I. HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
A.
Transisi
Politik Menuju Demokrasi
Pergolakan yang terjadi sejak
sekitar 1970 menimbulkan perubahan-perubahan dari negara-negara yang dahulunya
bersifat otoritarianisme / totaliter menjadi negara yang bersifat demokratis.
Perubahan tersebut pada awalnya
dimulai dari kawasan Selatan Eropa, bergerak ke Amerika Latin, lalu ke bagian
Timur Eropa, dan kemudian ke Afrika Selatan.
Terjadinya perubahan atau
pergeseran sifat dari totaliter ke demokrasi bagaimanapun juga meninggalkan
pengalaman yang hampir sama yaitu pelanggaran-pelanggaran HAM yang ditinggalkan
oleh rezim otoriter yang telah diganti. Namun demikian rezim-rezim otoritarian
yang ada disuatu negara tidak dapat disamakan dengan rezim otoritarian dinegara
lainnya, begitu pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sepeninggal rezim
rezim otoritarian tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang
terjadi yang coba diungkap oleh rezim demokrasi yang menggantikan pada masa
transisi bukanlah perkara yang mudah, karena pada beberapa kasus pelanggaran
Ham walaupun faktor-faktor internasional dapat mempengaruhi jalannya transisi
namun para pelaku utama dan pengaruh-pengaruh dominan pada masing-masing kasus
tetap berasal dari dalam negeri.
Banyaknya permasalahan dan kasus-kasus
pelanggaran HAM dapat dilihat dari bagaimana cara-cara transisi dari
pemerintahan otoritarian dibentuk oleh keadaan historis tentang seperti apa
proses sebuah rezim otoritarian sebelumnya jatuh oleh sebab-sebab tertentu.
Dari beragamnya sifat rezim
otoritarian, apapun jenisnya, jika dilihat, terdapat beberapa kesamaan yaitu
adanya hubungan sipil-militer yang tidak terlalu diperhatikan atau tidak
memiliki jiwa hubungan sipil-militer seperti di negara industrial demokratis
yang disebutnya dengan istilah “kontrol sipil objektif” yang didalamnya
terkandung: (1) profesionalime militer yang tinggi; (2) subordinasiyang
efektif; (3) pengakuan dan persetujuan dari pemimpin politik yang membuat
keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri; dan (4) minimalisasi intervensi
militer dalam politik dan sebaliknya.
Militer pada masa otoritarian dipandang
sebagai instrumen penguasa dalam pemerintahan satu partai, maksudnya adalah
bahwa militer harus menjadi bagian dari partai; komisaris politik dan
unsur-unsur partai paralel dengan rangkaian komando militer serta loyalitas
tertingginya lebih dominan kepada partai daripada kepada negara. Hal inilah
yang menjadi tantangan yang serius yang harus dihadapi negara demokrasi yang
baru yaitu untuk mereformasi hubungan sipil-militer.
Di negara maju di Eropa Barat dan
Amerika Utara pemetaan fungsi militer dan sipil sudah bisa berjalan seimbang
dan berperan sebagaimana fungsi masing-masing tanpa tumpang tindih dan intervensi,
karena yang berjalan atau menjadi pedoman adalah “supremasi sipil”, sehingga
pengaruh yang ada adalah pengaruh sipil terhadap militer dan bukan sebaliknya.
Dalam masalah ini masa transisi ke sifat demokrasi masi diperlukan reposisi
hubungan sipil-militer dalam arti yang mencakup keseluruhan dan tidak hanya
terbatas pada bidang politik saja, dan Indonesia termasuk negara yang
perlu untuk melaksanakan reposisi tersebut juga.
Selain hal-hal tersebut diatas
pasca transisi dan negara totaliter berubah menjadi negara demokrasi diperlkan
juga adanya kebijakan baru untuk menyelesaikan permasalahan dengan rezim yang
sebelumnya, penyelesaian dengan mendahulukan segala bentuk upaya
pertanggungjawaban dari rezim terdahulu. Dibeberapa negara, tiap-tiap
pemerintahnya memiliki cara yang berbeda beda untuk berhubungan dengan masa
lalunya termasuk misalnya untuk membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran
HAM, namun dalam upaya pengungkapan tersebut tidak ada jaminan bahwa pengadilan
dapat dijadikan sarana terbaik untuk mengungkap dan menyelesaikan
pelanggaran-pelanggaran HAM.
Seorang tokoh dalam sejarah
filsafat Yunanai yaitu Solon yang diberi tanggung jawab untuk merevisi secara
drastis terhadap sistem ekonomi, sosial, dan politik Athena melakukan tindakan
yang mencerminkan cara-cara pemerintahan modern dalam mencoba untuk mengadakan
rekonsilasi / pemulihan hubungan dengan masa lampau yaitu dengan cara (1)
pemberian “perlindungan yang besar” bagi populasi penduduk yang kini dikenal
dengan istilah kekuasaan hukum yang termasuk juga didalamnya instrumen
demokratis dari majelis rakyat dan proses pengadilan yag adil, serta
perlindungan hak terhadap yang lemah; (2) masyarakat baru memerlukan tatanan
sosial yang baru, contohnya melalui pembersihan propaganda, menghimpun
kesadaran, dan pembaruan sosial; (3) berhubungan dengan penanganan masa lalu,
adalah salah satunya untuk menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan berkuasa;
(4) melakukan pemihakan apakah mendukung otoritas atau melakukan perlawanan.
Masih dalam pembahasan masa
transisi, ternyata ada satu hal yang cukup mendasar berkaitan dengan perubahan
kedudukan dan peranan militer, hal mana sering kali juga dikaitkan dengan
ideologi “kemanan nasional” yang melaksanakan bahwa kekuatan militer harus
memiliki monopoli yang tidak dapat dipersengketakan mengenai hal-hal yang
menjadi kepentingannya. Namun kini format tersebut berubah berdasarkan
“Paradigma Baru” kelompok reformis yang berpendapat bahwa militer dalam hal ini
TNI di Indonesia contohnya hanya dapat diubah secara gradual dan untuk itu ada
beberapa langkah yaitu, (1) pengurangan dalam perwakilan militer (TNI-POLRI);
(2) penghapusan praktik kekaryaan atau pengalihan sementara perwira militer ke
posisi-posisi sipil; (3) adanya netralitas politik; (4) pemisahan POLRI dari
TNI; dan (5) orientasi pertahanan. Berdasarkan hal diuraikan diatas maka dapat
dilihat bahwa reformasi militer / demiliterisasi tidak hanya berkaitan dengan
militer saja.
II.
Keadilan
Transisional
A.
Pengantar
Ketika
terjadinya perubahan drastis atau pergeseran rezim dari totaliter kepada rezim
demokratis, masyarakat di berbagai belahan dunia berusaha untuk memutuskan mata
rantai dengan pemerintahan peninggalan rezim totaliter dan mulai fokus
membangun dan menembangkan demokrasi. Namun dibalik itu muncul permasalahan
apakah sebuah masyarakat harus menghukum masa lalunya atau cukup membiarkan
kaitan dengan masa lalu untuk tetap ada.
Konsep
keadilan transisional akhirnya telah membawa permasalahan kepada suatu tahapan
dengan suatu pola pendekatan yang menimbulkan perdebatan kontemporer. Rusia
sebagai contoh, pernah memulai dengan suatu cara membawa komunisme ke
pengadilan akan tetapi belum menghasilkan terlalu banyak hal untuk melawan masa
lalunya yang condong mendukung pemikiran J.W Stalin. Dan contoh lain di
Uruguay, dimana rakyat akhirnya memberikan referendum untuk tidak menyelidiki
pemerintahan militer yang sewenang-wenang yang berakhir pada tahun 1985. Begitu
juga dinegara lain yang menemukan kesulitan untuk melupakan adanya peninggalan
hubungan sejarah di hadapan korban-korban yang berjatuhan.
Dari
beberapa contoh pengalaman tersebut, bagaimanapun juga fenomena yang terjadi
justru terlihat adanya semacam ketertutupan, banyak bang sa telah berupaya
untuk menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”.
Seorang
mantan petinggi Amnesty International,
Daan Bronkhorst memilih kata-kata yang dijadikan tolok ukur penting untuk
menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan keadilan transisional,
yaitu kata “kebenaran”, “rekonsiliasi” (pemulihan terhadap
korban-korban tindakan represif dari masa lalunya) dan ”keadilan”, hasilnya berdasarkan hasil penelitian Bronkhorst di
dunia terdapat sekitar 40 negara yang mengambil langkah pencarian kebenaran,
rekonsiliasi dan keadilan sebagai bagian dari konsepsi keadilan transisional,
hal mana juga sebenarnya penting untuk dilakukan oleh Indonesia.
B.
Konteks Internasional pada Waktu Transisi
Penyelesaian
masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling
mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan
mereka-mereka yang berada di luar negeri, pemerintahan asing didorong untuk
berperan baik dalam melindungi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atatu
memfasilitasi pengeluaran atauu ekstradisi mereka untuk diadili.
Konsep
penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional yang
menempatkan institusi-institusi dan proses-proses diatas hukum dan politik
domestik, dan menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang
pemahamannnya dipercayai oleh pengadilan-pengadilan lokal. Adapun suatu perdebatan
tentang ilmu hukum timbul, secara khusus contohnya di Amerika Serikat, mengenai
apakah pengadilan pasca perang yang diselenggarakan di Nuremberg dan Tokyo
sejalan dengan prinsip aturan hukum, dan disinilah hukum internasional
menunjukan perannya sebagai penengah untuk mereduksi dilema dari aturan hukum
yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam transisi.
C.
Keadilan dalam Masa Transisi Politik
Wacana
tentang “keadilan transisional” pada umumnya dibingkai oleh masalah normatif
bahwa beberapa respon hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka
terhadap demokrasi dan dalam perkembangannya terdapat pandangan yang saling
berhadapan yaitu kelompok idealis dan realis. Adapun pandangan tersebut adalah
sbb: apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan
aturan-aturan hukum atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus
dilakukan mendahului perubahan politik.
Di
Indonesia hubungan yang erat antara hukum dan politik ini pernah diteliti oleh
Moh.Mahfud Md yang menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya hukum ternyata tidak
bebas dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan
intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pertanyaan
tentang mana yang lebih utama apakah hukum atau politik, pertanyaan yang
mengawali pertanyaan lainnya seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum,
mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang
bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter, dsb.
D.
Dilema Penerapan Aturan Hukum
Suatu
dilema muncul dalam suatu periode transisi politik yang substansial tentang
penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan
permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Apakah yang dapat dijadikan
dasar bagi suatu rezim yang terdahulu agar dapat dibawa ke pengadilan? Apakah
keadilan pidana sesuai dengan aturan hukum? Dilema yang dihadapi oleh keadilan
pidana yang menggantikan ini membawa kita ke arah permasalahan yang lebih luas
tentang teori mengenai sifat dan peranan hukum dalam proses perubahan menuju ke
suatu negara liberal.
Disisi
lain, Teitel berpendapat bahwa pada masa perubahan politik, masalah legalitas
tidaklah sama dengan masalah dalam teori hukum seperti yang muncul dalam
demokrasi-demokrasi yang mantap pada masa-masa yang normal. Pilihan terhadap
prinsip-prinsip ajudikasi termasuk kondisi dan peranan transitional judiciary mengimplikasikan suatu pertanyaan yang
terkait dengan dimana, sebagai suatu masalah institusional, pekerjaan perubahan
transformasi) seyogyanya ditempatkan, pada pengadilan atau parlemen.
TANGGAPAN
Peralihan
rezim atau pergantian rezim dalam suatu masa transisi yang dalam hal ini
sebagai contoh adalah ketika runtuhnya rezim otoriter berganti ke rezim
demokrasi tidak selalu dapat berjalan dengan baik.
Situasi
politik dalam suatu negara pada pada masa transisi umumnya sulit untuk
distabilkan, dalam hal ini sebagai contoh dapat dilihat keadaan Republik
Indonesia pada saat rezim “iron fist” Presiden Soeharto runtuh dan kemudian
berganti ke era demorasi yang menuntut keterbukaan dan kebebasan berpikir,
berpendapat, berkreasi d.l.l.
Pergeseran
pola pemerintahan pada masa itu dituntut untuk dapat diselenggarakan dalam
waktu yang singkat, namun dalam perjalananannya tidak dapat dipungkiri,
menjembatani masa otoriter dengan masa demokrasi.
Banyak
pihak mungkin berharap bahwa rezim demokrasi akan 180 derajat berbeda dan lebih
baik dibanding ketika otoriter masih berkuasa, namun kenyataannya hingga kini,
di republik ini masih banyak masalah yang dihadapi yang beberapa diantaranya
mungkin saja warisan dari masa otoriter. Seperti misalnya masalah bagaimana
suatu negara demokrasi harus memperlakukan pihak-pihak yang telah bersalah
melakukan kejahatan-kejahatan direzim yang lalu, masalah sulitnya mencapai
jalan keluar yang adil dan pantas serta dapat diterima oleh masyarakat yang
telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua belah pihak, baik pihak
yang menindas maupun yang menutup-nutupi suatu pelanggaran/penindasan.
Masih
bobroknya birokrasi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih
terjadi, dan kebebasan berpendapat yang kebablasan adalah sedikit contoh
masalah yang ternyata jika dilihat, justru tidak seburuk apa yang terjadi era
otoriter.
Sebagai
perbandingan, mungkin masih dapat diingat betapa Indonesia begitu “powerful” setidaknya di level regional
(ASEAN), sebagai bukti adalah pada masa Presiden Soeharto, Indonesia memiliki
keunggulan dibidang pendidikan, pelatihan militer, industri pesawat (IPTN),
sektor pertanian yang berkualitas, dan sektor industri lainnya yang cukup
membanggakan, namun kini, di era demokrasi (reformasi) hampir banyak sektor
bahkan sektor strategis pun sudah “disusupi” oleh keterlibatan asing. Orientasi
pemerintah dewasa ini cukup mengherankan, profit yang sebesar-besarnya tanpa
mengutamakan kemandirian anak bangsa.
Banyak
komoditas diimpor dari luar negeri dengan dalih, lebih murah impor daripada
produksi di dalam negeri (kebijakan impor lebih menguntungkan). Kebijakan
tersebut tentu saja semakin menyudutkan industri kecil atau industri lain di
dalam negeri. Karena persaingan produk mereka dengan produk asing yang cukup
sulit diimbangi baik dari segi harga maupun kualitas. Disini sebenarnya peran
pemerintah yang demokratis haruslah lebih melindungi kepentingan bangsa sendiri
dengan memberikan bantuan berupa permodalan, pelatihan sumber daya manusia,
pengendalian kualitas produk yang memadai, dan kebijakan yang tidak mencekik
leher pengusaha dalam negeri.
Permasalahan-permasalahan
inilah yang terjadi di era demokrasi yang secara de facto justru cenderung
lebih ke gaya kapitalis / liberal. Memang benar ketika runtuhnya kaum
otoritarian pada tahun 1998 beberapa oknum pejabat kemudian di adili karena
atas beberapa pelanggaran, baik pelanggaran HAM, dugaan tindak pidana korupsi
dan lain sebagainya. Namun setelah berganti ke era demokrasi sekarangpun,
ternyata masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan
penyalahgunaan wewenang pun masih acap kali terjadi.
Belum
terungkapnya kasus Semanggi I dan II, Tanjung Priok, Korupsi BLBI, adalah
beberapa “dosa” era otoriter yang ternyata sekarangpun belum bisa diampuni oleh
sebagian besar masyarakat, bahkan pelaku-pelakunya pun tidak jelas karena
perkara-perkara tersebut diatas menguap cenderung menjadi “mainan kampanye”
bagi rezim berkuasa.
Di
era demokrasi pun seperti itu juga, korupsi Bank Century, mafia perpajakan,
korupsi anggota dewan, korupsi proyek pembangunan, mafia hukum adalah sedikit
dari beberapa contoh perkara-perkara yang penuntasannya tidak sesuai harapan masyarakat.
Seiring bergantinya rezim pemerintahan, maka nantinya akan berganti pula arah
kebijakan dan gaya politiknya. Entah bagaimana nantinya pemerintahan yang
selanjutnya harus mengambil sikap terhadap permasalahan-permasalahan tersebut
diatas.
Melihat
problematika diatas sebenarnya permasalahan yang mendasar dan dominan yang
sering dibicarakan pada masa reformasi tidak lain dan tidak bukan adalah
mengenai aspek hukum. Aspek yang dimaksudkan adalah melingkupi berbagai soal
yang, yang secara general pada
pokoknya dibagi menjadi (1) struktur; (2) substansi; dan (3) kultur (Lawrience
M. Friedman. Dalam prakteknya di era reformasi, ketiga-tiganya sulit untuk
dilaksanakan secara seimbang karena bagaimanapun juga dalam penegakan hukum di
Indonesia masih sering ditemui adanya intervensi faktor-faktor politis, hal ini
lah penyebab timbulnya inkonsistensi dalam law
enforcement.
Arah
kebijakan pemerintah yang pro rakyat dirasa masih sangat kurang karena begitu
tergantungnya negeri ini terhadap cengeraman asing. Kontras dengan bagaimana
seharusnya negara demokrasi tumbuh dan berkembang. Kemampuan pemerintah untuk
mensejahterakan rakyat di rasa masih jauh panggang dari api. Sementara jika
kita menilik ke masa otoriter, entah mengapa, cukup banyak petani, nelayan, dan
kaum termarginal yang cenderung lebih bersyukur dengan kebijakan pada masa Presiden Soeharto. Terbukti dengan berjayanya
Indonesia pada sektor agraris yang pada masa itu mencetak prestasi dengan
berswasembada, sektor perikanan, sektor olahraga dimana pada beragam event olahraga baik tingkat regional
maupun internasional Indonesia bisa menjadi yang diperhitungkan, pada sektor
pendidikan, cukup banyak mahasiswa dari kawasan regional yang menuntut ilmu di
Indonesia (namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya), pertahanan dan
keamanan yang pada masa itu bisa meredam gerakan-gerakan/ ancaman-ancaman
terhadap keamanan maupun kedaulatan negara (berbeda dengan sekarang dimana
pemerintah Indonesia masih belum bisa tenang akibat ulah teroris), dan hal-hal
lainnya.
Perbedaan-perbedaan
ini lah yang pada akhirnya membuat banyak pihak termasuk penulis berkesimpulan
bahwa tidak selalu rezim otoriter itu buruk, dan tidak selalu rezim demokrasi
itu baik, karena semuanya bagai dua sisi mata uang, ada baiknya dan ada buruknya.
Di masa otoritarian pemerintahan begitu kuat dengan “melemahkan” rakyat, di
masa demokrasi pemerintah bergitu terbelenggu oleh kekuatan mafia yang
menggurita.
Lalu
bagaimana jalan keluarnya? Hal ini lah yang masih menjadi pekerjaan rumah yang
sulit baik bagi pemerintah maupun bagi setiap
warganegara. Dari sisi pemerintah
mungkin seharusnya tidak kata terlambat untuk mengembangkan pola pemerintahan
yang efektif dan efisien, memangkas alur birokrasi untuk meminimalisir adanya
peluang / celah untuk KKN, melaksanakan UUD untuk benar-benar bisa menjadi
negara hukum (rechstaat), hukum harus
superior, ditegakkan tanpa tebang pilih baik terhadap “sisa-sisa kroni” orde
baru maupun mereka-mereka yang menyimpang di era demokrasi, kemudian lakukan
kebijakan-kebijakan yang pro rakyat seperti keringanan pajak bagi pengusaha
dalam negeri, alokasikan dana khusus untuk pengembangan penelitian (dalam
berbagai bidang, seperti IPTEK, ilmu-ilmu sosial dll), awasi aliran dana untuk
proyek-proyek pemerintah dengan sebaiknya, lepaskan pengaruh asing dengan
nasionalisasi aset-aset asing agar Indonesia bisa berdaulat dibidang ekonomi,
perkuat rasa persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa dengan melibatkan
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, tumbuhkan toleransi sebagaimana amanat
Pancasila sila ke-3, dan last but not
least upayakan agar politik tidak terlalu banyak mengintervensi hukum
dengan benar-benar menjadikan aspirasi/suara rakyat sebagai dasar membuat dan
mengambil kebijakan, bukan mendasarkannnya pada kepentingan golongan, atau
partai saja. Dengan demikian niscaya Indonesia yang mungkin masih labil pasca
masa transisi perlahan tapi pasti akan bisa berdaulat (berdaulat disegala lini;
kebijakan umum, sektor ekonomi, penegakan hukum, hankam, dan sosial budaya,dll)
dan dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain.
*Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.
*Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.
No comments:
Post a Comment
No SARA please..