Friday, May 25, 2012

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)



I.                SEJARAH OJK[1]
Ketika berbicara mengenai OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ingatan kita tak bisa dilepaskan dari pengalaman negara Inggris dengan FSA (Financial Services Authority)-nya. Seiring  di Indonesia sedang berlangsung proses seleksi calon Anggota Dewan Komisioner OJK, ada baiknya melihat sejenak catatan sejarah berdirinya OJK di Inggris, agar menjadi pelajaran membangun OJK di Indonesia.
Pada 20 Mei 1997, the Chancellor of the Exchequer alias Menteri Keuangan Inggris yang baru diangkat, Gordon Brown, mengumumkan perlunya program reformasi total dalam pengaturan sektor jasa keuangan di Inggris. Ia menghendaki hanya satu otoritas bertanggungjawab atas seluruh peraturan terkait pedoman bisnis dan kehati-hatian dalam berusaha bagi seluruh sektor jasa keuangan di Inggris.
Ia lalu meminta Sir Andrew McLeod Brooks Large, Kepala Badan Investasi dan Surat-surat Berharga (the Securities and Investments Board), untuk menyiapkan sebuah proposal mewujudkan rencana pembentukan lembaga super power yang ia maksudkan. Pada Juli 1997, Sir Andrew McLeod Brooks Large bekerjasama dengan Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Perbankan Bank of England, Sir Howard Davies, serta dibantu sejumlah pejabat dan pegawai dari berbagai regulator terkait, berhasil menyelesaikan proposal tersebut.
Tiga bulan kemudian, pada Oktober 1997, secara resmi OJK Inggris berdiri, namanya Financial Services Authority (FSA). Ia menggantikan fungsi dari Badan Investasi dan Surat-Surat Berharga Inggris. Pada 1 Juni 1998, FSA secara resmi mengambilalih tanggungjawab Bank Sentral mengawasi perbankan Britania Raya.
Adapun hal menarik dari pengalaman Inggris, proses transisi pengalihan fungsi pengawasan perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank berlangsung mulus karena kerjasama baik antara Bank Sentral Inggris dan badan semacam Bapepam-LK, serta Kementrian Keuangan.
Belajar dari pengalaman itu maka setidaknya ada tiga hal perlu diperhatikan oleh Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Komisioner (Dekom) OJK, yang diketuai Menteri Keuangan, Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertama, komposisi Dekom OJK harus mewakili keberagaman. OJK adalah lembaga bersama karenannya rumah baru pengawasan sektor jasa keuangan itu tak bisa hanya dibangun oleh satu institusi saja, karena bentuk bangunannya bisa jadi tak sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, rancang bangun bentuk OJK harus dilakukan melalui musyawarah melibatkan seluruh institusi terkait. Dekom-OJK terpilih harus mau dan harus mampu melibatkan seluruh institusi terkait seperti Bank Indonesia, Kemenkeu, LPS,  Asosiasi-asosiasi Keuangan melalui berbagai forum diskusi dan urun rembuk.
Dialog itu haruslah dilandasi kesungguhan, dan niat menjaga stabilitas sistem keuangan bersama. Tak boleh membuat rancang bangun rumah OJK itu, misalnya jika hanya ada satu institusi berjalan sendiri, dan mengabaikan lembaga lainnya. Risikonya besar: instabilitas sistem keuangan negeri ini yang akan menjadi taruhan kelak.
Ketiga, berhati-hati menetapkan Pemimpin OJK. Pengalaman OJK Inggris ketika masa-masa kritis berdirinya FSA perlu dilirik sebagai masukan. Kegagalan FSA di Inggris dalam menjaga stabilitas sistem keuangannya pada 2008 sampai 2011 boleh jadi dikarenakan salah memilih pemimpin FSA.
Selepas Sir Howard Davies meletakkan jabatannya sebagai Kepala FSA pada 2003, OJK Inggris ini tidak lagi dipimpin oleh mereka yang memiliki latar belakang pengetahuan, dan pengalaman di bidang pengawasan sektor keuangan.
Misalnya, penerus Davies adalah Sir Callum McCarthy,  yang menjadi Kepala FSA pada 2003-2008. McCarthy sebelumnya adalah Dirjen Pengaturan Gas (Director-General of the gas regulator Ofgas) dan Kepala Eksekutif Regulator Energi Baru (Chief Executive of new energy super-regulator Ofgem).
Pengganti McCarthy juga sama. Ketika krisis sub-prime mortgage menghantam Amerika Serikat, dan berimbas ke Eropa, OJK Inggris malah dipimpin Adair Turner. Dia memimpin lembaga itu sampai saat ini.  Sebelum di FSA, Turner adalah ketua Komite Perubahan Iklim (Chair of the Climate Change Committee) Inggris, lembaga yang kurang atau mungkin tak terkait tugas mengawasi sektor jasa keuangan.

II.             PENGERTIAN DAN SUMBER HUKUM FORMAL
Otorita Jasa Keuangan Indonesia lahir berdasarkan Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang Otorita Jasa Keuangan (UU OJK) yang disahkan pada tanggal 22 Nopember 2011, sehingga jelas sekarang landasan kerja, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan hal-hal lain tentang lembaga baru ini diatur oleh undang –undang tersebut diatas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, pengertian OJK sendiri adalah:
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.“
Sejauh ini pemerintah belum menerbitkan adanya suatu peraturan pemerintah dari UU UU OJK.

III.           TUJUAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG
Berdasarkan UU OJK tujuan[2] dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Sedangkan fungsi[3] OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Selain itu, adapun wewenang[4] OJK yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai wewenang[5] :
a.      Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :
1.          perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2.          kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.      pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
1.          likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.          laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3.          sistem informasi debitur;
4.          pengujian kredit (credit testing); dan
5.          standar akuntansi bank;
c.       pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1.          manajemen risiko;
2.          tata kelola bank;
3.          prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.          pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d.     pemeriksaan bank.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang[6]:
a.      menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.      menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.       menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.     menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.      menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.        menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.      menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.      menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.        menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang[7]:
a.      menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.      mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.       melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.     memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.      melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.        menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.      menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.      memberikan dan/atau mencabut:
1.          izin usaha;
2.          izin orang perseorangan;
3.          efektifnya pernyataan pendaftaran;
4.          surat tanda terdaftar;
5.          persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6.          pengesahan;
7.          persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8.          penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan

IV.          STRUKTUR DEWAN KOMISIONER
Ketentuan Pasal 10 UU OJK mengatur bahwa OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner[8] yang sifatnya kolektif[9] kolegial serta mempunyai hak suara yang sama. Dewan Komisioner OJK (Dekom OJK) beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Adapun Susunan Dewan Komisioner[10] terdiri atas :
a.      seorang Ketua merangkap anggota;
b.      seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c.       seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d.     seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e.      seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f.        seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g.      seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h.      seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i.        seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

V.            PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN MASYARAKAT[11]
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi :
  1. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
  2. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
  3. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK berwenang melakukan pembelaan hukum[12] untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
  1. memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
  2. mengajukan gugatan:
1.              untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik[13]; dan/atau
2.              untuk memperoleh ganti kerugian[14] dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

VI.          HUBUNGAN KELEMBAGAAN
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi[15] dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan. Adapun Bank Indonesia dalam hal melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK namun dalam melakukan pemeriksaannya Bank Indonesia tidak dapat[16] memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank[17].
Dalam koordinasi dan kerjasama OJK dengan Lembaga Penjamin Simpanan[18] OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK, dan dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Selain itu Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK.
Bank Indonesia, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU OJK wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi[19].
VII.        


[1] Pendapat pribadi Muslimin Anwar, Dosen Fakultas Ekonomi UI dalam http://analisis.vivanews.com/news/read/292622-menggagas-ojk--pelajaran-dari-inggris
[2] Pasal 4 UU OJK
[3] Pasal 5 UU OJK
[4] Pasal 6 UU OJK
[5] Pasal 7 UU OJK
[6] Pasal 8 UU OJK
[7] Pasal 9 UU OJK
[8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1); Dewan Komisioner merupakan pimpinan tertinggi OJK. Dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas lembaga jasa keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara,.
[9] Penjelasan Pasal 10 ayat (2); Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner diputuskan secara bersama-sama oleh anggota Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “bersifat kolegial” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota Dewan Komisioner.
[10] Pasal 10 ayat (4) UU OJK
[11] Pasal 28 UU OJK
[12] Pasal 30 ayat (1) UU OJK
[13] Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b angka 1; Yang dimaksud dengan “itikad tidak baik” adalah itikad tidak baik berdasarkan penilaian OJK
[14] Pasal 30 ayat (2); Ganti kerugian hanya digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
[15] Penjelasan Pasal 39 UU OJK Tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia.
[16] Pasal 40 ayat (2) UU OJK
[17] Penjelasan Pasal 40 ayat (2); Penilaian terhadap tingkat kesehatan bank merupakan kewenangan OJK.
[18] Pasal 41 UU OJK
[19] Penjelasan Pasal 43Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

No comments:

Post a Comment

No SARA please..