A.
PENDAHULUAN
Pada
hakekatnya sebuah perjanjian adalah sebuah tulisan atau dokumentasi yang berisi
dan mengakomodir para pihak yang untuk mencapai tujuan atau prestasi tertentu. Semakin
berkembangnya jaman dan kebutuhan tiap-tiap subjek hukum dan berimplikasi terhadap
perjanjian-perjanjian dan bentuk-bentuknya yang semakin dinamis yang mengiringi
kemajuan jaman yang pesat.
Perjanjian pada umumnya cenderung diartikan sama dengan
perikatan. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan konsep dan batasan definisi
pada kata perikatan dan perjanjian.
Perjanjian pada dasarnya adalah peristiwa dimana seseorang
mengucapkan janji kepada pihak lain atau adanya dua pihak atau lebih yang
saling berjanji satu sama lain untuk adanya sebuah tujuan. Perjanjian adalah
tindakan yang mengikat dua belah pihak yang berjanji untuk menjamin adanya
kepastian. Perjanjian tersebut bisa dibuat melalui lisan maupun tulisan.
Kekuatan perjanjian lisan sangatlah lemah, sehingga bila terjadi sengketa
diantara pihak-pihak yang berjanji, maka akan lebih sulit dibuktikan
kebenarannya. Untuk hal-hal yang sangat penting, orang lebih suka menggunakan surat
perjanjian sebagai bukti hitam diatas putih demi keamanan. Sedangkan, perikatan
adalah dua pihak yang melakukan suatu hubungan hukum, hubungan yang memberikan
hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak
untuk memberikan atau memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan hal
tersebut dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sebuah perjanjian akan
menimbulkan perikatan.
Artinya tidak ada kesepakatan yang mengikat seseorang
jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati (perjanjian menerbitkan
perikatan, perjanjian juga merupakan sumber perikatan). Namun dilain pihak
sebuah perikatan tidak hanya dapat terjadi karena adanya perjanjian sebab
timbulnya perikatan juga dapat terjadi karena adanya perintah undang-undang
tertentu yang mengaturnya.
Pada tulisan ini untuk selanjutnya akan dibahas lebih
lanjut tentang definisi, asas, hingga syarat sahnya sebuah perjanjian, agar
sebuah perjanjian dapat dikategorikan
sebagai sebuah perjanjian yang ideal.
B.
PENGERTIAN
Perikatan[1]:
Perikatan[2] artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan
orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat
berupa:
1. Perbuatan,
misalnya, jual-beli, utang-piutang, hibah.
2. Kejadian,
misalnya, kelahiran, kematian, pohon tumbang.
3. Keadaan,
misalnya, pekarangan berdampingan, rumah susun, kemiringan tanah pekarangan.
Perikatan lebih lanjut dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata. Adapun bagian
umumnya meliputi aturan dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), Bab
IV KUHPerdata yang berlaku bagi perikatan umum.
Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang yang lain atau lebih.
C.
ASAS DALAM
PERJANJIAN
1. Asas
Terbuka[4];
Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar UU,
ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Asas
Konsensualitas; Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya
itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
3. Asas “pacta sunt servanda”; Perjanjian yang
sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak
yang menyelenggarakan[5].
D.
SYARAT-SYARAT
SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Untuk
sahnya suatu perjanjian ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur
dalam ketentuan KUHPerdata Pasal 1320 yaitu:
1. Syarat Subyektif:
a. Sepakat
untuk mengikatkan dirinya; dan
b. Cakap
untuk membuat suatu perjanjian.
2. Syarat Obyektif
:
a. Mengenai
suatu hal tertentu; dan
b. Suatu
sebab yang halal.
E.
SUBJEK
DALAM PERJANJIAN
Pelaku
perjanjian dapat terdiri dari manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau
persekutuan. Setiap subjek hukum yang melakukan atau membuat perjanjian harus[6]:
1.
Ada kebebasan
menyatakan kehendaknya sendiri;
2. Tidak
dalam keadaan terpaksa;
3. Tidak ada
penipuan dari salah satu pihak; dan
4. Tidak ada
kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
Terkait
masalah kehendak melakukan atau kewenangan berbuat, setiap pihak dalam
perjanjian harus disetujui oleh para pihak karena adanya kewenangan yang
syarat-syaratnya menurut hukum sudah ditentukan oleh undang-undang sbb[7]:
1. Sudah
dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh;
2. Walaupun
belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah;
3. Dalam
keadaan sehat akal;
4. Tidak
berada di bawah pengampuan; dan
5. Memiliki surat kuasa jika mewakili
pihak lain.
F.
OBJEK
PERJANJIAN
Dalam
lingkup perjanjian perdata umumnya adalah benda, yaitu setiap barang dan hak
halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati
orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi
orang yang memilikinya.
Benda yang diperjanjikan haruslah benda
yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat.
Apabila
benda dijadikan objek perjanjian, maka benda tersebut harus memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu:
1. benda
dalam perdagangan;
2. benda
tertentu atau dapat ditentukan;
3.
benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud;
4.
benda itu
tidak dilarang oleh undang-undang;
5. benda itu ada pemiliknya dan dalam penguasaan
pemiliknya;
6. benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya;
7. benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas
hak sah.
Dan dalam konsepsi modern dewasa ini,
pengertian benda termasuk juga modal, piutang, keuntungan , dan jasa.
G.
ASAS-ASAS PERJANJIAN
Hukum
perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para
pihak dalam mencapai tujuannya. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antara lain
sebagai berikut:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Dengan adanya asas ini
dalam hukum perjanjian maka setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian
apapun baik yang sudah diatur, maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
Ketentuan mengenai asas ini dicantumkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas kebebasan berkontrak
dalam hal ini bukan berarti tidak ada batasannya sama sekali, melainkan
kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian
yang dibuatnya tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan
undang-undang.
b. Asas Konsensuil
Konsensuil berasal dari bahasa latin yaitu consensus yang berarti sepakat.
Menurut asas ini, perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat
antara para pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak itu perjanjian mengikat dan
mempunyai akibat hukum.
c. Asas Itikad Baik
Perjanjian ini dijelaskan baik dapat dibedakan obyektif. Itikad baik, hal
ini dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik dapat dibedakan
antara itikad baik subyektif dan obyektif. Itikad baik subyektif dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum
yaitu yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu dilakukan perbuatan
hukum. Sedangkan itikad baik obyektif artinya pelaksanaan suatu perjanjian
harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa saja yang dirasakan sesuai
dengan nilai kepatutan dalam masyarakat.
d. Asas Obligator
Asas ini mengandung arti
bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan
hak dan kewajiban saja, bukan memindahkan Hak Milik. Hak Milik baru dapat
berpindah bila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.
H.
PRESTASI & WANPRESTASI
Prestasi[8] adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam
setiap perjanjian. Prestasi adalah objek perjanjian dan menurut Pasal 1234
KUHPerdata umumnya ada tiga kemungkinan wujud prestasi yaitu:
1. memberikan sesuatu[9];
2. melakukan sesuatu;
3. tidak melakukan sesuatu.
Prestasi sebagai objek perjanjian untuk
dapat dipenuhi, maka perlu diketahui sifat-sifatnya yaitu:
1. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
2.
Prestasi
tersebut harus mungkin untuk dipenuhi;
3.
Prestasi
harus halal;
4.
Prestasi
harus bermanfaat bagi kreditor;
5.
Prestasi
terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Wanprestasi, berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati
dalam perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena dua
kemungkinan yaitu:
1.
karena
kesalahan debitur, baik karena sengaja maupun lalai;
2. karena
keadaan memaksa (force majeur)[10], diluar kemampuan
debitur. Jadi, debitur tidak bersalah.
Dalam hal menentukan seorang debitur bersalah atau tidak
perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur wanprestasi dan dalam hal ini
terdapat tiga keadaan[11], yaitu:
1. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau
keliru;
3. debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu
atau terlambat[12].
I.
SURAT PERJANJIAN
Surat perjanjian adalah surat kesepakatan
mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Definisi itu menunjukkan ciri
khas surat perjanjian sebagai surat yang dibuat oleh dua pihak secara
bersama, bahkan seringkali melibatkan pihak ketiga sebagai penguat.
Surat
perjanjian ada dua macam, yaitu:
1. Perjanjian
autentik, yaitu perjanjian yang disaksikan oleh pejabat pemerintah.
2. Perjanjian
dibawah tangan, yaitu perjanjian yang tidak disaksikan oleh pejabat pemerintah.
Penggolongan
diatas tidak ada hubungannya dengan keabsahan surat perjanjian. Surat perjanjian tanpa notaris, misalnya sah
saja asal memenuhi syarat tertentu seperti yang akan dirinci dibawah ini. Selain
mencantumkan persetujuan mengenai batas-batas hak dan kewajiban masing-masing
pihak, surat
tersebut juga menyatakan jalan keluar yang bagaimana, yang akan ditempuh,
seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Jalan keluar
disini bisa pemberian sanksi, ganti rugi, tindakan administrasi, atau gugatan
ke pengadilan.
J.
GUNA SURAT PERJANJIAN
1. Untuk
menciptakan ketenangan bagi kedua belah pihak yang berjanji karena terdapatnya
kepastian didalam surat perjanjian.
2.
Untuk
mengetahui secara jelas batas hak dan kewajiban pihak yang berjanji.
3. Untuk
menghindari terjadinya perselisihan.
4. Untuk
bahan penyelesaian perselisihan atau perkara yang mungkin timbul akibat suatu
perjanjian.
Sehubungan dengan guna surat
perjanjian pada butir 3 diatas, dalam setiap surat perjanjian harus tercantum pasal
arbitrase yang berisi kesepakatan bersama yang menetapkan pengadilan negeri
tertentu sebagai tempat untuk menyelesaikan perkara, jika timbul.
K.
SYARAT SURAT PERJANJIAN
Adapun
syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Surat
perjanjian harus ditulis diatas kertas segel atau kertas biasa yang dibubuhi
materai.
2. Pembuatan surat perjanjian harus atas rasa ikhlas,
rela, tanpa paksaan.
3. Isi perjanjian harus disetujui oleh kedua belah pihak
yang berjanji.
4. Pihak yang berjanji harus sudah dewasa dan dalam
keadaan waras dan sadar.
5. Isi perjanjian harus jelas dan tidak mempunyai peluang
untuk ditafsirkan secara berbeda.
6.
Isi surat
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan norma susila yang
berlaku.
L.
ANEKA SURAT PERJANJIAN
Dalam
kehidupan modern banyak sekali aktivitas yang perlu dituangkan ke dalam surat perjanjian untuk memperoleh kepastian dan kekuatan
hubungan antara surat
perjanjian terpenting, berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang
perjanjian jual beli, sewa beli (angsuran), sewa-menyewa, borongan pekerjaan,
pinjam-meminjam, dan perjanjian kerja.
1. Perjanjian Jual Beli
Dalam surat ini disebutkan bahwa pihak penjual
diwajibkan menyerahkan suatu barang kepada pihak pembeli. Sebaliknya, pihak pembeli
diwajibkan menyerahkan sejumlah uang (sebesar harga barang tersebut) kepada
pihak penjual sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah
penandatanganan surat
tersebut, kedua belah pihak terikat untuk menyelesaikan kewajiban masing
masing. Setiap pelanggaran atau kelainan dalam memenuhi kewajiban akan
mendatangkan konsekuensi hokum karena pihak yang dirugikan berhak mengajukan
tuntutan atau klaim.
2. Perjanjian Sewa Beli (angsuran)
Surat ini boleh dinyatakan sama dengan surat jual beli. Bedanya harga barang yang di
bayarkan oleh pihak pembeli dilakukan dengan cara mengangsur. Barangnya
diserahkan kepada pihak pembeli setelah surat
perjanjian sewa beli ditandatangani. Namun hak kepemilikan atas barang tersebut
masih berada di tangan pihak penjual. Jadi sebelum pembayaran atas barang
tersebut masih di angsur, pihak pembeli masih berstatus sebagai penyewa. Dan
selama itu pihak pembeli tidak berhak menjual barang yang disebutkan dalam
perjanjian sewa beli tersebut. Selanjutnya hak milik segera jatuh ke tangan
pembeli saat pembayaran angsuran/cicilan terakhir dilunasi.
3. Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian ini merupakan suatu persetujuan antara
pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa., dimana pihak yang menyewa (pihak
1) berjanji menyerahkan suatu barang (tanah, bangunan, dll) kepada pihak
penyewa (pihak II) selama jangka waktu yang di tentukan kedua belah pihak.
Sementara itu pihak penyewa di wajibkan membayar sejumlah uang tertentu atas
pemakaian barang tersebut.
4. Perjanjian Borongan
Perjanjian ini dibuat antara pihak pemilik proyek
dan pihak pemborong, dimana pihak pemborong setuju untuk melaksanakan pekerjaan
borongan sesuai dengan syarat syarat/spesifikasi serta waktu yang di
tetapkan/disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk itu pihak pemilik proyek
wajib memebayar sejumlah uang tertentu (harga pekerjaan borongan) yang telah di
sepakati kedua belah pihak kepada pihak pemborong.
5. Perjanjian Meminjam Uang
Surat perjanjian ini merupakan persetujuan antara
pihak piutang dengan pihak berhutang untuk menyerahkan sejumlah uang. Pihak
yang berpiutang meminjamkan sejumlah uang kepada pihak yang meminjam, dan pihak
peminjam wajib membayar kembali hutang tersebut ditambah dengan buang yang
biasanya dinyatakan dalam persen dari pokok pinjaman, dalam jangka waktu yang
telah disepakati.
6. Perjanjian Kerja
Pada dasarnya surat perjanjian kerja dan perjanjian
jual beli adalah sama. Yang membedakan adalah obyek perjanjiannya. Bila dalam
surat perjanjian jual beli objeknya adalah barang atau benda, maka objek dalam
surta perjanjian kerja adalah jasa kerja dan pelayanan Para pihak dalam surat
perjanjian kerja adalah majikan (pemilik usaha) dan pekerja (penyedia jasa).
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam membuat surat perjanjian kerja adalah:
(a) Lama masa
kerja;
(b) Jenis
pekerjaan;
(c) Besarnya
upah atau gaji beserta tunjangan. Pihak majikan biasanya telah mempunyai suatu
pegangan atau standar gaji untuk menentukan gaji yang layak untuk suatu tingkat
keahlian kerja;
(d) Jam kerja
per hari, jaminan sosial, hak cuti, dan kemungkinan untuk memperpanjang
perjanjian tersebut.
M.
TAHAPAN PENYUSUNAN SUATU PERJANJIAN
Untuk membuat suatu perjanjian yang baik serta mencegah
terjadinya masalah hukum di kemudian hari, maka perjanjian sebaiknya di bauat
dengan tahapan tertentu mulai dari persiapan, sampai pada pelaksanaan
perjanjian. Adapun tahap – tahap itu sebagai berikut:
1. Negosiasi
1. Negosiasi
Sebuah perjanjian tidak muncul tiba tiba, tetapi terlebih dahulu dulakukan
negosiasi. Pada proses ini terjadi tawar menawar untuk kemudian di tuangkan
dalam perjanjian.
2. Memorandum Of Understanding (MoU)
2. Memorandum Of Understanding (MoU)
Setelah
pada tahap negosiasi tercapai kesepakatan, tahap selanjutnya membuat MoU. Isi
MoU hanya butir butir kesepakatan negosiasi. MoU bukan sebuah perjanjian tapi
merupakan pegangan sementara bagi para pihak sebelum masuk pada tahap
penyusunan perjanjian.
3. Penyusunan Perjanjian
3. Penyusunan Perjanjian
Penyusunan
perjanjian dimulaid dengan membuat draft perjanjian. Draft perjanjian ini
kemudian dikoreksi oleh masing masing pihak untuk kemudian ditandatangani. Yang
dibutuhakn dalam proses penulisna naskah perjanjian adalah kejelian dalam
menangkap berbagai keinginan para pihak, memahami aspek hukum, dan menguasai
bahasa perjanjian denagn rumusan yang tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Sebuah perjanjian pada umumnya mengikuti kerangka sbb:
a) Judul
perjanjian
b)
Pembukaan
c) Identifiaksi Para Pihak
d) Latar belakang kesepakatan (recital)
e) Isi
f) Penutup
4.
Pelaksanaan Perjanjian
Sebuah perjanjian yang ideal mestinya dapat
dilaksanakan oleh para pihak. Artinya, hak dan kewajiban masing masing pihak
dijalankan sepenuhnya sesuai dengan isi perjanjian.
Namun dalam pelaksaannya bisa jadi para pihak punya penafisran yang berbeda terhadap pasal pasal tertentu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi persengketaan. Itulah sebabnya dalam perjanjian para pihak juga memasukkan pasal yang mengatur tentang pilihan hukum dan prosedur penyelesaian sengketa.
Namun dalam pelaksaannya bisa jadi para pihak punya penafisran yang berbeda terhadap pasal pasal tertentu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi persengketaan. Itulah sebabnya dalam perjanjian para pihak juga memasukkan pasal yang mengatur tentang pilihan hukum dan prosedur penyelesaian sengketa.
*Tugas Kolektif Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata-Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Pengajar Dr.Fulgensius Jimmy, S.H.,M.H.,M.M
[1] Lihat ketentuan umum Pasal 1233,
1234 KUHPerdata
[2] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perdata Indonesia, Penerbit P.T.
Citra Aditya Bakti. Bandung. 2010. Hal.229.
[3] Pasal 1313 KUHPerdata
[4] Sistem terbuka, disimpulkan dalam
Pasal 1338 (1) KUHPerdata: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang
membuatnya”
[5] Lihat Pasal 1320 KUHPerdata
[6] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.233
[7] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.234
[8] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.239
[9] Lihat Pasal 1235 ayat (1)
KUHPerdata
[10] Unsur-unsur keadaan memaksa adalah
tidak dipenuhinya prestasi (1) karena terjadi peristiwa yang membinasakanatau
memusnahkan benda objek perjanjian; atau (2) karena terjadi peristiwa yang
menghalangi perbuatan debitur; dan (3) peristiwa tersebut tidak dapat diketahui
atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.
[11] Abdulkadir Muhammad, Op.cit hal.242.
[12] Bila dalam perjanjian ditentukan mengenai
tenggang waktu pemenuhan prestasi, menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur dianggap lalai dengan
lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
No comments:
Post a Comment
No SARA please..