh
ini pemerintah belum menerbitkan adanya suatu peraturan pemerintah dari UU UU
OJK.
III.
TUJUAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG
Berdasarkan UU OJK tujuan[2] dibentuknya OJK adalah agar
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara
teratur, adil, transparan, dan akuntabel mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan
Konsumen dan masyarakat.
Sedangkan fungsi[3] OJK adalah menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Selain itu, adapun wewenang[4] OJK yaitu melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya.
Dalam melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai wewenang[5] :
a.
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi :
1.
perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,
anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha
bank; dan
2.
kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan
dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.
pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang
meliputi :
1.
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset,
rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.
laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja
bank;
3.
sistem informasi debitur;
4.
pengujian
kredit (credit testing); dan
5.
standar
akuntansi bank;
c.
pengaturan
dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1.
manajemen risiko;
2.
tata kelola bank;
3.
prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.
pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;
dan
d. pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang[6]:
a. menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. menetapkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.
menetapkan
peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan
peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan
kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan;
h. menetapkan
struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan
tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang[7]:
a. menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. mengawasi
pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c. melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain
terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d. memberikan
perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. melakukan
penunjukan pengelola statuter;
f.
menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan
dan/atau mencabut:
1.
izin usaha;
2.
izin orang
perseorangan;
3.
efektifnya
pernyataan pendaftaran;
4.
surat tanda terdaftar;
5.
persetujuan
melakukan kegiatan usaha;
6.
pengesahan;
7.
persetujuan atau penetapan
pembubaran; dan
8.
penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
IV.
STRUKTUR DEWAN KOMISIONER
Ketentuan Pasal 10 UU OJK mengatur bahwa OJK dipimpin
oleh Dewan Komisioner[8] yang sifatnya kolektif[9] kolegial serta mempunyai
hak suara yang sama. Dewan Komisioner OJK (Dekom OJK) beranggotakan 9
(sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Adapun Susunan
Dewan Komisioner[10]
terdiri atas :
a. seorang Ketua
merangkap anggota;
b. seorang Wakil
Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala
Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala
Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f.
seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota
yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h. seorang anggota
Ex-officio dari Bank Indonesia yang
merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i.
seorang anggota Ex-officio
dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian
Keuangan.
V.
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN MASYARAKAT[11]
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang
melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi :
- memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
- meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
- tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
OJK berwenang melakukan pembelaan hukum[12] untuk perlindungan
Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
- memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
- mengajukan gugatan:
1.
untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang
dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah
penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan
pihak lain dengan itikad tidak baik[13]; dan/atau
2.
untuk memperoleh ganti kerugian[14] dari pihak yang
menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
VI.
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi[15] dengan Bank Indonesia
dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan. Adapun Bank Indonesia dalam
hal melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus
terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung
terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
terlebih dahulu kepada OJK namun dalam melakukan pemeriksaannya Bank Indonesia
tidak dapat[16]
memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank[17].
Dalam koordinasi dan kerjasama OJK dengan Lembaga
Penjamin Simpanan[18] OJK menginformasikan
kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam
upaya penyehatan oleh OJK, dan dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu
mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK
segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah
sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Selain itu Lembaga Penjamin Simpanan
dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan
wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK.
Bank Indonesia, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan
ketentuan Pasal 43 UU OJK wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran
informasi secara terintegrasi[19].
VII.
[1] Pendapat
pribadi Muslimin Anwar, Dosen Fakultas Ekonomi UI dalam http://analisis.vivanews.com/news/read/292622-menggagas-ojk--pelajaran-dari-inggris
[2] Pasal 4 UU OJK
[3] Pasal 5 UU OJK
[4] Pasal 6 UU OJK
[5] Pasal 7 UU OJK
[6] Pasal 8 UU OJK
[7] Pasal 9 UU OJK
[8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1); Dewan
Komisioner merupakan pimpinan tertinggi OJK. Dalam rangka
pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas lembaga jasa keuangan
di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya
di sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat
yang mewakili negara,.
[9] Penjelasan
Pasal 10 ayat (2); Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif” adalah bahwa
setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner diputuskan secara bersama-sama
oleh anggota Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “bersifat
kolegial” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner
berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan
kekeluargaan di antara anggota Dewan Komisioner.
[10] Pasal 10 ayat
(4) UU OJK
[11] Pasal 28 UU OJK
[12] Pasal 30 ayat (1) UU OJK
[13] Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b angka
1; Yang dimaksud dengan “itikad tidak baik” adalah itikad
tidak baik berdasarkan penilaian OJK
[14] Pasal 30 ayat (2); Ganti kerugian hanya digunakan
untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
[15] Penjelasan Pasal 39 UU OJK Tata cara
koordinasi OJK dengan Bank Indonesia
diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia.
[16] Pasal 40 ayat (2) UU OJK
[17] Penjelasan Pasal 40 ayat (2); Penilaian
terhadap tingkat kesehatan bank merupakan kewenangan OJK.
[18] Pasal 41 UU OJK
[19] Penjelasan Pasal 43Yang dimaksud dengan “terintegrasi”
adalah bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin
Simpanan saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat
saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan
setiap saat (timely basis). Informasi
tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan
bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap
menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
No comments:
Post a Comment
No SARA please..