Friday, June 14, 2013

Bankruptcy & Debt Repayment Scheme in Singapore

Bankruptcy

Bankruptcy is a process by which a debtor is declared by the High Court to be unable to repay a claim made against him, and recovery of the claim is conducted in an orderly manner. The High Court usually appoints the Official Assignee to administer the bankruptcy estate which includes the selling of assets, registration of creditors' claims and paying dividends to a bankrupt’s creditors.

The Official Assignee

The Official Assignee is a public servant and an officer of the Court. The Official Assignee is assisted in his duties by officers and staff in the Insolvency & Public Trustee’s Office (IPTO).

Once a Bankruptcy Order is made against a debtor, the High Court will appoint the Official Assignee as the trustee and receiver of the bankruptcy estate. Alternatively, the Court may appoint a private trustee to administer the bankrupt’s affairs if the petitioning creditor requests.

The Official Assignee's role

The Official Assignee's role is to expeditiously recover and realise the assets of bankrupts for distribution to creditors and to assist bankrupts in obtaining a discharge from bankruptcy.
The Official Assignee also has the duty to investigate the bankrupt’s conduct in bankruptcy.

Source: http://www.ipto.gov.sg/bankruptcy-and-debt-repayment-scheme/bankruptcy.html

Bankruptcy in Singapore Explained

Bankruptcy is always considered the last resort in trying to eliminate debt. No matter the situation, bankruptcy is a highly personal decision that can have both good and bad consequences.  For some people, it can be an unfortunate but a very necessary choice.  The one thing we at Debt Reform always stress on is that our clients understand all of these consequences as well as the wide array of alternatives to bankruptcy.

Bankruptcy may indeed be a valid option for you if you are nearing the end of your working life, have more than four dependents, have an extremely large unsecured debt load and a small savings level.  Depending on your situation, however, these factors do not automatically necessitate bankruptcy. 
There are many misconceptions and misinterpretations by the lesser known and the inexperienced with regards to bankruptcy in Singapore. 
Note: The following is a primer on bankruptcy laws in Singapore. Understand that the following passages are not offered as legal advice and should not be considered as an alternative to legal counsel.

Bankruptcy in Singapore: Important Details to Understand
Once bankruptcy in Singapore is initiated, your assets (with some exemptions) are liquidated and the proceeds are used to pay your creditors. Certain creditors have precedence over others and this is outlined in the Bankruptcy Acts.  Generally, it has the quickest effect and is often the simplest to understand.  However, it is not a cure-all as it does not alleviate child support, court fines or current taxes.

Under the Bankruptcy Acts of Singapore, full disclosure of your personal financial information is necessary.  Some examples of information that must be declared are your income, assets and liabilities. You will also be required to seek permission from the Official Assignee before leaving the country.

But an important fact to note is that you have ruined your credit ratings as bankruptcy stays on your credit and court records for as long as 7 years in Singapore. Obviously, this will have dire effects on your future applications for credit.  It could also haunt you for a large part of your life especially if bankruptcy procedures were not handled properly.  This can include having past creditors coming forward to claim their debts after you have been discharged.

Source: http://www.debtreform.com/bankruptcy.htm

Penyebab Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Setelah PKPU diberikan, PKPU itu dapat diakhiri baik atas permintaan hakim pengawas atau atas permohonan pengurus atau atas permohonan satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa pengadilan sendiri dalam hal-hai sebagai berikut:
  1. Debitor selama waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya (Pasal 255 ayat (1 a)).
  2. Debitor telah atau mencoba merugikan para kreditornya (Pasal 255 ayat (1b)).
  3. Debitor melakukan pelanggaran selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, debitor tanpa persetujuan pengurus melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Dan jika debitor melanggar ketentuan ini, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut (Pasal 225 ayat (1c)) juncto Pasat 240 ayat (1).
  4. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus demi kepentingan harta debitor (Pasal 255 ayat (Id).
  5. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang pada harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang (Pasal 255 ayat (1e)),
  6. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya (Pasal 255 ayat (1f)).
Dalam hal debitor beritikad buruk dalam masa PKPU terhadap kepengurusan harta bendanya, sehingga demikian rupa harta si debitor ternyata tidak mampu lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU, maka pengurus wajib rnengajukan permohonan pengakhiran PKPU, namun tentunya debitor dan pengurus harus didengar terlebih dahulu oleh pihak pengadilan, dan jika PKPU ini diakhiri berdasarkan hal demikian, maka debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan yang lama. Permohonan pengakhiran PKPU sebagaimana, dimaksud di atas harus selesai diperiksa oleh pengadilan dalam jangka waktu 10 hari dan putusan pengadilan harus diucapkan dalam jangka waktu 10 hari sejak selesainya pemeriksaan. Putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar putusan tersebut. Disamping itu debitor setiap waktu dapat pula memohon kepada pihak pengadilan agar Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dicabut dengan alasan bahwa harta debitor memungkinkan dimulainya kembali pembayaran utang-utangnya dengan ketentuan bahwa pengurus dan kreditor harus dipanggil dan didengar sepatutnya sebelum putusan diucapkan.
Pada masa diberlakukannya ketentuan Faillisement Verordening yakni pada Pasal 244 ayat (1) FV, setiap waktu debitor berhak memohonkan kepada pengadilan niaga agar PKPU dicabut dengan alasan bahwa pada keadaan harta debitor sudah sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat melakukan pembayaran pembayaran lagi. Untuk keperluan itu, keterangan para pengurus dan para kreditor akan didengar dan kepada mereka harus dipanggil secara layak.


Sumber: http://notariatundip2011.blogspot.com/2012/02/pengertian-pkpu-dan-pelaksanaannya.html

Wednesday, June 5, 2013

Aspek Hukum Penerapan Teknologi Komputasi Awan (Cloud Computing)

Definisi Cloud Computing (“CC”) atau yang populer di Indonesia disebut sebagai “Komputasi Awan.” National Institute of Standards and Technology (“NIST”) -Departemen Perdagangan Amerika Serikat, mengartikan CC sebagai :
suatu model untuk menciptakan kenyamanan dalam akses jaringan sesuai keperluan ke dalam wadah bersama sumber daya komputasi (seperti; jaringan, server, penyimpanan, aplikasi dan layanan) yang dapat dikonfigurasi dengan cepat dan dirilis dengan upaya manajemen yang minimal atau minimal interaksi antar-penyedia jasa manajemen” (NIST, Special Publication 800-145, 2011).

Dengan model sebagaimana definisi tersebut, saat ini sangat memungkinkan bagi sektor publik, privat, maupun individu untuk menempatkan data atau informasi elektronik miliknya ke dalam fasilitas CC dengan pertimbangan bahwa penggunaan CC akan menciptakan fleksibilitas, efisensi biaya, dan mitigasi risiko atas pengelolaan data/informasi elektronik pengguna.

Penyimpanan data/informasi elektronik yang dilakukan penyedia layanan CC itu sendiri pada dasarnya merupakan bagian dari sebuah perjanjian layanan atau Service Level Agreement (“SLA”) yang disepakati antara penyelenggara CC dengan customer. Penempatan data/informasi elektronik oleh penyedia layanan CC secara teknis dapat dilakukan di mana saja sesuai dengan pertimbangan masing-masing penyedia.

Kewajiban Penempatan/Penyimpanan Data dalam Penyelenggaraan CC

Berikut diuraikan secara umum kewajiban sebuah Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”). Penyelenggara CC berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) pada dasarnya merupakan bagian dari PSE secara umum. Dengan demikian, semua konsekuensi hukum PSE sebagaimana diatur dalam UU ITE dan PP PSTE berlaku juga bagi penyelenggara CC.

Konsekuensi Hukum Penyelenggara SE termasuk penyelenggara CC dalam PP PSTE secara ringkas dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Kewajiban Pendaftaran bagi PSE Pelayanan Publik (Pasal 5)
  2. Kewajiban Sertifikasi Kelaikan Hardware (Pasal 6)
  3. Kewajiban didaftarkannya Software bagi PSE Pelayanan Publik(Pasal 7)
  4. Ketentuan tentang Penggunaan Tenaga Ahli (Pasal 10)
  5. Kewajiban-kewajiban dalam tata kelola SE (Pasal 12)
  6. Penerapan manajemen risiko penyelenggaraan SE (Pasal 13)
  7. Kewajiban memiliki kebijakan tata kelola dan SOP (Pasal 14)
  8. Kewajiban dan ketentuan tentang pengelolaan kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi (Pasal 15)
  9. Pemenuhan persyaratan tata kelola bagi PSE untuk Pelayanan Publik (Pasal 16)
  10. Penempatan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana serta mitigasi atas rencana keberlangsungan kegiatan Penyelenggaraan SE (Pasal 17)
  11. Pengamanan Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 18 s.d. Pasal 29)
  12. Kewajiban Sertifikasi Kelaikan Sistem bagi PSE Pelayanan Publik (Pasal 30 s.d. Pasal 32).
Terkait penempatan data elektronik sebagaimana angka 10 di atas, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) PP PSTE mewajibkan PSE untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data atau Data Center (“DC”) dan pusat pemulihan bencana atau Disaster Recovery Center (“DRC”) di wilayah Indonesia.

Bunyi lengkap Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) PP PSTE adalah sebagai berikut:
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Jika suatu penyelenggara CC masuk dalam kategori PSE Pelayanan Publik, maka penyelenggara CC tersebut wajib menempatkan pusat data atau DC dan pusat pemulihan bencana atau DRC di wilayah Indonesia.
Pusat Data (Data Center) yang dimaksud Pasal 17 ayat (2) PP PSTE didefinisikan dalam penjelasan Pasal 17 ayat (2) PP PSTE yaitu,

“suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik dan komponen terkaitnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.” Sedangkan, yang dimaksud dengan Pusat Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center) adalah “suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.”

Sayangnya, sanksi atas pelanggaran Pasal 17 ayat (2) PP PSTE tersebut tidak diatur secara tegas. Pasal 84 PP PSTE tentang sanksi administratif, hanya memberikan sanksi jika PSE Pelayanan publik tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan untuk menanggulangi gangguan atau bencana sesuai dengan risiko dari dampak yang ditimbulkannya (Pasal 17 ayat [1] PP PSTE). Sementara, ketidakpatuhan atas kewajiban penempatan DC/DRC di Indonesia apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan “tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan” sebagaimana Pasal 17 ayat (1) PP PSTE masih belum dapat dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 17 PP PSTE tersebut tentu saja masih membutuhkan penjabaran yang lebih komprehensif dalam bentuk Peraturan Menteri atau peraturan dari masing-masing sektor terkait, mengingat penempatan DC atau DRC dalam Pasal 17 belum cukup jelas mengatur tentang batasan teknis tentang fasilitas apa yang dapat disebut sebagai DC/DRC, bagaimana jika PSE untuk pelayanan publik tidak memiliki DC/DRC (misalkan, menggunakan layanan hosting karena data elektronik yang disimpan hanya berskala kecil), apakah semua fasilitas yang terdapat dalam sebuah DC/DRC wajib ditempatkan di Indonesia atau hanya yang sebagaian saja yang terkait terkait data pelayanan publik, bagaimana pengaturannya jika ditempatkan secara virtual pada layanan cloud, dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijabarkan secara rinci dalam peraturan turunan pasal tersebut.

Terkait penempatan data/infomasi elektronik, tentu timbul pertanyaan apakah penyelenggara CC masuk dalam kategori PSE Pelayanan Publik? Secara normatif, yang dimaksud Pelayanan Publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“PP Pelayanan Publik”) adalah 
”kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”
 
Sedangkan, definisi Penyelenggara Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik (Pasal 1 angka [2] PP Pelayanan Publik).
Ruang lingkup Pelayanan Publik meliputi:

a.      pelayanan barang publik;
b.      pelayanan jasa publik; dan
c.      pelayanan administratif.

Penyelenggaraan SE Pelayanan Publik, berdasarkan PP Pelayanan Publik masuk dalam kategori pelayanan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah tetapi ketersediaannya menjadi Misi Negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf c PP Pelayanan Publik).

Penyelenggara Pelayanan Publik dapat berupa badan hukum lain (selain instansi pemerintah, BUMN, atau lembaga independen) yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara (Pasal 10 ayat [1] huruf b PP Pelayanan Publik). Yang dimaksud dengan "badan hukum lain" dalam penjelasan pasal tersebut ini adalah badan swasta baik berbentuk korporasi maupun yayasan yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara. Pelaksanaan Misi Negara dalam hal ini meliputi pelayanan yang seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi karena keterbatasan kemampuan pemerintah, sehingga dilaksanakan oleh badan swasta dengan biaya dari pemerintah yang disebut subsidi.

Badan hukum lain tersebut dapat dikategorikan Pelayanan Publik apabila memiliki besaran nilai aktiva paling sedikit 50 (lima puluh) kali besaran pendapatan per kapita per tahun di wilayah administrasi pemerintahan Penyelenggara pada tahun berjalan dan jaringan pelayanan yang pengguna pelayanannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan (Pasal 10 ayat [2] PP Pelayanan Publik).  

Sebagai contoh, misalnya sebuah perusahaan CC memberikan pelayanan penggunaan infrastruktur dan platform kepada sebuah rumah sakit yang memiliki nilai aktiva (aset) sebesar Rp100 miliar. Dengan asumsi pendapatan per kapita nasional sebesar Rp31,8 juta (tahun 2011), maka nilai minimal pengkategorian sebuah badan hukum yang menjalankan misi negara sebagai penyelenggara pelayanan publik adalah sebesar Rp1.590.000.000,- (Rp31,8 juta dikali 50). 

Dengan demikian, rumah sakit tersebut dikategorikan sebagai penyelenggaara layanan publik. Sedangkan, perusahaan CC tersebut, menurut pendapat kami, dapat dikatakan penyelenggara pelayanan publik tidak langsung, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penempatan data/informasi elektronik milik rumah sakit tersebut harus berada di wilayah Indonesia (Pasal 17 ayat [2] UU ITE). 

Contoh lain, jika Penyelenggara CC tersebut misalkan hanya memberikan pelayanan CC kepada perusahaan pertambangan untuk keperluan internal sistem informasi manajemen perusahaan, maka penyelenggara CC tersebut bukan PSE Pelayanan Publik dan tidak ada kewajiban bagi penyelenggara CC tersebut terhadap pasal-pasal dalam PP PSTE terkait Penyelenggaraan PSE bagi Pelayanan Publik. Dengan demikian, penyedia layanan CC tersebut berhak menempatkan di manapun data/informasi elektronik pelanggannya sesuai dengan SLA yang disepakati.  

Meskipun PP Pelayanan Publik sudah diterbitkan, menurut pendapat subyektif kami, pengkategorian PSE Pelayanan Publik terkait pelaksanaan Misi Negara berdasarkan PP Pelayanan Publik tersebut masih perlu untuk dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Mengingat masih terdapat beberapa pemahaman yang kurang lengkap bahkan misleading. Misalnya, perlu adanya definisi yang lebih tegas tentang apa yang dimaksud dengan “Misi Negara”. 

Dalam hal ini, apakah suatu badan hukum swasta bisa menjadi penyelenggara pelayanan publik jika menjalankan Misi Negara, namun tidak mendapatkan subsidi pemerintah? Apakah penyelenggara pelayanan masyarakat dengan nilai aktiva di bawah 50 kali pendapatan per kapita nasional seperti puskesmas atau sekolah dasar tetap dikategorikan penyelenggara pelayanan publik dll?

Dasar Hukum:
  1.  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
  3. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Referensi:
NIST, Special Publication 800-145, 2011

Source : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c97b8b0dc50/aspek-hukum-penerapan-teknologi-komputasi-awan-%28cloud-computing%29

Ketentuan Ganti Kerugian bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat



Terkait dengan keterlambatan angkutan udara, UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) menjelaskan definisi keterlambatan sebagai:
“terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan” (lihat Pasal 1 angka 30 UU Penerbangan).
Jenis-jenis keterlambatan kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”). Menurut Pasal 9 Permenhub 77/2011, keterlambatan terdiri dari:
  1. keterlambatan penerbangan (flight delayed);
  2. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); dan
  3. pembatalan penerbangan (cancelation of flight).
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (flight delayed) pada angkutan penumpang yang dimaksud Pasal 9 huruf a Permenhub 77/2011 di atas, pengangkut (dalam hal ini maskapai penerbangan) bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpangnya. 
Ganti rugi yang wajib diberikan oleh maskapai penerbangan kepada penumpang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara (“Permenhub 25/2008”) yaitu:
a.   keterlambatan lebih dari 30 (tiga puluh) menit sampai dengan 90 (sembilan puluh) menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan;
b.    keterlambatan lebih dari 90 (sembilan puluh) menit sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang atau malam dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang;
c.     keterlambatan lebih dari 180 (seratus delapan puluh) menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan slang atau malam dan apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya.
Kemudian, pemerintah melengkapi ketentuan ganti rugi dalam Permenhub 25/2008 dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 Permenhub 77/2011, sebagai berikut:
a.      keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;
b.   diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;
c.    dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.
Ketentuan peralihan dari Permenhub 77/2011 tidak menyatakan tidak berlakunya Permenhub 25/2008, sehingga keduanya tetap berlaku. Hanya saja, ketentuan ganti kerugian yang diatur Permenhub 77/2011 baru mulai berlaku tiga bulan sejak tanggal ditetapkan atau tiga bulan sejak 8 Agustus 2011 (lihat Pasal 29 Permenhub 77/2011).
Jadi, dalam beberapa kondisi sebagaimana tersebut di atas, penumpang berhak dipindahkan ke penerbangan lain (mendapat tiket penerbangan lain), selain mendapatkan makanan dan minuman.
Meski demikian, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a yang disebabkan oleh faktor cuaca dan/atau teknis operasional (lihat Pasal 13 ayat [1] Permenhub 77/2011). Yang dimaksud faktor cuaca dan teknis operasional dijelaskan dalam penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dan juga Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub 77/2011 , seperti dapat dilihat di bawah ini:
Faktor Cuaca:
hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. (Pasal 146 UU Penerbangan dan Pasal 13 ayat [2] Permenhub 77/2011)
Teknis Operasional
a.   bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
b.     lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
c.    terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
d.      keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
          (Pasal 146 UU Penerbangan dan Pasal 13 ayat [3] Permenhub 77/2011)
TIDAK Termasuk Teknis Operasional
a.      keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
b.      keterlambatan jasa boga (catering);
c.      keterlambatan penanganan di darat;
d.   menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight); dan
e.      ketidaksiapan pesawat udara.
    (Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan)



Source : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e68e0492fbe4/ketentuan-ganti-kerugian-bagi-penumpang-jika-penerbangan-terlambat

Aturan tentang Keterlambatan Penerbangan


Syarat suatu kejadian dalam penerbangan dikatakan mengalami keterlambatan dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) yang memberikan definisi keterlambatan, yakni:
“Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.”
Di dalam peberbangan, keterlambatan angkutan udara merupakan salah satu kerugian yang diderita oleh penumpang yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pengangkut (badan usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara) yang mengoperasikan pesawat udara. Demikian ketentuan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”).
Kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan juga disebut dalam Pasal 146 UU Penerbangan yang berbunyi:
“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”
Di dalam Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "faktor cuaca" adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. Adapun, yang dimaksud dengan "teknis operasional" antara lain:
a.       bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
b.  lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, ataukebakaran
c.   terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara atau
d.      keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling
Sedangkan, yang tidak termasuk dengan "teknis operasional" antara lain:
a.       keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin
b.      keterlambatan jasa boga (catering)
c.       keterlambatan penanganan di darat
d.  menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan
e.      ketidaksiapan pesawat udara
 Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub 77/2011.
 Mengenai ruang lingkup keterlambatan dalam penerbangan, hal ini disebutkan dalam Pasal 9 Permenhub 77/2011 yang berbunyi:
 “Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:
a.  keterlambatan penerbangan (flight delayed)
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger) dan
c.    pembatalan penerbangan (cancelation of flight)” 
Dasar hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan  
  2. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
Source : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517b35e8be1ee/aturan-tentang-keterlambatan-penerbangan