Thursday, May 31, 2012

Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (Hans Kelsen : General Theory of Law and State)



I.        KONSEP HUKUM DINAMIS (“NOMODINAMICS”)
Hans Kelsen adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat[1]. Pada hakekatnya ajaran Hans Kelsen melangkah lebih jauh. Menurutnya ilmu negara itu harus menarik diri atau melepaskan pemikirannya secara prinsip dari tiap-tiap percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya secara kausal atau sebab musabab yang bersifat abstrak, dengan kata lain kalau kita hendak membicarakan negara katakanlah saja negara itu sebagaimana adanya. Sedangkan disisi lain Hans Kelsen berpendapat bahwa ilmu hukum tidak perlu lagi mencari dasar negara, kelahiran negara untuknya hanya merupakan suatu kenyataan belaka, yang tidak dapat diterangkan dan ditangkap dalam sebutan yuridis[2].
Jadi, masih menurut Hans Kelsen negara itu identik dengan hukum, namun demikian Hans Kelsen juga mengakui bahwa negara itu terikat oleh hukum karena negara itu adalah suatu tertib hukum, atau suatu tertib masyarakat yang bersifat memaksa, dan karena suatu sifat memaksa itulah maka di dalam negara ada hak memerintah dan kewajiban tunduk, maka kesimpulannya adalah bahwa negara itu identik dengan hukum[3].

A.  Tata Hukum
1.        Kesatuan Tata Normatif
a.  Norma Dasar Sebagai Landasan Validitas[4]
Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Kita menyatakan suatu norma bahwa “Kamu dilarang membunuh karena Tuhan melarangnya” atau “Kamu harus pergi ke sekolah, karena ayahmu memerintahkannya.”
Alasan validitas norma kamu dilarang membunuh adalah norma umum yaitu kamu harus mematuhi perintah Tuhan. Jadi alasan validitas norma adalah selalu suatu norma, bukan fakta. Kita menerima pernyataan bahwa kamu harus membantu pengikutmu yang membutuhkan sebagai norma yang valid karena norma ini berasal dari pernyataan kamu harus mencintai tetanggamu. Norma ini kita terima sebagai norma yang valid karena merupakan norma akhir yang validitasnya ada pada norma itu. Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar[5].
b.  Sistem Norma Statis[6] dan Norma Dinamis[7]
Dalam teori statis, suatu norma adalah valid dan hal ini berarti kita mengasumsikan bahwa individu yang perbuatannya diatur oleh norma harus berbuat sesuai dengan yang ditentukan norma, yang berdasarkan nilai isinya merupakan suatu bukti yang menjamin validitasnya. Norma-norma demikian seperti “Kamu tidak boleh berbohong”, “Kamu tidak boleh menipu”, “Kamu harus menepati janjimu”, mengikuti dari norma umum yang menerapkan kebenaran. Sedangkan Teori dinamis obyeknya adalah aktivitas proses pembuatan dan pelaksanaan hukum, sistem norma yang disebut tata hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Karakter dinamis ini menjadi karakter dari norma hukum di mana norma dasar dari suatu sistem hukum adalah aturan dasar yang mengatur pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut, dimana Norma dengan sistem dinamis harus dibuat melalui tindakan individual yang telah diotorisasikan (delegasi) untuk membuat norma oleh norma yang lebih tinggi.

2.        Hukum Sebagai Sistem Dinamis
a.  Positivisasi Hukum
Sistem norma yang disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem dinamis. Hukum adalah selalu hukum positif, dan positivisasi tersebut berdasarkan pada fakta bahwa hukum tersebut dibuat dan dibatalkan dengan tindakan manusia yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hukum adalah suatu hierarkhi mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam.
Dasar yang terpenting dari Kelsen ini adalah, manusia sebagai bagian dari alam tunduk sebagai hukum sebab-akibat dan mengatur perilakunya dengan perintah-perintah[8]. Hal inilah yang membedakan antara hukum positif dengan hukum alam yang dideduksikan dari norma dasar tidak nyata yang dianggap sebagai ekspresi dari kehendak alam atau rasio alam. Hukum positif atau “hukum yang disebut sebenarnya” yang masih ada memiliki empat ciri unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan[9].
b.  Hukum Kebiasaan dan Undang-Undang
Kebiasaan adalah tindakan umum yang dilakukan secara sadar dan diakui sebagai norma mengikat dan bukan merupakan pilihan bebas, sedangkan hukum (Undang-undang) Hukum selalu dibuat dengan suatu tindakan secara sengaja sebagai pembuatan hukum (melalui legislasi), kecuali dalam hal ketika hukum tertentu berasal dari kebiasaan.
Dalam hal suatu negara, haruslah dipandang negara tersebut sebagai suatu kesatuan tata tertib, atau suatu kesatuan peraturan, dengan demikian maka tidak mungkin negara dapat diperhadapkan dengan hukum[10]. Jika dilihat secara fundamental, dari segi pembentukannya maka tentu saja hukum kebiasaan dan Undang-undang adalah berbeda karena Hukum undang-undang harus dipahami sebagai hukum yang dibuat dengan cara selain kebiasaan, yaitu oleh legislatif, yudisial, atau tindakan administratif, atau oleh tindakan hukum lainnya.

3.        Norma Dasar Suatu Tata Hukum
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali secara langsung atau tidak, kepada konstitusi awal. Namun jika tata aturan yang awal/terdahulu terhenti, dan tata aturan baru mulai berlaku, karena perbuatan individu diatur menurut tata aturan baru, maka tata aturan ini menjadi tata aturan yang valid dan mulai saat itu perbuatan individu dinilai sebagai legal atau ilegal menurut tata aturan baru ini.
Setiap satu norma kehilangan validitasnya ketika keseluruhan tata hukum norma tersebut kehilangan keberlakuannya Norma-norma ini valid bukan karena tata hukum secara keseluruhan berlaku, tetapi karena dibuat dengan cara konstitusional.
Di sisi lain norma dasar suatu tata hukum nasional bukan merupakan imajinasi hukum. Fungsi norma dasar adalah membuat penafsiran normatif terhadap fakta tertentu mungkin dilakukan, dan hal ini berarti bahwa penafsiran fakta merupakan pembuatan dan pelaksanaan norma yang valid, Norma hukum, dinyatakan valid hanya jika dimiliki oleh suatu tata aturan yang berlaku.
Maka isi dari norma dasar ditentukan oleh fakta melalui mana suatu aturan dibuat dan dilaksanakan. Dalam negara sebagai sistem peraturan hukum yang valid memiliki bentuk kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah bentuknya yang mengikuti perubahan kekuatannya yang menentukan kedudukan sementara dari negara tersebut[11]. Dan konsep validitas hukum yang berubah-ubah tersebut validitasnya dapat dipahami dengan mempelajari empat arti yang diberikan oleh Kelsen,yaitu :
a.  Suatu norma eksis dengan kekuatan mengikat;
b.  Norma partikuler tersebut dapat diidentifikasi sebagai bagian dari suatu tata hukum yang berlaku;
c.  Suatu norma dikondisikan oleh norma lain yang lebih tinggi dalam hirarki norma;
d.  Suatu norma yang dijustifikasi kesesuaiannya dengan norma dasar.,
Sedangkan jika kembali lagi kepada keadaan suatu negara pemikiran hukum memiliki lima aspek indikasi hidupnya fungsi hukum dalam suatu negara yaitu [12];
a.  Semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum;
b.  Pemerintah harus berperilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuatan diskresi;
c.  Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif.

4.        Konsep Hukum Statis dan Dinamis
Sebuah tatanan hukum yang dinamis dapat saja menerapkan konsep hukum yang berbeda  dimana mungkin saja untuk mengabaikan unsur paksaan dalam mengartikan konsep hukum. Pembuat undang-undang dimungkinkan membuat rumusan hukuman baik pidana maupun perdata bagi setiap pelanggar hukum, dan aturan seperti ini tetap valid dianggap sebagai hukum pada akhirnya karena dibuat oleh lembaga yang ditunjuk dan mempunyai kewenangan untuk itu.
Akan tetapi bagaimanapun juga harus tetap diperhatikan bagaimana selain suatu aturan dapat dibuat menurut tata aturan dalam konstitusi tetapi juga harus diperhatikan bagaimana cara para pembuat undang-undang membuat suatu undang-undang atau hukum yang ternyata tidak hanya selalu menyangkut masalah legislasi/pembuatan undang-undang tetapi juga masalah pengaturan kewenangan dan administrasi.


B.  TINGKATAN NORA HUKUM[13]
1.        Norma Superior dan Inferior
Adalah pembagian norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dimana pada prinsipnya norma yang lebih tinggi memiliki cakupan yang lebih luas namun berperan sebagai dasar bagi norma yang lebih rendah, dan sebaliknya norma yang lebih rendah umumnya mengatur atau memiliki ruang lingkup yang cenderung lebih sempit, memiliki substansi yang relatif lebih rinci, akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi karena justru norma yang lebih rendah harus dapat mengacu pada norma yang lebih tinggi.
2.        Tingkatan dalam Tata Hukum
a.  Konstitusi;
1).   Dalam arti Materiil, yang terdiri dari substansi aturan yang mengatur pembuatan norma-norma hukum umum yang lain.
2).   Dalam arti Formiil, artinya adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut ketentuan khusus dengan tujuan agar perubahan norma ini sulit dilakukan.
b.  Undang-undang dan Kebiasaan
Yaitu norma yang ditetapkan oleh para pembuat undang-undang/legislator, yang posisi aturan tersebut berada dibawah konstitusi, digunakan oleh badan/lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang itu yang pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan. Dan secara umum undang-undang dan kebiasaan memiliki dua fungsi yaitu (1) menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti; dan (2) menentukan tindakan yudisial dan administratif badan/lembaga tersebut.
c.  Hukum Substantif dan Ajektif
Adalah hukum materiil dan formiil dimana hukum materiil merupakan aturan, larangan atau perintah, sedangkan hukum formiil adalah seperangkat tata cara hukum untuk mempertahankan hukum materiil.
d.  Penentuan Organ Pelaksana Hukum oleh Norma Umum
Sesuai dengan prosedur dan isi dari fungsi yang dijalankan. Proporsi penentuan pelaksanaan atau pembuatan hukum, baik secara formal maupun material, ditentukan berbeda-beda. Materi konstitusi utamanya menentukan oleh organ mana dan melalui prosedur apa norma umum dibuat.
e.  Peraturan
Beberapa konstitusi juga memberikan kekuasaan pada organ administratif, khususnya kepala negara atau pelaksana eksekutif, pada kondisi yang tidak biasa menetapkan norma umum untuk mengatur masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui undang-undang.
f.  Sumber Hukum
Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.
g.  Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum
Pembuatan norma hukum adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma lebih rendah. Pembuatan hukum menurut konstitusi disebut juga Legislasi.
h.  Norma Individu Yang Dibuat Berdasarkan Norma Umum
Dari sudut pandang dinamis, norma individual yang dibuat oleh keputusan yudisial adalah suatu tahapan dalam suatu proses yang dimulai dengan penetapan konstitusi pertama, dilanjutkan dengan legislasi dan kebiasaan, dan menuju pada proses yudisial. Proses ini menjadi lengkap dengan eksekusi sanksi individual. Hukum undang-undang dan kebiasaan adalah produk setengah jadi yang diselesaikan hanya melalui keputusan pengadilan dan eksekusinya.

C.  Kedaulatan Hukum
Suatu teori tentang kedaulatan hukum memiliki atau merupakan kekuasaan yang tertinggi di dalam suatu negara. Baik penguasa maupun rakyat, dan bahkan negara itu sendiri semuanya patuh kepada hukum[14], baik hukum dalam tingkatan konstitusi (undang undang dasar) maupun hingga kepada tingkatan undang-undang yang lebih rendah bahkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Semua sikap tindak, dan tingkah laku harus sesuai dengan hukum, sehingga pada akhirnya hukum lah yang berdaulat.
Hukum pada dasarnya bukanlah selalu harus diterjemahkan atau diartikan hanya sebagai undang-undang saja, karena hukum tidak timbul dari kehendak negara, hukum memiliki karakter/kepribadian tersendiri, mandiri dan terlepas dari kehendak negara. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum itu dapat diberlakukan terhadap negara, sedangkan hukum itu sendiri terlepas dari negara? Dalam hal ini tiap-tiap individu mempunyai rasa hukum dan rasa hukum itu dapat berkembang menjadi kesadaran hukum.
Rasa hukum yang terdapat pada tiap-tiap individu di samping rasa-rasa lainnya, misalnya rasa kesusilaan, rasa keindahan dan sebagainya. Jadi kesadaran hukum itu adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia, bahkan hukum itu adalah salah satu bagian dari perasaan manusia.

D.  Konsep Negara Hukum
Secara garis besar ada dua konsep mengenai negara hukum. Konsep yang pertama adalah konsep negara hukum formal yang muncul bersamaan dengan negara “modern” yang dengan kekuasaan yang dimilikinya membuat peraturan untuk melindungi hak-hak warganya[15]. Tetapi dalam prakteknya kemudian, negara hukum seperti itu kurang terasa manfaatnya sehingga munculah konsep negara hukum kedua yaitu konsep negara hukum substansial yang pada dasarnya merupakan konsep negara hukum yang mencerminkan keadilan dan kebenaran objektif. Negara modern bertujuan, tidak saja melingsungi masyarakat terhadap kekuasaan negara, tetapi aktif meningkatkan martabat warga dalam bidang-bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Jika dibandingkan kedua konsep tersebut, maka negara hukum substansial lebih mengedepankan hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan konsep negara hukum formal hanya mementingkan perlindungan individu dan dituangkan dalam bentuk peraturan, prosedur, doktrin, dan sebagainya. Tentunya negara hukum formal tidak mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Konsep negara hukum formal lebih menonjolkan pembedaan status kewarganegaraan, sehingga tidak seluruh masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Konsep negara hukum selalu dikaitkan dengan pengertian “demokratis” sehingga kedua istilah tersebut kemudian digabungkan menjadi negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu sebenarnya hukum harus digunakan sebagai instrumen pengaturan mengenai kewenangan lembaga-lembaga negara, perwujudan HAM dan keadilan. Tidak semua negara hukum adalah negara demokratis. Karena pemerintahan monarkis pun taat kepada hukum. Tetapi demokrasi yang bukan negara hukum, bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, selain itu juga demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
Sebenarnya konsep negara hukum harus lebih dipahami sebagai suatu kondisi di dalam masyarakat yang mampu mengembangkan hukum dalam negara demokratis yang ditentukan oleh rakyat bagi pengaturan hubungan di antara sesama rakyat. Itu sebabnya ada salah satu perspektif penting di dalam sosiologi hukum yang harus dipahami dan diimplementasikan secara baik yaitu, bahwa undang-undang maupun konstitusi meruapakan konsensus dari beragam aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka norma-norma hukum yang harus diciptakan oleh para pembuat hukum atau pembentuk konstitusi, terutama yang mengatur pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara khususnya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, adalah norma-norma hukum yang memiliki landasan sosiologis yang kuat. Intinya adalah, bahwa norma-norma hukum tersebut harus dibuat dengan terlebih dahulu mendapat tanggapan dan masukan yang relevan dari berbagai lapisan masyarakat[16].
Pada negara hukum modern yang berkembang, umumnya telah memasukkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam konstitusi dan peraturan hukumnya dengan mengacu pada unsur-unsur negara demokratis yaitu:
1.        ada pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang dan peradilan;
2.        penyusunan pembentukan undang-undang secara demokratis;
3.        asas legalitas;
4.        pengakuan atas hak asasi manusia.
Secara lebih jauh asa legalitas adalah asa yang dipakai untuk menjami asas-asas lainnya, antara lain asas pembatasan kekuasaan pemerintahan dan hak-hak asasi. Dan juga adanya pengawasan pengadilan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh pelaksanan undang-undang (pemerintah), pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum.













DAFTAR PUSTAKA

Efendy, Marwan. Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum“. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2005
Fredmaan, W. “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan I“. Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990
Kelsen, Hans. General Theory Of Law And State” New York : Russel, 1961 dalam “Politik Hukum II”, dikumpulkan oleh Arinanto, Satya. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Pieris, John (dkk), “Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen“, Jakarta: Penerbit Pelangi Cendekia, 2007
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004)
*Tugas Perkuliahan Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Univ.Kristen Indonesia, Dosen Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.

[1] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004), hal.139
[2] Loc. cit.
[3] Loc. cit., hal 141
[4] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, (New York : Russel, 1961) dalam “Politik Hukum II”, dikumpulkan oleh Satya Arinanto (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004) hal.2
[5] Ibid, hal 3
[6] Ibid., hal 4
[7] Ibid., hal 5
[8] W. Fredmaan, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum-Susunan I, (Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 1990) hal.170.
[9] Ibid, hal 150
[10] Soehino,Op. cit..,  hal 141
[11] Soehino,Op. cit..  hal 141
[12] Marwan Efendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2005), hal.19
[13] Hans Kelsen, Op.cit. hal.15
[14] Soehino,Op. cit..  hal 156
[15] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Penerbit Pelangi Cendekia, 2007), hal 23
[16] Ibid. hal. 26

No comments:

Post a Comment

No SARA please..