Thursday, June 14, 2012

Nessun Dorma (None Shall Sleep)


Ternyata Nessun Dorma ini adalah lagu untuk final chapter dari opera berjudul Turandot. Turandot sendiri artinya Turan Daughter atau anak perempuan Turan, tapi di sini sih digambarkan dia adalah putri berhati dingin dari negeri Persia. Kisah ini katanya berasal dari kisah seribu satu malam gitu, terus diadaptasi jadi opera sama penggubah asal Italia bernama Giacomo Puccini.
Turandot adalah putri yang dingin, kabarnya nenek moyangnya dia berasal dari negeri China, seorang ratu yang berusaha menegakkan hak2 perempuan tapi malah mati diperkosa. Akhirnya ia menyimpan dendam tidak mau dinikahi siapapun, barang siapa ingin menikahinya harus menyelesaikan 3 teka-teki. Jika ada pria yang berhasil maka bisa menikahinya, tapi jika tidak akan dipenggal.



Pangeran tak dikenal bernama Calaf muncul saat baru saja ada pangeran yang dieksekusi. Terjadi keributan di kerumunan orang sehingga dia dihadapkan dengan putri Turandot. Seketika Calaf langsung jatuh cinta dan mendeklarasikan ingin ikut sayembara itu.

Semua orang membujuk agar Calaf mengurungkan niatnya, mengingat baru liat berapa detik aja dia langsung mau taruh nyawa, tapi Calaf bersikeras tetap ingin ikut. Kata2 ayahnya, budaknya, bahkan kata2 Kaisar--ayahnya Turandot--pun nggak didengarkan. Akhirnya Turandot pun mengajukan tiga teka-teki tersebut.

Ini nih yang bikin ak googling mati2an, pengen tau teka-tekinya apa, hihi:
1. "... What is born each night and dies each dawn?" - "Hope."
"... Apa yang lahir tiap malam dan mati tiap fajar?" - "Harapan."

2. "What flickers red and warm like a flame, but is not fire?" - "Sangue /Blood."
"Apa yang merah membara dan hangat seperti api, tapi tidak membakar?" - "darah."
(sumpah yang ini menurutku teka teki yang paling pintar) ;)

3. "What is the ice that makes you burn?" - "It is Turandot!"
"Es apa yang membuatmu terbakar?" - "Itu Turandot!"
(ini sih narsis putrinya --" kalo aku yg jawab aku bilang aja es kering hahah)

Si putri kesel karena Calaf bisa menjawab ketiganya. Ia bersujud sama ayahnya ngga mau menikah ama Calaf, tapi janji tetaplah janji. Calaf menawarkan satu kondisi, yaitu jika Turandot bisa menebak siapa namanya, Calaf bersedia dipenggal. Tapi jika tidak bisa maka Turandot harus tetap menikah dengannya.

Pada saat Calaf menyatakan syarat itulah, dia menyanyikan Nessun Dorma (None Shall Sleep). Yaitu, Turandot tidak boleh tidur karena harus menebak namanya dalam satu malam. Lagunya bikin merinding, bahkan judulnya aja bikin leher terasa berdarah, huhu.

"Nessun dorma! Nessun dorma! Tu pure, o Principessa, nella tua fredda stanza, guardi le stelle che tremano d'amore, e di speranza!"
( "Tidak ada yang boleh tidur! Tidak ada yang boleh tidur! Termasuk kau, oh Putri, di dalam kamarmu yang sejuk, saat kau melihat bintang-bintang yang bergetar oleh cinta dan harapan.")
"Ma il mio mistero è chiuso in me; il nome mio nessun saprà! No, No! Sulla tua bocca lo dirò quando la luce splenderà!"
("Rahasiaku tersembunyi jauh dalam diriku, tak akan ada seorangpun yang tahu namaku..Tidak! Tidak! (Rahasiaku) Akan kuberitahu di bibirmu ketika esok datang.")
"Ed il mio bacio scioglierà il silenzio che ti fa mia!"
("Dan ciumanku akan melarutkan keheningan yang akan membuatmu jadi milikku!")
Turandot menjerit:
"Il nome suo nessun saprà... E noi dovrem, ahimè, morir, morir!"
("Tidak ada yang tau namanya... dan kita harus mencari tahu, atau, mati, mati!")
Calaf membalas penuh kemenangan:
"Dilegua, o notte! Tramontate, stelle! Tramontate, stelle! All'alba vincerò! Vincerò! Vincerò!"
("Lenyaplah, oh malam! Menghilanglah, bintang! Menghilanglah, bintang! Saat fajar aku akan menang! Aku akan menang! Aku akan menang!")
Turandot mengancam seisi negeri untuk mencari tau nama Calaf, kalau enggak mereka akan dibunuh. Dia bahkan menyiksa budaknya Calaf yang bernama Liu, tapi Liu nggak mau memberi tahu hingga akhirnya Liu, yang jatuh cinta pada Calaf, bunuh diri.

Calaf berang dan menyebut Turandot sebagai Putri Kematian. Ia mencium Turandot lalu menawarkan perdamaian, bahkan menawarkan Turandot untuk memenggalnya jika ia mau.

Source : http://superrayna.blogspot.com/2010/08/turandot-nessun-dorma.html

Tuesday, June 12, 2012

KUMPULAN YURISPRUDENSI


  1. Putusan MA-RI No. 1043.K /Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 :
Pelaksanaan putusan hakim harus menunggu sampai seluruh putusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, meskipun salah satu pihak (i.c. Tergugat asal III) tidak naik banding atau kasasi ;
  1. Putusan MA-RI No. 1038.K /Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 :
Perkara ini merupakan perkara bantahan terhadap eksekusi perkara No. 91a/Pdt/SG/1964, maka yang harus diperiksa hanyalah eksekusinya saja dan bukan materi pokoknya ;
  1. Putusan MA-RI No. 125.K /Sip/1973, tanggal 10 Juni 1975 :
Bantahan (perlawanan) yang diajukan untuk ke dua kalinya yang pada waktu itu bantahan yang pertama masih dalam taraf banding, harus dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak ;
  1. Putusan MA-RI No.954.K /Sip/1973, tanggal 19 Februari1976 :
Dengan mengabulkan bantahan yang diajukan pada tanggal 26 November 1964 atau eksekusi yang telah berlangsung pada tanggal 21 Mei 1960 ;
Judex-facti telah menempuh acara yang salah, sebab eksekusi telah berlangsung, atau sebenarnya eksekusi semu, karena barang sengketa dari semula telah dikuasai oleh pihak yang berwenang ; seharusnya pembantah (pelawan eksekusi) mengajukan gugatan biasa (baru) ;
  1. Putusan MA-RI No. 1237.K /Sip/1975, tanggal 3 Mei 1979 :
Keberatan yang diajukan oleh penggugat untuk kasasi bahwa perlawanan seharusnya ditolak karena putusan pengadilan Negeri yang dilawan itu telah di eksekusi ;
Tidak dapat di benarkan, karena perlawanan terhadap suatu putusan dimungkinkan ;
  1. Putusan MA-RI No. 697.K /Sip/1974, tanggal 31 Agustus 1977 :
Keberatan mengenai pelelangan seharusnya diajukan sebagai perlawananterhadap Eksekusi, sebelum pelelangan dilaksanakan ;
  1. Putusan MA-RI No. 1205.K /Sip/1973, tanggal 7 September 1976 :
    1. Yang disita (penyitaan aksekusi) oleh Pengadilan Negeri Bandung No.138/1969 Sipil, tanggal 3 Maret 1971 adalah sebuah rumah berikut bengkel di Jl. A. Yani No. 418.
·         Meskipun berdasarkan hukum barat tanah dan rumah diatasnya disebut "onroerend goed", hal ini tidak berarti bahwa secara hukum tidak dapat diadakan pemisahan antara tanah dan rumah diatasnya. Sitaan terhadap rumah tidak berarti termasuk tanahnya secara hukum, melainkan harus tegas dinyatakan sitaan atas tanah dan rumah yang berada diatasnya ;
  • Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum, karena mengambil kesimpulan hukum bahwa pembantah mengetahui benar keadaan barang sengketa sebelum dibelinya tanpa memberikan alasan-alasan hukumnya ;
  • dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi terdapat suatu kontradiksi karena setelah mempertimbangkan tanah dan rumah tidak terpisahkan oleh suatu hak apapun, kemudian berpedapat bahwa terhadap rumah sengketa saja penggugat untuk kasasi adalah pembantah yang tidak baik ;
  1. Putusan MA-RI No. 1038.K /Sip/1972, tanggal 1 Agustus 1973 :
  • Terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diadakan permohonan banding
  • Bila putusan Pengadilan Negeri telah mempunyai kekuatan pasti, maka terhadap perkara itu tidak mungkin diadakan putusan perdamaian lagi, oleh karena mana putusan perdamaian itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial ;
  1. Putusan MA-RI No. 1243.K /Pdt/1984, tanggal 27 Februari 1986 :
Penetapan ketua Pengadilan Negeri jakarta Timur untum menangguhkan pelaksanaan eksekusi adalah merupakan tindakan kebijaksanaan ketua Pengadilan Negeri tersebut, karena di anggap telah terjadi suatu kekeliruan dalam penetapan eksekusi berhubung telah ada penetapan sebelumnya mengenai insolventie dan vrijwaring dari para termohon kasasi ;
Keberatan penangguhan eksekusi harus diajukan dalam bentuk pengaduan dalam rangka pengawasan terhadap jalannya peradilan kepada ketua pengadilan tinggi selaku kawal depan Mahkamah Agung, jadi bukan dalam bentuk permohonan kasasi seperti sekarang ;
Pasal 4, 22, 24 Undang-Undang Failisemen.
SE-MA No.2/1984 Pengadilan Tinggi Sebagai voorpost Mahkamah Agung.
  1. Putusan MA-RI No.2539.K /Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Perlawanan pihak ke 3 terhadap eksekusi.
Eksekusi terhasap kekayaan daerah tidaklah wajar.
Pemda sebagai pemilik harta kekayaan tidak pernah diikut sertakan sebagai pihak.
Karena dari Undang-Undang No.5 Th 1962 pasal 3 jo. Pasal 4 ternyata PD. Pamca karya adalah badan hukum dan menurut peraturan daerah Tingkai I maluku No. 5/DPR-GR/1963 Pasal 16 (1) Direksi mewakili perusahaan daerah di dalam dan di luar pengadilan, lagi pula perlawanan oleh pihak ketiga hanya dapat diajukan terhadap penyitaan, sedangkan dari putusan Pengadilan Tinggi Ambon No.65/1979/Pdt/PT mal. Tak terdapat adanya bahan bangunan yang harus di eksekusi; pasal 3 jo. 4 ayat (2) UU No. 5/1962
  1. Putusan MA-RI No.10.K/Pdt/1984, tanggal 31 Agustus 1985 : Pelawan adalah isteri Tergugat dalam putusan Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung yang dilawan. Perlawanannya dinyatakan tidak dapat diterima;
  2. Putusan MA-RI No.3939.K/Sip/1975, tanggal 2 Pebruari 1980 :
Sanggahan oleh pihak ke-III diluar pihak-pihak dalam perkara yang putusannya telah selesai dilaksanakan, menurut praktek Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, pada azasnya harus diadakan dalam bentuk gugatan dan tidak dalam abentuk bantahan/sanggahan/verzet;
  1. Putusan MA-RI No.1281.K/Sip/1979, tanggal 23 April 1981 :
Bantahan terhadap Eksekusi, yang diajukan setelah eksekusi itu dilaksanakan, tidak dapat diterima;
  1. Putusan MA-RI No.763.K/Sip/1977, tanggal 10 Mei 1979 :
Gugatan terhadap pihak yang memegang barang sengketa berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi, dapat saja diterima dan dipandang sebagai suatu perkara baru;
  1. Putusan MA-RI No.2539.K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Sita terhadap barang-barang milik Negara
  • Pada azasnya benar, suatu putusan berlaku bagi para pihak sehingga pihak ketiga yang tidak ikut digugat tidak wajib melaksanakan putusan tersebut (tidak mempunyai kekuatan) eksekutorial bagi pihak ketiga yang tidak ikut digugat);
  • Hal lain yang penting adalah bahwa pada prinsip barang-barang milik Negara tidak dapat dikenakan Sita Jaminan/Sita Eksekusi, karena barang-barang milik Negara dipakai untuk melaksanakan tugas kenegaraan (kutip dari buku OUDELAAR).
    • Sedangkan Pasal 65, 66 ICW menyatakan bahwa sitaan atas barang-barang milik Negara tidak diperkenankan kecuali atas izin Mahkamah Agung.
    • Sedangkan selanjutnya Pasal 66 ICW menyatakan bahwa barang-barang milik Negara yang karena sifatnya atau tujuannya bersifat atau dengan Undang-undang/Peraturan ditentukan sebagai tidak dapat dikenakan sita, tidak disita;
  • Dengan demikian dalam hal penyitaan barang-barang milik Negara, harus diteliti dulu apakah barang milik Negara tersebut, termasuk barang yang dapat dikenakan sita atau tidak menurut ICW;

YURISPRUDENSI :PUTUSAN PROVISIONIL
  1. Tuntutan/putusan Provisionil tidak boleh mengenai pokok <sengketa> perkara <Bodem Geschil> dan jika begitu harus dinyatakan tidak diterima <putusan Putusan MA-RI No. 1070.K/Sip/1972, tanggal 7 mei 1973 dan No.279.K/Sip/ 1976, tanggal 5 Juli 1977>.
  2. Putusan MA-RI No. 1738.K /Sip/1976 :
Putusan Provisi dalam perkara ini seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunandan penghukuman untuk membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara);
  1. Putusan MA-RI No. 140.K /Sip/1974, tanggal 18 November 1975 :
Karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam putusan pokok perkara ;
  1. Putusan MA-RI No.279.K /Sip/1976, tanggal 5 Juli 1977 :
Permohonan provinsi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak ;
  1. Putusan MA-RI No. 1051.K /Sip/1974, tanggal 12 Februari 1976 :
Karena pelaksanaan putusan ini berwujud suatu pembongkaran, maka demi penghati-hati agar dikemudian hari tidak repot bila putusan ini diubah, maka khusus amar ke 7 dari putusan Pengadilan negeri yang berisi penetapan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan (vitvoerbaar bij voorraad) perlu di batalkan ;


YURISPRUDENSI VERZET
1.    Putusan MA- RI No.52.K/Sip/1972 :
Perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tersebut tidak diperikasa dan diputuskan sebagai perkara baru;
  1. Putusan MA-RI No.838.K/Sip/1972 : tanggal 10 September 1975 :
Dalam hal yang digugat lebih dari seorang dan seorang dari tergugat-tergugat ini tidak menghadap sekalipun telah dipanggil dengan sepatutnya, perkara yang bersangkutan haruslah diputus terhadap semua pihak dengan satu putuan, sedang terhadap putusan ini tidak dapat diajukan perlawanan (verzet);
  1. Putusan MA-RI No.838.K/Sip/1972, tanggal 10 September 1975 :
Putusan Verstek adalah tidak tepat, karena pemanggilan tergugat belum sempurna, ialah mengingat, karena tergugat tidak ada ditempat; pada tanggal 19 juli 1970 istri tergugat memberitahukan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri bahwa tergugat bertugas ke Bandung damn ia mohon supaya sidang diundur dan pada tanggal 21 Juli 1970 Wakil Komandan Denmas Kodam II Bukit Barisan memberitahukan bahwa tergugat ke Bandung dan mohon supaya sidang diundurkan;
  1. Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1971, tanggal 13 September 1972 :
Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena :
  • Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan verstek, yang mestinya adalah suatu putusan atas bantahan ("Contradictoir");
  • Kemudian diajukan "Verzet" terhadap putusan tersebut, atas mana diberikan putusan lagi oleh Pengadilan Negeri, sedang mestinya terhadap putusan pertama tersebut diajukan banding;
Di dalam mengadili sendiri, mestinya MA-Ri harus menyatakan Verzet tersebut diatas tidak dapat diterima, namun putusan yang demikian akan menimbulkan kesulitan dalam memulihkan hak banding penggugat untuk kasasi/penggugat asal;
Mengingat :
  1. Isi putusan verstek dan putusan atas verzet adalah sama, kecuali bahwa jumlah uang paksa menjadi Rp. 500,-;
  2. Apabila Pengadilan Tinggi memutus perkara ini dalam banding terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri pertama kali (yang secara keliru dinamakan putusan verstek), maka pengadilan Tinggi akan memeriksa lagi putusan yang sama;
  3. Putusan Pengadilan Tinggi sudah tepat dan adil ; Mahkamah Agung akan memberi putusan seperti tertera dibawah : (tidak berisi pernyataan verzet yang bersangkutan tidak dapat diterima);
  1. Putusan MA-RI No.713. K/Sip/1974, tanggal 29 Oktober 1975 :
Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
  • Menerima perlawanan pelawan Bunasi alias Bok Sarinten tersebut ;
  • Menolak perlawanan pelawan dalam keseluruhan ;
  • Menghukum pelawan untuk membayar biaya perkara ;
Adalah kurang tepat , dan perlu di perbaiki sehingga seluruh amarnya berbunyi sebagai berikut :
  • Menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan verstek tanggal 23 November 1970 No.26/1970 Pdt, tidak tepat dan tidak beralasan ;
  • Menyatakan oleh karena itu bahwa pelawan adalah pelawan yang tidak benar ;
  • Mempertahankan putusan verstek tanggal 23 November 1970 No. 26/1970 Pdt ;
  • Menghukum pelawan, tergugat semula, untuk membayar biaya perkara
  1. Putusan MA-RI No.307.K/Sip/1975, tanggal 2 September 1976 :
Perlawanan terhadap putusan verstek, tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru ;
  1. Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1971, tanggal 2 September 1972 :
Pengadilan Negeri telh memberikan putusan yang bersifat "verstek", padahal seharusnya putusan tersebut bersifat atas bantahan (contradictoir) ;
Bantahan (verzet) terhadap putusan yang bersifst "verstek" tersebut telah diterima oleh Pengadilan Negeri, dan diperiksa serta diputusjkan sebagai perkara bantahan terhadap putusan verstek, sedangkan upaya hukum terhadap putusan yang bersifat contradictour adalah banding;
  1. Putusan MA-RI No.938.K/Pdt/1986, tanggal 30 Juli 1987 :
Judex-facti salah menerapkan hukum karena pemriksaan verzet hanya berkisar pada penilaian tepat atau tidaknya alasan ketidak hadiran tergugat memenuhi panggilan dan menyatakan verzet tidak beralasan ;
Hal ini adalah keliru karena sesuai ketentuan hukum, apabila syarat formil dapat diterima , maka Pengadilan Negeri wajib memeriksa kembali gugatan semula ;
Pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 HIR/Pasal 149 ayat (3) jo. Pasal 153 RBg.
Pasal 129 ayat (2) HIR/Pasal 153 ayat (2) RBg.
  1. Putusan MA-RI No.4069.K/Pdt/1985, tanggal 14 Juli 1987 :
Terlepas dari keberatan-keberatan kasasi putusan pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri harus dibatalkan, karena judex-facti tidak salah menerapkan hukum acara tentang putusan verstek.
Tergugat yang dihukum secara verstek boleh mengajukan perlawanan atas putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya, dalam jangka waktu 14 hari sesudah putusan diberitahukan padanya.
Jika pemberitahuan putusan itu tidak disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke 8 sesuah ada teguran ;
Penggugat tidak mengajukan bukti, maka gugatan yang dikabulkan hanya terbatas jumlah yang diakui tergugat asal saja, yaitu Rp. 600.00,- dengan bunga 6% setahun sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri ;
Karena yang diakui tergugat asal hanya sejumlah RP. 600.00, maka kwitansi tersebut hanya bernilai sebagai permulaan pembuktian, kwitansi yang menyatakan tergugat asal telah menerima uang RP. 2.000.000,- ternyata tidak ditulis sendiri atau setidak-tidaknya jumlah utang tidak ditulis sendiri oleh tergugat ;
Pasal 153 ayat (1), (2), (3); 207, 291 ayat (1) RBg dan Pasal 1250 BW jo. 1902 BW;
  1. Putusan MA-RI No.524.K/Sip/1975, tanggal 20 Februari 1980 :
Verzet terhadap putusan verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara , tidak boleh pihak ketiga ;
  1. Putusan MA-RI No.2146.K/Pdt/1986, tanggal 21 November 1990 :
Perlawanan terhadap putusan verstek.
Dalam hal perlawanan terhadap puusan verstek formil dpat diterima , gugatan semula harus diperiksa kembali dengan para pihak tetap pada kedudukan aslinya. Terlawan tetap sebagai penggugat dan pelawan tetap sebagai tergugat.
Putusan yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang mengadili, kompetensi absolut ataupun relatif, dianggap sebagai putusan akhir (Eindvonnis), sehingga boleh dibanding . Pasal 190 HIR/201 RBg-pasal 9 Undang-Undang No.20 Th, 1947


YURISPRUDENSI TENTANG PUTUSAN BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP.
  1. Putusan MA – RI No. 1036.K/Sip/1971, tanggal 11 November 1975 :
Keberatan yang diajukan Penggugat untuk kasisi : bahwa oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri telah disahkan putusan Raad van Justitie Padang, tanggal 30 Oktober 1941 yang belum berkekuatan mutlak (belum berkekuatan hukum tetap), karena belum diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara dulu (antara si Atas dan si Kirom gelar Marahanda); kedua pihak masih berhak mengajukan kasasi atas putusan Raad van Justitie tersebut;
Tidak dapat dibenarkan, karena :
  • Bahwa seandainya dianggap bahwa kasasi terdapat putusan Raad van Justite Padang No. 60/1941 tersebut masih dapat di lakukan, pemeriksaan kasasi kemungkinan besar tidak akan ada manfaatnya, karena setelah lewat waktu 30 tahun lebih dengan sendirinya situasi hukum nya sudah tidak sesuai dengan posita/fundamentum petendi dari gugatan aslinya ;
  • bahwa judex facti tidak mengadakan pemeriksaan baru dari permulaan adalah tepat, sehingga sebenarnya gugatan hanya merupakan permohonan untuk melaksanakan putusan; yang diperiksa ialah apakah barang-barang yang disengketakan masih ada dan siapa yang bertanggung jawab terhadap barang tersebut;
  1. Putusan MA-RI No.1549..K/Sip/1974, tanggal 18 maret 1976 : Bahwa ternyata penggugat asal mendsarkan haknya atas sawah sengketa pada putusan pengadilan negeri Sigli No.286/1956 yang sekarang dalam taraf banding, yang walaupun di nyatakan putuan dapat dijalankan lebih dulu (= putusan serta merta) namun belum dilaksanakan (di eksekusi);
  2. Putusan MA-RI No.665. K/Sip/1971, tanggal 15 Desember 1971:
Dalam mempertimbangkan sesuatu perkara dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum jelas apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang tepat untuk dipakai sebagai dasar dalam mengambil putusan ;
  1. Putusan MA-RI No.345.K/Sip/1973, tanggal 12 Desember 1973:
Bahwa perkara yang sekarang diajukan ini sebenarnya merupakan sngketa mengenai pelaksanaan (Eksekusi) N0.201/1966 yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti dalam mana para pihak tidak sepakat mengenai nilai uang yang harus dibayarkan;
Meskipun adalah lebih tepat apabila Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung memberikan tafsirannya mengenai berapa yang harus dibayar sebagai pelaksanaan putusan No.201/1966 tersebut, tetapi cara yang di tempuh sekarang dengan mengajukan "gugatan baru" juga tidak bertentangan dengan hukum acara;
Eksepsi tersebut lebih dulu dan kalau eksepsi tersebut ditolak, pokok perkaranya diperiksa terus dan diputus. Jika gugatan diterima dan diputus dengan Verstek, maka tergugat boleh mengajukan Verzet (perlawanan), Ps.129 HIR/153 RBg.
  • Perlawanan (Verzet) dapat di ajukan, ps.129 HIR/153 RBg :
1.      Jika putusan verstek tersebut diberitahukan langsung kepada tergugat, verstek diajukan 14 hari setelah diberitahukan atau :
2.      Jika tidak diberitahukan langsung kepada tergugat, verzet diajukan pada hari ke 8 sesudah tegoran atau : sesudah dipanggil secara sah (patut) tetapi tergugat tidak datang yaitu hari ke 8 sesudah eksekusi, sesuai Ps.197 HIR/206 RBg;
Jika pada waktu verzet itu tergugat tidak hadir lagi untuk kedua kali, maka tidak ada lagi putusan verstek, dan gugatan verzet tersebut tidak dapat diterima.
Terhadap putusan verstek tak dapat banding tetapi harus verzet dan terhadap putusan verzet tersebut boleh diajukan banding;
Tetapi jika atas putusan verstek itu, penggugat minta banding lebih dulu diperbolehkan dan tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan putusan verstek tersebut diputuskan terlebih dulu oleh Pengadilan Tinggi : pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.20 tahun 1947/200 RBg. Pasal 8 ayat (1) UU No.20 Th. 1947/Pasal 200 RBg tersebut kontroversial, tanpa hak-hak dan kewajiban yang sama, dan merugikan tergugat. Sebaiknya tidak masuk dalam RUU Hukum Acara Perdata nantinya.


YURISPRUNDENSI KEKUATAN PEMBUKTIAN PUTUSAN
  1. Putusan MA-RI No.199.K/Sip/1973, tanggal 27 Nopember 1975 :
Suatu putusan Hakim Pidana mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dalam perkara Perdata, baik terhadap orang yang dihukum pada putusan Hakim Pidana maupun terhadap pihak ketiga, dengan membolehkan adanya pembuktian perlawanan (bukti balasan);
  1. Putusan MA-RI No.102.K/Sip/1972, tanggal 23 Juli 1973 :
  • Apabila dalam perkara baru ternyata pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus lebih dulu, maka tidak ada "Ne bis in Idem";
  • Prinsip yang terkandung dalam Ps. 1920 BW yakni bahwa putusan Pengadilan mengenai status seseorang berlaku penuh terhadap setiap orang dianggap juga berlaku dalam Hukum Adat, karena prinsip demikian itu ada hakekatnya melekat pada setiap putusan Pengadilan yang berisikan penentuan tentang status (perdata) seseorang; Oleh karena itu putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menetapkan bahwa Tergugat dalam kasasi adalah "Anak Angkat" dari almarhum BHH. Fatimah berlaku pula dalam perkara ini;
  • Karena mengenai status dalam perundang-undangan tidak terdapat suatu prinsip seperti tersebut dalam Ps. 1920 BW, maka dengan penafasiran a contrario itu berarti bahwa putusan Pengadilan yang tidak mengenai status orang tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan pada azasnya hanya berlaku/mempunyai kekuatan pembuktian sempurna terhadap pihak-pihak yang berperkara itu, kekuatan pembuktian dari putusan Pengadilan tersebut tergantung pada penilaian Hakim, yang dapat menilainya sebagai pembuktian sempurna atau pembuktian permulaan;

YURISPRUDENSI BUKTI SUMPAH
  1. Menurut Yurisprudensi : Dalam hal sumpah tambahan ataupun sumpah pemutusan tidak disyaratkan harus perbuatan yang ia lakukan sendiri/dialami sendiri dan tidak harus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan secara pribadi. Pasal 1932-1939 BW : Tidak berlaku bagi sumpah tambahan;
  2. Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967 :
Sumpah suppletoir yang telah diucapkan dan dipertimbangkan dalam putusan Pengadilan Negeri walaupun tidak dimuat dalam Berita Acara dianggap telah diucapkan;
  1. Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967, tanggal 2 Juni 1971 :
Pengangkatan sumpah harus dilakukan oleh yang bersangkutan sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain meskipun ahli waris, kecuali apabila ada Surat Kuasa Khusus untuk itu;
  1. Putusan MA-RI No.809.K/Sip/1973, tanggal 18 Maret 1976 :
Untuk sumpah Tambahan (Suppletoir), lain daripada untuk sumpah decisior, tidak diisyaratkan harus berkenan dengan perbuatan yang dilakukan sendiri oleh orang yang disumpah;
  1. Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967, tanggal 2 Juni 1971 :
Karena sumpah suppletoir yang telah diucapkan yang bersangkutan tidak secara formal dimuat dalam Berita Acara Persidangan Pengadilan Negeri, haruslah diperintahkan agar pengucapan sumpah tersebut diulangi lagi;
  1. Putusan MA-RI No.324.K/Sip/1973, tanggal 9 Juli 1973 :
Sumpah tambahan (suppletoir) yang mengenai hal-hal yang tidak dialami sendiri oleh yang bersumpah, adalah tidak sah;
  1. Putusan MA-RI No.18.K/Sip/1975, tanggal 29 April 1976 :
Sumpah suppletoir yang dibebankan kepada Penggugat asal untuk membuktikan bahwa yang mempunyai hak milik atas harta sengketa adalah almarhum Pak Mertokromo adalah salah, karena hal tersebut bukanlah fakta-fakta yang ia alami sendiri;
  1. Putusan MA-RI No.200.K/Sip/1974, tanggal 15 April 1976 :
Oleh karena Tergugat-Pembanding (Tolong Karo-karo) telah meninggal dunia, maka sumpah tambahan (Suppletoir) yang akan diucapkan Tergugat-Pembanding dalam Putusan Sela Pengadilan Tinggi tanggal 25 Juli 1970 No. 528/1967 dibebankan kepada seluruh ahli warisnya yaitu dengan mengingat Ps. 185 HIR;
  1. Putusan MA-RI No.104.K/Sip/1952, tanggal 17 Desember 1953 :
Perjanjian simpan menyimpan mempunyai 2 anasir :
    1. Bahwa pemberi simpan adalah yang berhak atas barang-barang yang bersangkutan;
    2. Bahwa memang ada perjanjian simpan-menyimpan;
Dengan telah terbuktinya Penggugat asli sebagai yang berhak atas "Grant" tersebut pembebanan sumpah tambahan (suppletoir) kepada Penggugat-asli ini tidaklah melanggar Pasal 182 RBg;
  1. Putusan MA-RI No.316.K/Sip/1974, tanggal 25 Maret 1976 :
Syarat pembebanan sumpah Suppletoir ialah harus ada permulaan pembuktian dari yang bersangkutan, sedang disini ternyata permulaan pembuktian tidak ada sama sekali, sebab saksi pertama dari pihak Penggugat-asal, Halimah, yang mula-mula di dengar sebagai saksi kemudian dijadikan Penggugat asal III (Voeging) sehingga ia mempunyai kepentingan dalam perkara ini dan Penggugat asal I, Saleha, yang melakukan sumpah Suppletoir itu, masih di bawah umur sewaktu terjadi peristiwa pengambilan perhiasan-perhiasan itu oleh Tergugat-asal I: Di samping itu Hakim Pengadilan Negeri sendiri dalam pertimbangannya meragukan tentang pembebanan sumpah suppletoir kepada Penggugat asal adalah tidak tepat;
  1. Putusan MA-RI No.898.K/Sip/1974, tanggal 13 Juli 1978 :
Cara pembuktian yang dilakukan Pengadilan Negeri dalam perkara ini adalah tidak tepat, karena sumpah tambahan (suppletoir) yang dibebankan kepada Penggugat berisikan kata-kata yang seolah-olah menunjukkan telah dibelinya tanah sengketa padahal justru dengan sumpah itulah akan dibuktikan ada tidaknya jual-beli yang bersangkutan;
  1. Putusan MA-RI No.39.K/Sip/1951, tanggal 31 Juli 1952 :
Pengadilan Tinggi yang telah menolak permintaan Penggugat asal/Pembanding agar pihak lawan disumpah, dengan alasan karena dengan adanya sumpah telah cukup alasan untuk menolak dakwa;
Telah melanggar Pasal 156 (1) HIR, maka putusannya harus dibatalkan dengan diperintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk memberi kesempatan kepada Tergugat asal/Terbanding mengangkat sumpah dan apabila sumpah ditolak, untuk memberi kesempatan kepada Penggugat asal/Pembanding mengangkat sendiri sumpah termaksud;
  1. Putusan MA-RI No. 1015.K/Sip/1972, tanggal 30 Juli 1974 :
Bahwa untuk membuktikan bahwa dia betul-betul telah menerima barang-barang sengketa tersebut di atas dari MONAH secara hibah, Tergugat I sudah melaksanakan sumpah Mimbar (Decisior) yang dikenakan kepadanya;
Bahwa sumpah Mimbar tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang hal bahwa dia, Tergugat I, telah menerima langsung dari MONAH barang-barang tersebut, tetapi tidaklah tentang hal bahwa harta itu milik asal dari MONAH seluruhnya;
Keberatan yang diajukan dalam kasasi : bahwa Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan Pasal 156 HIR karena memandang bahwa sumpah Mimbar (sumpah Decisior) dipakai tidak untuk menentukan selesainya perkaral tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI;
  1. Putusan MA-RI No.575.K/Sip/1978, tanggal 4 Mei 1976 :
Permohonan sumpah decisior (sumpah penentu, sumpah mimbar, sumpah pemutus) hanya dapat dikabulkan kalau dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti;


YURISPRUDENSI BUKTI PERSANGKAAN
  1. Putusan MA-RI No.991.K/Sip/1975, tanggal 24 Juli 1958 :
Dugaan (Persangkaan) Pengadilan Tinggi tentang adanya hubungan dagang tersebut, tidak sesuai dengan dugaan/persangkaan yang dibolehkan oleh Undang-Undang karena Pengadilan Tinggi hanya mendasarkan dugaan/persangkaan tersebut pada keterangan-keterangan saksi yang tidak sempurna dan pula saksi-saksi tersebut memberi keterangan tidak di bawah sumpah;
  1. Putusan MA-RI No.308.K/Sip/1959, tanggal 11 Nopember 1959 :
"Testimonium De Auditu" tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai "Persangkaan", yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang;


YURISPRUDENSI BUKTI PENGAKUAN
    1. Putusan MA-RI No.8.K/Sip/1957, tanggal 28 Mei 1958 :
    Tentang pengakuan yang tidak terpisahkan ("Onsplitbaar Aveau").
    Penggugat-asli menuntut kepada Tergugat-asli penyerahan sawah sengketa kepada Penggugat-asli bersama kedua anak-anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah budel warisan dari Marhum suaminya yang kini dipegang oleh Tergugat-asli tanpa hak; yang atas gugatan tersebut Tergugat-asli menjawab, bahwa sawah itu kira-kira 15 tahun yang lalu sudah dibeli plas (lepas) dari Penggugat-asli oleh Marhum suami Tergugat-asli.
    Jawaban Tergugat-asli tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar Aveau), maka sebenarnya Penggugat-aslilah yang harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, i.e. bahwa sawah sengketa adalah milik Marhum suaminya;
  1. Putusan MA-RI No. 272.K/Sip/1973, tanggal 27 Nopember 1975 :
Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (= pengakuan yang terpisah-pisah) ialah, bahwa dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, Hakim bebas menentukan untuk pada siapa dibebankan kewajiban pembuktian;
  1. Putusan MA-RI No.288.K/Sip/1973, tanggal 16 Desember 1975 :
Berdasarkan yurisprudensi tetap mengenai hukum pembuktian dalam Acara, khususnya Pengakuan, Hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai tidak mutlak karena diajukan tidak sebenarnya; Hal bilamana terdapat suatu pengakuan yang diajukan tidak sebenarnya merupakan wewenang Judex facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi; i.e. Pengadilan Tinggi mempertimbang-kan : bahwa pengakuan Tergugat I/turut terbanding, yang memihak pada para Penggugat/Terbanding, tidak disertai alasan-alasan yang kuat (met Redenen Omkleed) maka menurut hukum tidak dapat dipercaya;
  1. Putusan MA-RI No.117.K/Sip/1956, tanggal 12 Juni 1957 :
Pengakuan dengan tambahan.
Dalam hal pengakuan disertai tambahan yang tidak ada hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan yurisprudensi dinamakan "Gekwalificeerde bekentenis", pengakuan dapat dipisahkan dari tambahannya;
  1. Putusan MA-RI No.22.K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1976 :
Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, Hakim bebas untuk mennetukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian;


YURISPRUDENSI ALAT BUKTI SAKSI
  1. Putusan MA-RI No.191.K/Sip/1962, tanggal 10 Oktober 1962 :
Berapa banyak Saksi Ahli yang harus didengar dan penilaian atas keterangan saksi terserah kepada kebijaksanaan Hakim yang bersangkutan dan hal ini tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi;
  1. Putusan MA-RI No.213.K/Sip/1955, tanggal 10 April 1957 : Bagi Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak ada keharusan untuk mendengar seorang Saksi Ahli berdasarkan Ps. 138 ayat (1) jo. Ps. 164 HIR;
Penglihatan Hakim di sidang tentang adanya perbedaan antara dua buah tangan- tangan dapat dipakai oleh Hakim sebagai pengetahuannya sendiri dalam usaha pembuktian;
  1. Putusan MA-RI No.300.K/Sip/1973, tanggal 10 April 1973 :
Saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146 ayat (1) HIR, sedang saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri;
  1. Putusan MA-RI No.140.K/Sip/1974, tanggal 6 Januari 1976 :
Bekas suami menurut Hukum Acara yang berlaku (pasal 172 RBg) tidak boleh di dengar sebagai saksi;
  1. Putusan MA-RI No.84.K/Sip/1975, tanggal 25 Juni 1973 :
Persaksian dari ibu tiri, sesuai dengan Pasal 145 ayat (1) HIR harus dikesampingkan;
  1. Putusan MA-RI No.1409.K/Sip/1975, tanggal 12 Mei 1976 :
Bahwa Pengadilan Negeri telah memeriksa HM. Tohir selaku saksi di luar sumpah dengan alasan saksi ini kakak kandung Penggugat/Terbanding;
Bahwa berdasarkan Pasal 145 ayat (4) HIR Pengadilan dapat memeriksa seorang saksi di luar sumpah terhadap anak-anak yang umurnya tidak dapat diketahui benar sudah cukup 15 tahun atau orang gila yang kadang-kadang ingatannya terang;
Bahwa terhadap H.M. Tohir tesebut seharusnya diterapkan ketentuan Pasal 146 ayat (1) sub 1 HIR;
Bahwa oleh karena itu keterangan HM. Tohir itu tidak mempunyai kekuatan bukti menurut Undang-Undang;
  1. Putusan MA-RI No.90.K/Sip/1973, tanggal 29 Mei 1975 :
Karena keterangan-keterangan dari Ambu Samilin diberikan tidak dibawah sumpah, keterangan-keterangan tersebut hanya dinilai sebagai petunjuk untuk menambah keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah lainnya.
  1. Putusan MA-RI No.218.K/Sip/1956, tanggal 12 Juni 1957 :
Tidak ada keberatan menurut hukum untuk meluluskan permintaan salah satu pihak agar kuasa dari lawannya di dengar sebagai saksi;
  1. Putusan MA-RI No.731.K/Sip/1975, tanggal 16 Desember 1976 :
Dalam Berita Acara sidang pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat, diperiksa 2 (dua) orang saksi secara bersama-sama dan sekaligus;
·         Hal ini adalah bertentangan dengan Pasal 144 ayat (1) RID (salah menerapkan hukum) sehingga kedua keterangan saksi tersebut tidak dapat dipergunakan;
·         Ration dari Pasal 144 ayat (1) RID ialah agar kedua saksi tak dapat menyesuaikan diri dengan keterangan masing-masing, sehingga diperoleh keterangan saksi yang obyektif dan bukan keterangan saksi yang sudah bersepakat menyatakan hal-hal yang sma mengenai sesuatu hal;


YURISPRUDENSI KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA
  1. Putusan MA-RI No. 50.K/Sip/1962, tanggal 7 Juli 1962 :
Tentang bukti surat yang tidak disangkal.
Dengan tidak menggunakan alat pembuktian berupa saling tidak disangkalnya isi surat-surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, Judex facti tidak melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh Undang-Undang, maka putusannya harus dibatalkan;
  1. Putusan MA-RI No.74.K/Sip/1955, tanggal 11 September 1975 :
Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, ialah menguntungkan dan merugikan bagi penandatangan surat itu, penandatanganan ini patut dibebani untuk membuktikan Positumnya;
  1. Putusan MA-RI No.1122.K/Sip/1971, tanggal 22 Oktober 1975 :
Bukti surat kwitansi itu (P.1. merah), tidaklah merupakan suatu ikatan sepihak di bawah tangan, oleh karena kwitansi itu tidak seluruhnya ditulis oleh Tergugat/ Pembanding sendiri ataupun paling sedikit selain tanda tangan harus ditulis dengan tangan Tergugat/Pembanding sendiri suatu persetujuannya yang memuat jumlah uang yang telah diterima;
  1. Putusan MA-RI No.983.K/Sip/1972, tanggal 28 Agustus 1975 :
Kwitansi yang diajukan oleh Tergugat sebagai bukti, karena tidak bermaterai, oleh Hakim dikesampingkan;
  1. Putusan MA-RI No.701.K/Sip/1974, tanggal 1 April 1976 :
Karena Judex facti mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri dari foto-foto copy yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua pihak, Judex facti sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah;
  1. Putusan MA-RI No.167.K/Sip/1959, tanggal 20 Juni 1959 :
Surat bukti pinjam uang yang diakui tanda tangannya tetapi disangkal jumlah uang pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian tertulis;
  1. Putusan MA-RI No.3901.K/Pdt/1985, tanggal 29 Nopember 1988 :
Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan (P.III), tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian);
  1. Putusan MA-RI No.383.K/Sip/1971, tanggal 3 Nopember 1971 :
Tidak dimintakannya pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM), dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.
Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi Agraria (sekarang : Kantor Badan Pertahanan) secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-mata termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-mata termasuk wewenang administrasi/
Pembatalan surat bukti hak milik harus diminta oleh pihak yang dimenangkan Pengadilan kepada instansi Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang diperolehnya;
  1. Putusan MA-RI No.3738.K/Pdt/1987, tanggal 14 Pebruari 1990 :
    1. Wewenang Mahkamah Agung untuk menjatuhkan Putusan Sela dan menambah pemeriksaan sendiri. Apabila dianggap perlu Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan Putusan Akhir dapat menjatuhkan Putusan Sela. Dalam perkara ini Putusan Sela dijatuhkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri;
    2. Oleh karena surat-surat yang diajukan sebagai bukti adalah surat-surat palsu, maka penggugat dianggap telah tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya;
  2. Putusan MA-RI No.4069.K/Pdt/1985, tanggal 14 Juli 1987 :
Kekuatan bukti Akta di bawah tangan.
  • Untuk memenuhi perumusan dalam Undang-Undang seyogyanya dalam pertimbangan yang terlepas daari dalam Kasasi yang diajukan ditambahkan bahwa hal itu dilakukan berdasarkan alasan kasasi Mahkamah Agung sendiri;
  • Nampak kwitansi dianggap sebagai akta di bawah tangan yang bersifat sepihak dan kewajiban untuk melunaskan hutangnya (Pasal 291 ayat(1) RBg).
  • Untuk Jawa dan Madura Stb. 1867-29 tanggal 14 Maret 1967 tentang kekuatan bukti akta di bawah tangan orang Indonesia dan yang disamakan dengan orang Indonesia.

YURISPRUDENSI TENTANG BEBAN PEMBUKTIAN
  1. Putusan MA-RI No. 162.K/Sip/1955, tanggal 21 Nopember 1956 :
Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal yang tidak biasa itu; i.e. orang yang diberi hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko mengajukan bahwa pintu-pintu Toko tersebut tidak selalu menghasilkan sewa;
  1. Putusan MA-RI No.74.K/Sip/1955, tanggal 11 September 1957 :
Apabila isi surat dapat diartikan 2 macam, ialah menguntungkan dan merugikan bagi penandatangan surat, penandatanganan ini patut dibebani untuk membuktikan positumnya;
  1. Putusan MA-RI No. 108.K/Sip/1954, tanggal 10 Januari 1957 :
Pihak yang mengendalikan bahwa Cap dagang yang telah didaftarkan oleh pihak lawan telah 3 tahun lamanya tidak dipakai, harus membuktikan adanya non-usus selama 3 tahun itu; dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, ialah untuk membuktikan bahwa ia selama 3 tahun itu secara terus menerus menggunakan Cap dagang termaksud;
  1. Putusan MA-RI No.22.K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1976 :
Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian;
  1. Putusan MA-RI No. 197.K/Sip/1956, tanggal 30 Desember 1957 :
Dalam sengketa jual beli dimana pihak pembeli mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual membantah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang dijual-belikan, pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual mengenai barang-barang yang telah diserahkannya.
  1. Putusan MA-RI No. 94.K/Sip/1956, tanggal 10 Januari 1957 :
Dalam hal Penggugat mendalilkan bahwa : ia menuntut penyerahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini diduduki oleh Tergugat oleh karena pekarangan tersebut dulu hanya dipinjamkan saja oleh Penggugat kepada Tergugat;
Sedang Tergugat membantah dengan dalil : bahwa pekarangan tersebut dulu benar milik Penggugat tetapi pekarangan itu telah dibelinya dari Penggugat;
Pembebanan pembuktian haruslah sebagai berikut :
    1. Penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada Tergugat, dan
    2. Kepada Tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang pembelian lepas tanah tersebut;
  1. Putusan MA-RI No. 540.K/Sip/1972, tanggal 11 September 1975 :
Karena Tergugat asal menyangkal, Penggugat asal harus membuktikan dalilnya;
Alasan Pengadilan Tinggi untuk membebankan pembuktian pada Penggugat asal karena Tergugat asal menguasai sawah sengketa bukan karena perbuatan melawan hukum; adalah tidak berdasarkan hukum;


YURISPRUDENSI PENGGABUNGAN GUGATAN
  1. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1971, tanggal 3 Desember 1974 :
HIR tidak mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah Hakim dalam hal mana diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan murah;
  1. Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972 :
Menurut Jurisprudensi, dimungkinkan "penggabungan" gugatan-gugatan jika antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak dalam bentuk perkara yang satu (No. 53/1972.G) dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang lainnya (No. 521/1971.G);
  1. Putusan MA-RI No. 677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972 :
Dua perkara yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi, masing-masing tunduk pada Hukum Acara yang berbeda, tidak boleh digabungkan seperti : Perkara atas dasar Undang-Undang No. 21 tahun 1961 dengan perkara atas dasar Pasal 1365 BW;
  1. Putusan MA-RI No. 880.K/Sip/1973, tanggal 6 Mei 1975 :
Bahwa oleh Hakim pertama ke 3 buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No. 10/ 1968/Mkl;
Bahwa ke 3 gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan itu tidak diatur dalam RBg. (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang ditinjau dari segi acara (processuel doematig);
  1. Putusan MA-RI No. 1652.K/Sip/1975 :    
Kumulasi dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya tidak bertentangan dengan Hukum Acara (Perdata) yang berlaku;
  1. Putusan MA-RI No. 677.K/Sip/1972, tanggal 20 Desember 1972 :
Suatu perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain;
Misalnya :    Gugatan perdata umum digabungkan dengan gugatan perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH dan tuntutan ganti rugi digabungkan dengan perkara mengenai hak atas Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-ketentuan tentang HAKI.
  1. Putusan MA-RI No. 201.K/Sip/1974, tanggal 28 Agustus 1976 :
Karena sawah-sawah tersebut pemilikny berlainan, seharusnya masing-masing pemilik itu secara sendiri-sendiri menggugat masing-masing orang yang merugikan hak mereka dan kini memegang sawah-sawah itu; kumulasi gugatan-gugatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain seperti yang dilakukan sekarang ini, tidak dapat dibenarkan;
  1. Putusan MA-RI No.123.K/Sip/1963, tanggal 13 Juli 1963 :
Dengan digabungkannya 3 perkara menjadi satu, surat-surat kuasa yang oleh salah satu pihak diberikan kepada seorang kuasa yang ada pada ke 3 perkara tersebut seharusnya juga dipertimbangkan sebagai satu kesatuan; sehingga ketidak sempurnaan yang terdapat pada salah satu dari surat-surat kuasa itu harus-lah dianggap telah diperbaiki oleh surat Kuasa lainnya;
  1. Putusan MA-RI No.343.K/Sip/1975, tanggal 17 Pebruari 1977 :
Karena antara Tergugat-Tergugat I s.d. IX tidak ada hubungannya dengan lainnya, tidaklah tepat mereka digugat sekaligus dalam satu Surat Gugatan; seharusnya mereka digugat satu per satu secara terpisah.
Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;
  1. Putusan MA-RI No.885.K/Sip/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Penggabungan Perkara.
Menurut hemat saya (Prof. Asikin Kusumah Atmadja, SH), putusan Mahkamah Agung sudah tepat dengan alasan-alasan sebagai berikut :
    1. Penggabungan perkara selalu terjadi atas inisiatif para/salah satu pihak;
    2. Perkara perlawanan terhadap sita tanggungan (C.B.) bukan merupakan pokok perkara, sehingga penggabungan mempunyai akibat perlawanan masuk dalam pokok perkara;
    3. Seharusnya kalau dianggap ada alasan, perkara-perkara tersebut diperiksa oleh Majelis yang sama;
  1. Putusan MA-RI No. 867.K/Pdt/1985, tanggal 4 Agustus 1987 :
Catatan : Prof. Asikin Kusumah Atmadja, SH :
Penggabungan Perkara
UMUM :
    1. Mengenai "penggabungan gugatan" masih diperlukan perhatian yang lebih seksama lagi istilah yang dipakai antara lain :
·         Samenloop van Rechtsvordering (Concursus), STAR BUSMANN, hlm. 177.
·         Samenvoeging van vordering, obyectieve cumulatie, Edisi CREMERS - Wetboek Burgelijke Rechtvorderingen Wet RO, hlm. 19;
Cumulatie van vordering (hlm. 1-8a) BRv tentang azas Hukum Acara oleh beberapa Sarjana Belanda a.l. : Funke.
Di dalam RID hal penggabungan gugatan-gugatan tidak diatur,
akan tetapi penggabungan gugatan-gugatan dikembangkan berdasarkan Yurisprudensi, buku-buku yang diuraikan di atas memberikan komentar mengenai penggabungan gugatan-gugatan sebagai salah satu aspek dari Ps. 1 Buku I BRv tentang hal penggabungan gugatan-gugatan.
  1. Pengertian lain lagi ialah penggabungan perkara-perkara (bukan peng-gabungan gugatan-gugatan) mengenai sengketa yang mempunyai hubungan yang erat yang mendasar dan semula ke 2 (dua) perkara tersebut diperiksa sebagai 2 (dua) perkara yang terpisah dengan 2 (dua ) Nomor Register oleh seorang Hakim (Majelis) dapat dimintakan (jadi atas permintaan) baik oleh Tergugat/Penggugat untuk digabungkan menjadi satu perkara dengan satu Nomor Register;
  1. Putusan MA-RI No. 885.K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Salah melaksanakan tertib Hukum Acara.
Perkara ini merupakan gabungan dari perkara No. 250/Pdt/1983/PN Mdn, mengenai tanah seluas 110 Ha milik Penggugat yang telah dikuasai dan diperjual belikan secara melawan hukum oleh para Tergugat;
Dengan perkara-perkara perlawanan (verzet) masing-masing No.34/VZ/Pdt/ 1983/PN Mdn, No.33/VZ/Pdt/1933/PN Mdn, No.27/VZ/Pdt, No.28/VZ/Pdt/1983/ PN Mdn, No. 29/VZ/Pdt/1983/ PN Mdn, dan No. 30/VZ/Pdt/1983/ PN Mdn. Penggabungan dilakukan ditingkat banding tanpa permohonan para pihak;
Dari penggabungan ini kedudukan para Pelawan menjadi Tergugat bertentangan dengan kehendak para Pelawan dan akan menempatkan kedudukan para Pelawan di dalam hukum pembuktian berlawanan dengan kedudukannya semula sebagai Pelawan, dan hal itu dapat mempersulit para Tergugat baru itu dalam menghadapi gugatan;


YURISPRUDENSI TENTANG SUBYEK HUKUM (PARA PIHAK) DALAM GUGATAN PERKARA. (1)
  1. Putusan MA-RI No. 419.K/Sip/1988, tanggal 22 Oktober 1992 :
Suatu Badan Hukum seperti PT yang mengadakan, membuat dan menanda tangani "perjanjian" dengan pihak subyek hukum lainnya (bila terjadi wanprestasi dan tuntutan ganti rugi) haruslah ditujukan terhadap Badan Hukum (PT) dan bukan ditujukan pada Direktur (Utama) Badan Hukum tersebut. Gugatan yang ditujukan Ir.S. untuk diri sendiri dan sebagai Direktur PT. Graha Gapura berarti seolah-olah memisahkan antara Direktur PT dengan PT. Graha Gapura itu sendiri, sehingga gugatan terhadap Tergugat Ir. S tersebut Obscuur Libel dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Mengenai tidak digugatnya PT. Graha Gapura sebagai Tergugat, sedangkan Ir. S. telah tidak lagi menjabat Direktur tersebut, maka gugatan menjadi kabur maka seharusnya yang digugat adalah terhadap PT. Graha Gapura dan PT. Rencong Aceh dan bukan kepada Direkturnya;
  1. Putusan MA-RI No.2322.K/Pdt/1986, tanggal 30 Maret 1988 :
Tentang Kasus Tanah Adat di Jayapura, kemudian di PK dan dalam Putusan MA-RI No. 381.PK/Pdt/1989, tanggal 28 Juli 1992 membatalkan putusan MA-RI No. 2322.K/Pdt/1986 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri Jayapura serta mengabulkan gugatan para Penggugat sebahagian dan menyatakan tanah sengketa adalah tanah adat yang dimiliki para Penggugat secara turun menurun serta menghukum T.I, T.IV, T.VIII, membayar ganti rugi kepada para Penggugat Rp 18.600.000.000,- (Delapan Belas Milyar Enam Ratus Juta Rupiah), masing-masing untuk 1/6 bagian : Dalam Surat MA-RI No. KMA/126/IV/1985, tanggal 5 April 1995 dinyatakan bahwa para Pejabat Negara tersebut (Gubernur Kepala Daerah TK. I Irian Jaya dan kawan-kawan) bukan merupakan Badan Hukum Publik yang mempunyai harta kekayaaan tersendiri, maka putusan MA-RI tidak dibatalkan dan tetap ada, hanya saja tidak dieksekusi. Gubernur Kepala Daerah TK. I adalah "Wakil" dari Daerah TK. I sedang status Daerah TK. I itulah yang Badan Hukum Publik.
Pasal 23 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah menyatakan : "Bahwa Kepala Daerah (KDH) mewakili daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan". Jadi sebagai wakil di daerahnya dan tidak boleh disimpulkan bahwa Gubernur Kepala Daerah adalah Badan Hukum Publik.
Pasal tersebut harus diartikan, yang disebut Badan Hukum Publik adalah Daerah Tk. I, sedang Gubernur berstatus sebagai yang mewakilinya, sehingga tanggung jawab yuridis tetap ada pada Badan Hukum Publik yaitu Daerah Tk. I. Surat MA-RI tersebut, timbul berhubung dengan kewenangannya sebagaimana Pasal 32 Undang-Undang No. 14 tahun 1985 (Vide : Pendiriann P.P-IKAHI);
  1. Putusan MA-RI No.244.K/Sip/1959, tanggal 5 Januari 1959 : Gugatan penyerahan kembali harta warisan yang dikuasai seseorang tanpa hak, dapat diterima walaupun tidak semua ahli waris ikut sebagai pihak (Saudara kandung Penggugat), karena Tergugat tidak dirugikan dalam pembelaannya;
  2. Putusan MA-RI No.25.K/Sip/1973, tanggal 30 Mei 1973 :
Menurut Statuten CV. diurus oleh Direktur yang bertindak di dalam dan diluar Pengadilan, sedang Pasal 19-21 KUHD didalam CV. tak ada Direktur Utama, maka gugatan yang diajukan oleh "Direktur Utama" atas nama CV. tidak dapat diterima;
  1. Putusan MA-RI No.495.K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 : Karena kontrak adalah dengan CV. Palma, gugatan yang diajukan oleh Achmad Paeru, Direktur CV. Palma tersebut secara pribadi, seharusnya tidak dapat diterima;
  2. Putusan MA-RI No.495.K/Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1975; Penggugat sebagai debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban-kewajiban, ialah kewajiban untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi suatu pengajuan gugatan harus ada suatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan;
  3. Putusan MA-RI No.1771.K/Sip/1975, tanggal 19 April 1979 : Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena itu gugatan ditujukan terhadap Tergugat Pribadi, sedang gugatan itu mengenai tindakan-tindakannya dilakukannya sebagai Pejabat;
  4. Putusan MA-RI No.174.K/Sip/1974, tanggal 6 Maret 1975 : Tentang saksi sebagai Kuasa pihak.
Bahwa orang yang dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri di dengar sebagai saksi, di Pengadilan Tinggi bertindak sebagai kuasa dari Terbanding/Penggugat asal, tidaklah bertentangan dengan HIR;
 

Source : http://syafruddinsh.blogspot.com/2011/04/yurisprudensi-putusan-dan-perlawanan.html