- Putusan MA-RI No. 1043.K /Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 :
Pelaksanaan putusan hakim harus menunggu sampai seluruh
putusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, meskipun salah satu pihak (i.c.
Tergugat asal III) tidak naik banding atau kasasi ;
- Putusan MA-RI No. 1038.K /Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 :
Perkara ini merupakan perkara bantahan terhadap eksekusi
perkara No. 91a/Pdt/SG/1964, maka yang harus diperiksa hanyalah eksekusinya
saja dan bukan materi pokoknya ;
- Putusan MA-RI No. 125.K /Sip/1973, tanggal 10 Juni 1975 :
Bantahan (perlawanan) yang diajukan untuk ke dua kalinya
yang pada waktu itu bantahan yang pertama masih dalam taraf banding, harus
dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak ;
- Putusan MA-RI No.954.K /Sip/1973, tanggal 19 Februari1976 :
Dengan mengabulkan bantahan yang diajukan pada tanggal 26
November 1964 atau eksekusi yang telah berlangsung pada tanggal 21 Mei 1960 ;
Judex-facti telah menempuh acara yang salah, sebab
eksekusi telah berlangsung, atau sebenarnya eksekusi semu, karena barang
sengketa dari semula telah dikuasai oleh pihak yang berwenang ; seharusnya
pembantah (pelawan eksekusi) mengajukan gugatan biasa (baru) ;
- Putusan MA-RI No. 1237.K /Sip/1975, tanggal 3 Mei 1979 :
Keberatan yang diajukan oleh penggugat untuk kasasi bahwa
perlawanan seharusnya ditolak karena putusan pengadilan Negeri yang dilawan itu
telah di eksekusi ;
Tidak dapat di benarkan, karena perlawanan terhadap suatu
putusan dimungkinkan ;
- Putusan MA-RI No. 697.K /Sip/1974, tanggal 31 Agustus 1977 :
Keberatan mengenai pelelangan seharusnya diajukan sebagai
perlawananterhadap Eksekusi, sebelum pelelangan dilaksanakan ;
- Putusan MA-RI No. 1205.K /Sip/1973, tanggal 7 September 1976 :
- Yang disita (penyitaan aksekusi) oleh Pengadilan Negeri Bandung No.138/1969 Sipil, tanggal 3 Maret 1971 adalah sebuah rumah berikut bengkel di Jl. A. Yani No. 418.
·
Meskipun
berdasarkan hukum barat tanah dan rumah diatasnya disebut "onroerend
goed", hal ini tidak berarti bahwa secara hukum tidak dapat diadakan
pemisahan antara tanah dan rumah diatasnya. Sitaan terhadap rumah tidak berarti
termasuk tanahnya secara hukum, melainkan harus tegas dinyatakan sitaan atas
tanah dan rumah yang berada diatasnya ;
- Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum, karena mengambil kesimpulan hukum bahwa pembantah mengetahui benar keadaan barang sengketa sebelum dibelinya tanpa memberikan alasan-alasan hukumnya ;
- dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi terdapat suatu kontradiksi karena setelah mempertimbangkan tanah dan rumah tidak terpisahkan oleh suatu hak apapun, kemudian berpedapat bahwa terhadap rumah sengketa saja penggugat untuk kasasi adalah pembantah yang tidak baik ;
- Putusan MA-RI No. 1038.K /Sip/1972, tanggal 1 Agustus 1973 :
- Terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diadakan permohonan banding
- Bila putusan Pengadilan Negeri telah mempunyai kekuatan pasti, maka terhadap perkara itu tidak mungkin diadakan putusan perdamaian lagi, oleh karena mana putusan perdamaian itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial ;
- Putusan MA-RI No. 1243.K /Pdt/1984, tanggal 27 Februari 1986 :
Penetapan ketua Pengadilan Negeri jakarta Timur untum
menangguhkan pelaksanaan eksekusi adalah merupakan tindakan kebijaksanaan ketua
Pengadilan Negeri tersebut, karena di anggap telah terjadi suatu kekeliruan
dalam penetapan eksekusi berhubung telah ada penetapan sebelumnya mengenai
insolventie dan vrijwaring dari para termohon kasasi ;
Keberatan penangguhan eksekusi harus diajukan dalam
bentuk pengaduan dalam rangka pengawasan terhadap jalannya peradilan kepada
ketua pengadilan tinggi selaku kawal depan Mahkamah Agung, jadi bukan dalam
bentuk permohonan kasasi seperti sekarang ;
Pasal
4, 22, 24 Undang-Undang Failisemen.
SE-MA
No.2/1984 Pengadilan Tinggi Sebagai voorpost Mahkamah Agung.
- Putusan MA-RI No.2539.K /Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Perlawanan pihak ke 3 terhadap eksekusi.
Eksekusi terhasap kekayaan daerah tidaklah wajar.
Pemda sebagai pemilik harta kekayaan tidak pernah diikut
sertakan sebagai pihak.
Karena
dari Undang-Undang No.5 Th 1962 pasal 3 jo. Pasal 4 ternyata PD. Pamca karya
adalah badan hukum dan menurut peraturan daerah Tingkai I maluku No.
5/DPR-GR/1963 Pasal 16 (1) Direksi mewakili perusahaan daerah di dalam dan di
luar pengadilan, lagi pula perlawanan oleh pihak ketiga hanya dapat diajukan
terhadap penyitaan, sedangkan dari putusan Pengadilan Tinggi Ambon
No.65/1979/Pdt/PT mal. Tak terdapat adanya bahan bangunan yang harus di
eksekusi; pasal 3 jo. 4 ayat (2) UU No. 5/1962
- Putusan MA-RI No.10.K/Pdt/1984, tanggal 31 Agustus 1985 : Pelawan adalah isteri Tergugat dalam putusan Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung yang dilawan. Perlawanannya dinyatakan tidak dapat diterima;
- Putusan MA-RI No.3939.K/Sip/1975, tanggal 2 Pebruari 1980 :
Sanggahan oleh pihak ke-III diluar pihak-pihak dalam
perkara yang putusannya telah selesai dilaksanakan, menurut praktek Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia, pada azasnya harus diadakan dalam bentuk gugatan dan tidak dalam
abentuk bantahan/sanggahan/verzet;
- Putusan MA-RI No.1281.K/Sip/1979, tanggal 23 April 1981 :
Bantahan
terhadap Eksekusi, yang diajukan setelah eksekusi itu dilaksanakan, tidak dapat
diterima;
- Putusan MA-RI No.763.K/Sip/1977, tanggal 10 Mei 1979 :
Gugatan terhadap pihak yang memegang barang sengketa
berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi, dapat saja diterima
dan dipandang sebagai suatu perkara baru;
- Putusan MA-RI No.2539.K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Sita
terhadap barang-barang milik Negara
- Pada azasnya benar, suatu putusan berlaku bagi para pihak sehingga pihak ketiga yang tidak ikut digugat tidak wajib melaksanakan putusan tersebut (tidak mempunyai kekuatan) eksekutorial bagi pihak ketiga yang tidak ikut digugat);
- Hal lain yang penting adalah bahwa pada prinsip barang-barang milik Negara tidak dapat dikenakan Sita Jaminan/Sita Eksekusi, karena barang-barang milik Negara dipakai untuk melaksanakan tugas kenegaraan (kutip dari buku OUDELAAR).
- Sedangkan Pasal 65, 66 ICW menyatakan bahwa sitaan atas barang-barang milik Negara tidak diperkenankan kecuali atas izin Mahkamah Agung.
- Sedangkan selanjutnya Pasal 66 ICW menyatakan bahwa barang-barang milik Negara yang karena sifatnya atau tujuannya bersifat atau dengan Undang-undang/Peraturan ditentukan sebagai tidak dapat dikenakan sita, tidak disita;
- Dengan demikian dalam hal penyitaan barang-barang milik Negara, harus diteliti dulu apakah barang milik Negara tersebut, termasuk barang yang dapat dikenakan sita atau tidak menurut ICW;
YURISPRUDENSI :PUTUSAN PROVISIONIL
- Tuntutan/putusan Provisionil tidak boleh mengenai pokok <sengketa> perkara <Bodem Geschil> dan jika begitu harus dinyatakan tidak diterima <putusan Putusan MA-RI No. 1070.K/Sip/1972, tanggal 7 mei 1973 dan No.279.K/Sip/ 1976, tanggal 5 Juli 1977>.
- Putusan MA-RI No. 1738.K /Sip/1976 :
Putusan Provisi dalam perkara ini
seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunandan penghukuman untuk
membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara);
- Putusan MA-RI No. 140.K /Sip/1974, tanggal 18 November 1975 :
Karena tuntutan provisionil sifatnya
mempermudah pemeriksaan dalam putusan pokok perkara ;
- Putusan MA-RI No.279.K /Sip/1976, tanggal 5 Juli 1977 :
Permohonan provinsi seharusnya bertujuan
agar ada tindakan hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi
yang berisikan pokok perkara harus ditolak ;
- Putusan MA-RI No. 1051.K /Sip/1974, tanggal 12 Februari 1976 :
Karena pelaksanaan putusan ini berwujud
suatu pembongkaran, maka demi penghati-hati agar dikemudian hari tidak repot
bila putusan ini diubah, maka khusus amar ke 7 dari putusan Pengadilan negeri
yang berisi penetapan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan
(vitvoerbaar bij voorraad) perlu di batalkan ;
YURISPRUDENSI VERZET
1. Putusan MA- RI No.52.K/Sip/1972
:
Perlawanan (verzet) terhadap putusan
verstek tersebut tidak diperikasa dan diputuskan sebagai perkara baru;
- Putusan MA-RI No.838.K/Sip/1972 : tanggal 10 September 1975 :
Dalam
hal yang digugat lebih dari seorang dan seorang dari tergugat-tergugat ini
tidak menghadap sekalipun telah dipanggil dengan sepatutnya, perkara yang
bersangkutan haruslah diputus terhadap semua pihak dengan satu putuan, sedang
terhadap putusan ini tidak dapat diajukan perlawanan (verzet);
- Putusan MA-RI No.838.K/Sip/1972, tanggal 10 September 1975 :
Putusan
Verstek adalah tidak tepat, karena pemanggilan tergugat belum sempurna, ialah
mengingat, karena tergugat tidak ada ditempat; pada tanggal 19 juli 1970 istri
tergugat memberitahukan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri bahwa tergugat
bertugas ke Bandung damn ia mohon supaya sidang diundur dan pada tanggal 21
Juli 1970 Wakil Komandan Denmas Kodam II Bukit Barisan memberitahukan bahwa
tergugat ke Bandung dan mohon supaya sidang diundurkan;
- Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1971, tanggal 13 September 1972 :
Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi harus dibatalkan karena :
- Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan verstek, yang mestinya adalah suatu putusan atas bantahan ("Contradictoir");
- Kemudian diajukan "Verzet" terhadap putusan tersebut, atas mana diberikan putusan lagi oleh Pengadilan Negeri, sedang mestinya terhadap putusan pertama tersebut diajukan banding;
Di dalam mengadili sendiri, mestinya MA-Ri
harus menyatakan Verzet tersebut diatas tidak dapat diterima, namun putusan
yang demikian akan menimbulkan kesulitan dalam memulihkan hak banding penggugat
untuk kasasi/penggugat asal;
Mengingat
:
- Isi putusan verstek dan putusan atas verzet adalah sama, kecuali bahwa jumlah uang paksa menjadi Rp. 500,-;
- Apabila Pengadilan Tinggi memutus perkara ini dalam banding terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri pertama kali (yang secara keliru dinamakan putusan verstek), maka pengadilan Tinggi akan memeriksa lagi putusan yang sama;
- Putusan Pengadilan Tinggi sudah tepat dan adil ; Mahkamah Agung akan memberi putusan seperti tertera dibawah : (tidak berisi pernyataan verzet yang bersangkutan tidak dapat diterima);
- Putusan MA-RI No.713. K/Sip/1974, tanggal 29 Oktober 1975 :
Putusan
Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang amarnya
berbunyi sebagai berikut :
- Menerima perlawanan pelawan Bunasi alias Bok Sarinten tersebut ;
- Menolak perlawanan pelawan dalam keseluruhan ;
- Menghukum pelawan untuk membayar biaya perkara ;
Adalah kurang tepat , dan perlu di
perbaiki sehingga seluruh amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan verstek tanggal 23 November 1970 No.26/1970 Pdt, tidak tepat dan tidak beralasan ;
- Menyatakan oleh karena itu bahwa pelawan adalah pelawan yang tidak benar ;
- Mempertahankan putusan verstek tanggal 23 November 1970 No. 26/1970 Pdt ;
- Menghukum pelawan, tergugat semula, untuk membayar biaya perkara
- Putusan MA-RI No.307.K/Sip/1975, tanggal 2 September 1976 :
Perlawanan
terhadap putusan verstek, tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara
baru ;
- Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1971, tanggal 2 September 1972 :
Pengadilan
Negeri telh memberikan putusan yang bersifat "verstek", padahal
seharusnya putusan tersebut bersifat atas bantahan (contradictoir) ;
Bantahan
(verzet) terhadap putusan yang bersifst "verstek" tersebut telah
diterima oleh Pengadilan Negeri, dan diperiksa serta diputusjkan sebagai
perkara bantahan terhadap putusan verstek, sedangkan upaya hukum terhadap
putusan yang bersifat contradictour adalah banding;
- Putusan MA-RI No.938.K/Pdt/1986, tanggal 30 Juli 1987 :
Judex-facti salah menerapkan hukum karena
pemriksaan verzet hanya berkisar pada penilaian tepat atau tidaknya alasan
ketidak hadiran tergugat memenuhi panggilan dan menyatakan verzet tidak
beralasan ;
Hal ini adalah keliru karena sesuai
ketentuan hukum, apabila syarat formil dapat diterima , maka Pengadilan Negeri
wajib memeriksa kembali gugatan semula ;
Pasal 125 ayat (3)
jo. Pasal 129 HIR/Pasal 149 ayat (3) jo. Pasal 153 RBg.
Pasal
129 ayat (2) HIR/Pasal 153 ayat (2) RBg.
- Putusan MA-RI No.4069.K/Pdt/1985, tanggal 14 Juli 1987 :
Terlepas dari keberatan-keberatan kasasi
putusan pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri harus dibatalkan, karena
judex-facti tidak salah menerapkan hukum acara tentang putusan verstek.
Tergugat yang dihukum secara verstek boleh
mengajukan perlawanan atas putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya, dalam
jangka waktu 14 hari sesudah putusan diberitahukan padanya.
Jika pemberitahuan putusan itu tidak
disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, maka perlawanan masih dapat
diajukan sampai hari ke 8 sesuah ada teguran ;
Penggugat tidak mengajukan bukti, maka
gugatan yang dikabulkan hanya terbatas jumlah yang diakui tergugat asal saja,
yaitu Rp. 600.00,- dengan bunga 6% setahun sejak gugatan didaftarkan di
Pengadilan Negeri ;
Karena yang diakui tergugat asal hanya
sejumlah RP. 600.00, maka kwitansi tersebut hanya bernilai sebagai permulaan
pembuktian, kwitansi yang menyatakan tergugat asal telah menerima uang RP.
2.000.000,- ternyata tidak ditulis sendiri atau setidak-tidaknya jumlah utang
tidak ditulis sendiri oleh tergugat ;
Pasal 153 ayat (1), (2), (3); 207, 291
ayat (1) RBg dan Pasal 1250 BW jo. 1902 BW;
- Putusan MA-RI No.524.K/Sip/1975, tanggal 20 Februari 1980 :
Verzet terhadap putusan verstek hanya
dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara , tidak boleh pihak ketiga ;
- Putusan MA-RI No.2146.K/Pdt/1986, tanggal 21 November 1990 :
Perlawanan
terhadap putusan verstek.
Dalam
hal perlawanan terhadap puusan verstek formil dpat diterima , gugatan semula
harus diperiksa kembali dengan para pihak tetap pada kedudukan aslinya.
Terlawan tetap sebagai penggugat dan pelawan tetap sebagai tergugat.
Putusan yang
menyatakan Pengadilan tidak berwenang mengadili, kompetensi absolut ataupun
relatif, dianggap sebagai putusan akhir (Eindvonnis), sehingga boleh dibanding
. Pasal 190 HIR/201 RBg-pasal 9 Undang-Undang No.20 Th, 1947
YURISPRUDENSI TENTANG PUTUSAN BELUM BERKEKUATAN HUKUM TETAP.
- Putusan MA – RI No. 1036.K/Sip/1971, tanggal 11 November 1975 :
Keberatan
yang diajukan Penggugat untuk kasisi : bahwa oleh Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri telah disahkan putusan Raad van Justitie Padang, tanggal 30
Oktober 1941 yang belum berkekuatan mutlak (belum berkekuatan hukum tetap),
karena belum diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara dulu (antara si
Atas dan si Kirom gelar Marahanda); kedua pihak masih berhak mengajukan kasasi
atas putusan Raad van Justitie tersebut;
Tidak
dapat dibenarkan, karena :
- Bahwa seandainya dianggap bahwa kasasi terdapat putusan Raad van Justite Padang No. 60/1941 tersebut masih dapat di lakukan, pemeriksaan kasasi kemungkinan besar tidak akan ada manfaatnya, karena setelah lewat waktu 30 tahun lebih dengan sendirinya situasi hukum nya sudah tidak sesuai dengan posita/fundamentum petendi dari gugatan aslinya ;
- bahwa judex facti tidak mengadakan pemeriksaan baru dari permulaan adalah tepat, sehingga sebenarnya gugatan hanya merupakan permohonan untuk melaksanakan putusan; yang diperiksa ialah apakah barang-barang yang disengketakan masih ada dan siapa yang bertanggung jawab terhadap barang tersebut;
- Putusan MA-RI No.1549..K/Sip/1974, tanggal 18 maret 1976 : Bahwa ternyata penggugat asal mendsarkan haknya atas sawah sengketa pada putusan pengadilan negeri Sigli No.286/1956 yang sekarang dalam taraf banding, yang walaupun di nyatakan putuan dapat dijalankan lebih dulu (= putusan serta merta) namun belum dilaksanakan (di eksekusi);
- Putusan MA-RI No.665. K/Sip/1971, tanggal 15 Desember 1971:
Dalam
mempertimbangkan sesuatu perkara dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum
jelas apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang
tepat untuk dipakai sebagai dasar dalam mengambil putusan ;
- Putusan MA-RI No.345.K/Sip/1973, tanggal 12 Desember 1973:
Bahwa
perkara yang sekarang diajukan ini sebenarnya merupakan sngketa mengenai
pelaksanaan (Eksekusi) N0.201/1966 yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti
dalam mana para pihak tidak sepakat mengenai nilai uang yang harus dibayarkan;
Meskipun
adalah lebih tepat apabila Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung memberikan
tafsirannya mengenai berapa yang harus dibayar sebagai pelaksanaan putusan
No.201/1966 tersebut, tetapi cara yang di tempuh sekarang dengan mengajukan
"gugatan baru" juga tidak bertentangan dengan hukum acara;
Eksepsi
tersebut lebih dulu dan kalau eksepsi tersebut ditolak, pokok perkaranya
diperiksa terus dan diputus. Jika gugatan diterima dan diputus dengan Verstek,
maka tergugat boleh mengajukan Verzet (perlawanan), Ps.129 HIR/153 RBg.
- Perlawanan (Verzet) dapat di ajukan, ps.129 HIR/153 RBg :
1.
Jika
putusan verstek tersebut diberitahukan langsung kepada tergugat, verstek
diajukan 14 hari setelah diberitahukan atau :
2.
Jika
tidak diberitahukan langsung kepada tergugat, verzet diajukan pada hari ke 8
sesudah tegoran atau : sesudah dipanggil secara sah (patut) tetapi tergugat
tidak datang yaitu hari ke 8 sesudah eksekusi, sesuai Ps.197 HIR/206 RBg;
Jika
pada waktu verzet itu tergugat tidak hadir lagi untuk kedua kali, maka tidak
ada lagi putusan verstek, dan gugatan verzet tersebut tidak dapat diterima.
Terhadap
putusan verstek tak dapat banding tetapi harus verzet dan terhadap putusan
verzet tersebut boleh diajukan banding;
Tetapi jika atas
putusan verstek itu, penggugat minta banding lebih dulu diperbolehkan dan
tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan putusan verstek tersebut
diputuskan terlebih dulu oleh Pengadilan Tinggi : pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang No.20 tahun 1947/200 RBg. Pasal 8 ayat (1) UU No.20 Th.
1947/Pasal 200 RBg tersebut kontroversial, tanpa hak-hak dan kewajiban yang
sama, dan merugikan tergugat. Sebaiknya tidak masuk dalam RUU Hukum Acara
Perdata nantinya.
YURISPRUNDENSI KEKUATAN PEMBUKTIAN PUTUSAN
- Putusan MA-RI No.199.K/Sip/1973, tanggal 27 Nopember 1975 :
Suatu putusan Hakim Pidana mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna dalam perkara Perdata, baik terhadap orang yang dihukum pada putusan
Hakim Pidana maupun terhadap pihak ketiga, dengan membolehkan adanya pembuktian
perlawanan (bukti balasan);
- Putusan MA-RI No.102.K/Sip/1972, tanggal 23 Juli 1973 :
- Apabila dalam perkara baru ternyata pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus lebih dulu, maka tidak ada "Ne bis in Idem";
- Prinsip yang terkandung dalam Ps. 1920 BW yakni bahwa putusan Pengadilan mengenai status seseorang berlaku penuh terhadap setiap orang dianggap juga berlaku dalam Hukum Adat, karena prinsip demikian itu ada hakekatnya melekat pada setiap putusan Pengadilan yang berisikan penentuan tentang status (perdata) seseorang; Oleh karena itu putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menetapkan bahwa Tergugat dalam kasasi adalah "Anak Angkat" dari almarhum BHH. Fatimah berlaku pula dalam perkara ini;
- Karena mengenai status dalam perundang-undangan tidak terdapat suatu prinsip seperti tersebut dalam Ps. 1920 BW, maka dengan penafasiran a contrario itu berarti bahwa putusan Pengadilan yang tidak mengenai status orang tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan pada azasnya hanya berlaku/mempunyai kekuatan pembuktian sempurna terhadap pihak-pihak yang berperkara itu, kekuatan pembuktian dari putusan Pengadilan tersebut tergantung pada penilaian Hakim, yang dapat menilainya sebagai pembuktian sempurna atau pembuktian permulaan;
YURISPRUDENSI BUKTI SUMPAH
- Menurut Yurisprudensi : Dalam hal sumpah tambahan ataupun sumpah pemutusan tidak disyaratkan harus perbuatan yang ia lakukan sendiri/dialami sendiri dan tidak harus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan secara pribadi. Pasal 1932-1939 BW : Tidak berlaku bagi sumpah tambahan;
- Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967 :
Sumpah suppletoir yang telah diucapkan dan
dipertimbangkan dalam putusan Pengadilan Negeri walaupun tidak dimuat dalam
Berita Acara dianggap telah diucapkan;
- Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967, tanggal 2 Juni 1971 :
Pengangkatan sumpah harus dilakukan oleh yang
bersangkutan sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain meskipun ahli
waris, kecuali apabila ada Surat Kuasa Khusus untuk itu;
- Putusan MA-RI No.809.K/Sip/1973, tanggal 18 Maret 1976 :
Untuk sumpah Tambahan (Suppletoir), lain daripada untuk
sumpah decisior, tidak diisyaratkan harus berkenan dengan perbuatan yang
dilakukan sendiri oleh orang yang disumpah;
- Putusan MA-RI No.398.K/Sip/1967, tanggal 2 Juni 1971 :
Karena sumpah suppletoir yang telah diucapkan yang
bersangkutan tidak secara formal dimuat dalam Berita Acara Persidangan
Pengadilan Negeri, haruslah diperintahkan agar pengucapan sumpah tersebut
diulangi lagi;
- Putusan MA-RI No.324.K/Sip/1973, tanggal 9 Juli 1973 :
Sumpah tambahan (suppletoir) yang mengenai hal-hal yang
tidak dialami sendiri oleh yang bersumpah, adalah tidak sah;
- Putusan MA-RI No.18.K/Sip/1975, tanggal 29 April 1976 :
Sumpah
suppletoir yang dibebankan kepada Penggugat asal untuk membuktikan bahwa yang
mempunyai hak milik atas harta sengketa adalah almarhum Pak Mertokromo adalah
salah, karena hal tersebut bukanlah fakta-fakta yang ia alami sendiri;
- Putusan MA-RI No.200.K/Sip/1974, tanggal 15 April 1976 :
Oleh
karena Tergugat-Pembanding (Tolong Karo-karo) telah meninggal dunia, maka
sumpah tambahan (Suppletoir) yang akan diucapkan Tergugat-Pembanding dalam
Putusan Sela Pengadilan Tinggi tanggal 25 Juli 1970 No. 528/1967 dibebankan
kepada seluruh ahli warisnya yaitu dengan mengingat Ps. 185 HIR;
- Putusan MA-RI No.104.K/Sip/1952, tanggal 17 Desember 1953 :
Perjanjian simpan menyimpan mempunyai 2 anasir :
- Bahwa pemberi simpan adalah yang berhak atas barang-barang yang bersangkutan;
- Bahwa memang ada perjanjian simpan-menyimpan;
Dengan telah terbuktinya Penggugat asli sebagai yang
berhak atas "Grant" tersebut pembebanan sumpah tambahan (suppletoir)
kepada Penggugat-asli ini tidaklah melanggar Pasal 182 RBg;
- Putusan MA-RI No.316.K/Sip/1974, tanggal 25 Maret 1976 :
Syarat pembebanan sumpah Suppletoir ialah harus ada
permulaan pembuktian dari yang bersangkutan, sedang disini ternyata permulaan
pembuktian tidak ada sama sekali, sebab saksi pertama dari pihak
Penggugat-asal, Halimah, yang mula-mula di dengar sebagai saksi kemudian
dijadikan Penggugat asal III (Voeging) sehingga ia mempunyai kepentingan dalam
perkara ini dan Penggugat asal I, Saleha, yang melakukan sumpah Suppletoir itu,
masih di bawah umur sewaktu terjadi peristiwa pengambilan perhiasan-perhiasan
itu oleh Tergugat-asal I: Di samping itu Hakim Pengadilan Negeri sendiri dalam
pertimbangannya meragukan tentang pembebanan sumpah suppletoir kepada Penggugat
asal adalah tidak tepat;
- Putusan MA-RI No.898.K/Sip/1974, tanggal 13 Juli 1978 :
Cara pembuktian yang dilakukan Pengadilan Negeri dalam
perkara ini adalah tidak tepat, karena sumpah tambahan (suppletoir) yang
dibebankan kepada Penggugat berisikan kata-kata yang seolah-olah menunjukkan
telah dibelinya tanah sengketa padahal justru dengan sumpah itulah akan
dibuktikan ada tidaknya jual-beli yang bersangkutan;
- Putusan MA-RI No.39.K/Sip/1951, tanggal 31 Juli 1952 :
Pengadilan Tinggi yang telah menolak permintaan Penggugat
asal/Pembanding agar pihak lawan disumpah, dengan alasan karena dengan adanya
sumpah telah cukup alasan untuk menolak dakwa;
Telah melanggar Pasal 156 (1) HIR, maka putusannya harus
dibatalkan dengan diperintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk memberi
kesempatan kepada Tergugat asal/Terbanding mengangkat sumpah dan apabila sumpah
ditolak, untuk memberi kesempatan kepada Penggugat asal/Pembanding mengangkat
sendiri sumpah termaksud;
- Putusan MA-RI No. 1015.K/Sip/1972, tanggal 30 Juli 1974 :
Bahwa untuk membuktikan bahwa dia betul-betul telah
menerima barang-barang sengketa tersebut di atas dari MONAH secara hibah,
Tergugat I sudah melaksanakan sumpah Mimbar (Decisior) yang dikenakan
kepadanya;
Bahwa sumpah Mimbar tersebut mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna tentang hal bahwa dia, Tergugat I, telah menerima langsung dari
MONAH barang-barang tersebut, tetapi tidaklah tentang hal bahwa harta itu milik
asal dari MONAH seluruhnya;
Keberatan yang diajukan dalam kasasi : bahwa Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan Pasal 156 HIR karena memandang
bahwa sumpah Mimbar (sumpah Decisior) dipakai tidak untuk menentukan selesainya
perkaral tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI;
- Putusan MA-RI No.575.K/Sip/1978, tanggal 4 Mei 1976 :
Permohonan sumpah decisior (sumpah penentu, sumpah
mimbar, sumpah pemutus) hanya dapat dikabulkan kalau dalam suatu perkara sama
sekali tidak terdapat bukti-bukti;
YURISPRUDENSI BUKTI PERSANGKAAN
- Putusan MA-RI No.991.K/Sip/1975, tanggal 24 Juli 1958 :
Dugaan (Persangkaan) Pengadilan Tinggi tentang adanya
hubungan dagang tersebut, tidak sesuai dengan dugaan/persangkaan yang
dibolehkan oleh Undang-Undang karena Pengadilan Tinggi hanya mendasarkan
dugaan/persangkaan tersebut pada keterangan-keterangan saksi yang tidak
sempurna dan pula saksi-saksi tersebut memberi keterangan tidak di bawah
sumpah;
- Putusan MA-RI No.308.K/Sip/1959, tanggal 11 Nopember 1959 :
"Testimonium De Auditu" tidak dapat digunakan
sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai
"Persangkaan", yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah
dilarang;
YURISPRUDENSI BUKTI PENGAKUAN
- Putusan MA-RI No.8.K/Sip/1957, tanggal 28 Mei 1958 :
Tentang pengakuan yang tidak
terpisahkan ("Onsplitbaar Aveau").
Penggugat-asli menuntut kepada
Tergugat-asli penyerahan sawah sengketa kepada Penggugat-asli bersama kedua
anak-anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah budel warisan dari Marhum
suaminya yang kini dipegang oleh Tergugat-asli tanpa hak; yang atas gugatan
tersebut Tergugat-asli menjawab, bahwa sawah itu kira-kira 15 tahun yang lalu
sudah dibeli plas (lepas) dari Penggugat-asli oleh Marhum suami Tergugat-asli.
Jawaban Tergugat-asli tersebut
merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar Aveau),
maka sebenarnya Penggugat-aslilah yang harus dibebani untuk membuktikan
kebenaran dalilnya, i.e. bahwa sawah sengketa adalah milik Marhum suaminya;
- Putusan MA-RI No. 272.K/Sip/1973, tanggal 27 Nopember 1975 :
Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (=
pengakuan yang terpisah-pisah) ialah, bahwa dalam hal ada pengakuan yang
terpisah-pisah, Hakim bebas menentukan untuk pada siapa dibebankan kewajiban
pembuktian;
- Putusan MA-RI No.288.K/Sip/1973, tanggal 16 Desember 1975 :
Berdasarkan
yurisprudensi tetap mengenai hukum pembuktian dalam Acara, khususnya Pengakuan,
Hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai tidak mutlak karena diajukan
tidak sebenarnya; Hal bilamana terdapat suatu pengakuan yang diajukan tidak
sebenarnya merupakan wewenang Judex facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan
tingkat kasasi; i.e. Pengadilan Tinggi mempertimbang-kan : bahwa pengakuan
Tergugat I/turut terbanding, yang memihak pada para Penggugat/Terbanding, tidak
disertai alasan-alasan yang kuat (met Redenen Omkleed) maka menurut hukum tidak
dapat dipercaya;
- Putusan MA-RI No.117.K/Sip/1956, tanggal 12 Juni 1957 :
Pengakuan dengan tambahan.
Dalam hal pengakuan disertai tambahan yang tidak ada
hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan yurisprudensi dinamakan
"Gekwalificeerde bekentenis", pengakuan dapat dipisahkan dari
tambahannya;
- Putusan MA-RI No.22.K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1976 :
Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, Hakim bebas
untuk mennetukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan
pembuktian;
YURISPRUDENSI ALAT BUKTI SAKSI
- Putusan MA-RI No.191.K/Sip/1962, tanggal 10 Oktober 1962 :
Berapa
banyak Saksi Ahli yang harus didengar dan penilaian atas keterangan saksi
terserah kepada kebijaksanaan Hakim yang bersangkutan dan hal ini tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi;
- Putusan MA-RI No.213.K/Sip/1955, tanggal 10 April 1957 : Bagi Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak ada keharusan untuk mendengar seorang Saksi Ahli berdasarkan Ps. 138 ayat (1) jo. Ps. 164 HIR;
Penglihatan
Hakim di sidang tentang adanya perbedaan antara dua buah tangan- tangan dapat
dipakai oleh Hakim sebagai pengetahuannya sendiri dalam usaha pembuktian;
- Putusan MA-RI No.300.K/Sip/1973, tanggal 10 April 1973 :
Saksi
bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146 ayat (1) HIR, sedang
saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri;
- Putusan MA-RI No.140.K/Sip/1974, tanggal 6 Januari 1976 :
Bekas suami menurut Hukum Acara yang berlaku (pasal 172
RBg) tidak boleh di dengar sebagai saksi;
- Putusan MA-RI No.84.K/Sip/1975, tanggal 25 Juni 1973 :
Persaksian dari ibu tiri, sesuai dengan Pasal 145 ayat (1)
HIR harus dikesampingkan;
- Putusan MA-RI No.1409.K/Sip/1975, tanggal 12 Mei 1976 :
Bahwa Pengadilan Negeri telah memeriksa HM. Tohir selaku
saksi di luar sumpah dengan alasan saksi ini kakak kandung
Penggugat/Terbanding;
Bahwa berdasarkan Pasal 145 ayat (4) HIR Pengadilan dapat
memeriksa seorang saksi di luar sumpah terhadap anak-anak yang umurnya tidak
dapat diketahui benar sudah cukup 15 tahun atau orang gila yang kadang-kadang
ingatannya terang;
Bahwa terhadap H.M. Tohir tesebut seharusnya diterapkan ketentuan
Pasal 146 ayat (1) sub 1 HIR;
Bahwa oleh karena itu keterangan HM. Tohir itu tidak mempunyai kekuatan bukti
menurut Undang-Undang;
- Putusan MA-RI No.90.K/Sip/1973, tanggal 29 Mei 1975 :
Karena keterangan-keterangan dari Ambu Samilin diberikan
tidak dibawah sumpah, keterangan-keterangan tersebut hanya dinilai sebagai
petunjuk untuk menambah keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah lainnya.
- Putusan MA-RI No.218.K/Sip/1956, tanggal 12 Juni 1957 :
Tidak ada keberatan menurut hukum untuk meluluskan
permintaan salah satu pihak agar kuasa dari lawannya di dengar sebagai saksi;
- Putusan MA-RI No.731.K/Sip/1975, tanggal 16 Desember 1976 :
Dalam
Berita Acara sidang pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat,
diperiksa 2 (dua) orang saksi secara bersama-sama dan sekaligus;
·
Hal ini
adalah bertentangan dengan Pasal 144 ayat (1) RID (salah menerapkan hukum)
sehingga kedua keterangan saksi tersebut tidak dapat dipergunakan;
·
Ration
dari Pasal 144 ayat (1) RID ialah agar kedua saksi tak dapat menyesuaikan diri
dengan keterangan masing-masing, sehingga diperoleh keterangan saksi yang
obyektif dan bukan keterangan saksi yang sudah bersepakat menyatakan hal-hal
yang sma mengenai sesuatu hal;
YURISPRUDENSI KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA
- Putusan MA-RI No. 50.K/Sip/1962, tanggal 7 Juli 1962 :
Tentang bukti surat yang tidak disangkal.
Dengan tidak menggunakan alat pembuktian berupa saling
tidak disangkalnya isi surat-surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak,
Judex facti tidak melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh
Undang-Undang, maka putusannya harus dibatalkan;
- Putusan MA-RI No.74.K/Sip/1955, tanggal 11 September 1975 :
Apabila
isi surat dapat diartikan dua macam, ialah
menguntungkan dan merugikan bagi penandatangan surat itu, penandatanganan ini patut dibebani
untuk membuktikan Positumnya;
- Putusan MA-RI No.1122.K/Sip/1971, tanggal 22 Oktober 1975 :
Bukti
surat kwitansi itu (P.1. merah), tidaklah merupakan suatu ikatan sepihak di
bawah tangan, oleh karena kwitansi itu tidak seluruhnya ditulis oleh Tergugat/
Pembanding sendiri ataupun paling sedikit selain tanda tangan harus ditulis
dengan tangan Tergugat/Pembanding sendiri suatu persetujuannya yang memuat
jumlah uang yang telah diterima;
- Putusan MA-RI No.983.K/Sip/1972, tanggal 28 Agustus 1975 :
Kwitansi yang diajukan oleh Tergugat sebagai bukti,
karena tidak bermaterai, oleh Hakim dikesampingkan;
- Putusan MA-RI No.701.K/Sip/1974, tanggal 1 April 1976 :
Karena
Judex facti mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri
dari foto-foto copy yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya,
sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih
dipertengkarkan oleh kedua pihak, Judex facti sebenarnya telah memutuskan
perkara ini berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah;
- Putusan MA-RI No.167.K/Sip/1959, tanggal 20 Juni 1959 :
Surat bukti pinjam uang yang diakui tanda tangannya
tetapi disangkal jumlah uang pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan
pembuktian tertulis;
- Putusan MA-RI No.3901.K/Pdt/1985, tanggal 29 Nopember 1988 :
Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang
yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan (P.III), tidak mempunyai
kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian);
- Putusan MA-RI No.383.K/Sip/1971, tanggal 3 Nopember 1971 :
Tidak dimintakannya pembatalan Sertifikat Hak Milik
(SHM), dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.
Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan
oleh instansi Agraria (sekarang : Kantor Badan Pertahanan) secara sah tidak
termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-mata termasuk wewenang Pengadilan
melainkan semata-mata termasuk wewenang administrasi/
Pembatalan surat bukti hak milik harus diminta oleh pihak
yang dimenangkan Pengadilan kepada instansi Agraria berdasarkan putusan
Pengadilan yang diperolehnya;
- Putusan MA-RI No.3738.K/Pdt/1987, tanggal 14 Pebruari 1990 :
- Wewenang Mahkamah Agung untuk menjatuhkan Putusan Sela dan menambah pemeriksaan sendiri. Apabila dianggap perlu Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan Putusan Akhir dapat menjatuhkan Putusan Sela. Dalam perkara ini Putusan Sela dijatuhkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri;
- Oleh karena surat-surat yang diajukan sebagai bukti adalah surat-surat palsu, maka penggugat dianggap telah tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya;
- Putusan MA-RI No.4069.K/Pdt/1985, tanggal 14 Juli 1987 :
Kekuatan bukti Akta di bawah tangan.
- Untuk memenuhi perumusan dalam Undang-Undang seyogyanya dalam pertimbangan yang terlepas daari dalam Kasasi yang diajukan ditambahkan bahwa hal itu dilakukan berdasarkan alasan kasasi Mahkamah Agung sendiri;
- Nampak kwitansi dianggap sebagai akta di bawah tangan yang bersifat sepihak dan kewajiban untuk melunaskan hutangnya (Pasal 291 ayat(1) RBg).
- Untuk Jawa dan Madura Stb. 1867-29 tanggal 14 Maret 1967 tentang kekuatan bukti akta di bawah tangan orang Indonesia dan yang disamakan dengan orang Indonesia.
YURISPRUDENSI TENTANG BEBAN PEMBUKTIAN
- Putusan MA-RI No. 162.K/Sip/1955, tanggal 21 Nopember 1956 :
Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus
membuktikan hal yang tidak biasa itu; i.e. orang yang diberi hak untuk memungut
uang sewa pintu-pintu toko mengajukan bahwa pintu-pintu Toko tersebut tidak
selalu menghasilkan sewa;
- Putusan MA-RI No.74.K/Sip/1955, tanggal 11 September 1957 :
Apabila
isi surat dapat diartikan 2 macam, ialah
menguntungkan dan merugikan bagi penandatangan surat, penandatanganan ini patut dibebani
untuk membuktikan positumnya;
- Putusan MA-RI No. 108.K/Sip/1954, tanggal 10 Januari 1957 :
Pihak yang mengendalikan bahwa Cap dagang yang telah
didaftarkan oleh pihak lawan telah 3 tahun lamanya tidak dipakai, harus
membuktikan adanya non-usus selama 3 tahun itu; dan tidaklah tepat bila dalam
hal ini beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, ialah untuk membuktikan
bahwa ia selama 3 tahun itu secara terus menerus menggunakan Cap dagang
termaksud;
- Putusan MA-RI No.22.K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1976 :
Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas
untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan
pembuktian;
- Putusan MA-RI No. 197.K/Sip/1956, tanggal 30 Desember 1957 :
Dalam
sengketa jual beli dimana pihak pembeli mendalilkan bahwa ia belum menerima
seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual membantah
dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang
dijual-belikan, pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak
dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual mengenai
barang-barang yang telah diserahkannya.
- Putusan MA-RI No. 94.K/Sip/1956, tanggal 10 Januari 1957 :
Dalam hal Penggugat mendalilkan bahwa : ia menuntut
penyerahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini diduduki oleh
Tergugat oleh karena pekarangan tersebut dulu hanya dipinjamkan saja oleh
Penggugat kepada Tergugat;
Sedang Tergugat membantah dengan dalil : bahwa pekarangan
tersebut dulu benar milik Penggugat tetapi pekarangan itu telah dibelinya dari
Penggugat;
Pembebanan pembuktian haruslah sebagai berikut :
- Penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada Tergugat, dan
- Kepada Tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang pembelian lepas tanah tersebut;
- Putusan MA-RI No. 540.K/Sip/1972, tanggal 11 September 1975 :
Karena
Tergugat asal menyangkal, Penggugat asal harus membuktikan dalilnya;
Alasan
Pengadilan Tinggi untuk membebankan pembuktian pada Penggugat asal karena
Tergugat asal menguasai sawah sengketa bukan karena perbuatan melawan hukum;
adalah tidak berdasarkan hukum;
YURISPRUDENSI PENGGABUNGAN GUGATAN
- Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1971, tanggal 3 Desember 1974 :
HIR
tidak mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah Hakim dalam hal mana
diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan murah;
- Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972 :
Menurut
Jurisprudensi, dimungkinkan "penggabungan" gugatan-gugatan jika
antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan yang erat, tetapi adalah tidak
layak dalam bentuk perkara yang satu (No. 53/1972.G) dijadikan gugatan
rekonpensi terhadap perkara yang lainnya (No. 521/1971.G);
- Putusan MA-RI No. 677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972 :
Dua
perkara yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi, masing-masing tunduk
pada Hukum Acara yang berbeda, tidak boleh digabungkan seperti : Perkara atas
dasar Undang-Undang No. 21 tahun 1961 dengan perkara atas dasar Pasal 1365 BW;
- Putusan MA-RI No. 880.K/Sip/1973, tanggal 6 Mei 1975 :
Bahwa oleh Hakim pertama ke 3 buah gugatan tersebut
digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal
24 Januari 1969 No. 10/ 1968/Mkl;
Bahwa ke 3 gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya,
sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan itu tidak diatur dalam RBg. (juga
HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan
menghindarkan kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan, maka
penggabungan itu memang ditinjau dari segi acara (processuel doematig);
- Putusan MA-RI No. 1652.K/Sip/1975 :
Kumulasi dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu
dengan lainnya tidak bertentangan dengan Hukum Acara (Perdata) yang berlaku;
- Putusan MA-RI No. 677.K/Sip/1972, tanggal 20 Desember 1972 :
Suatu
perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak dapat
digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat
umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain;
Misalnya
: Gugatan perdata umum digabungkan dengan gugatan
perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH dan tuntutan ganti rugi digabungkan
dengan perkara mengenai hak atas Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-ketentuan
tentang HAKI.
- Putusan MA-RI No. 201.K/Sip/1974, tanggal 28 Agustus 1976 :
Karena sawah-sawah tersebut pemilikny berlainan,
seharusnya masing-masing pemilik itu secara sendiri-sendiri menggugat
masing-masing orang yang merugikan hak mereka dan kini memegang sawah-sawah
itu; kumulasi gugatan-gugatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain seperti
yang dilakukan sekarang ini, tidak dapat dibenarkan;
- Putusan MA-RI No.123.K/Sip/1963, tanggal 13 Juli 1963 :
Dengan digabungkannya 3 perkara menjadi satu, surat-surat
kuasa yang oleh salah satu pihak diberikan kepada seorang kuasa yang ada pada
ke 3 perkara tersebut seharusnya juga dipertimbangkan sebagai satu kesatuan;
sehingga ketidak sempurnaan yang terdapat pada salah satu dari surat-surat
kuasa itu harus-lah dianggap telah diperbaiki oleh surat Kuasa lainnya;
- Putusan MA-RI No.343.K/Sip/1975, tanggal 17 Pebruari 1977 :
Karena antara Tergugat-Tergugat I s.d. IX tidak ada
hubungannya dengan lainnya, tidaklah tepat mereka digugat sekaligus dalam satu
Surat Gugatan; seharusnya mereka digugat satu per satu secara terpisah.
Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;
- Putusan MA-RI No.885.K/Sip/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Penggabungan Perkara.
Menurut hemat saya (Prof. Asikin Kusumah Atmadja, SH),
putusan Mahkamah Agung sudah tepat dengan alasan-alasan sebagai berikut :
- Penggabungan perkara selalu terjadi atas inisiatif para/salah satu pihak;
- Perkara perlawanan terhadap sita tanggungan (C.B.) bukan merupakan pokok perkara, sehingga penggabungan mempunyai akibat perlawanan masuk dalam pokok perkara;
- Seharusnya kalau dianggap ada alasan, perkara-perkara tersebut diperiksa oleh Majelis yang sama;
- Putusan MA-RI No. 867.K/Pdt/1985, tanggal 4 Agustus 1987 :
Catatan : Prof. Asikin Kusumah
Atmadja, SH :
Penggabungan
Perkara
UMUM
:
- Mengenai "penggabungan gugatan" masih diperlukan perhatian yang lebih seksama lagi istilah yang dipakai antara lain :
·
Samenloop
van Rechtsvordering (Concursus),
STAR BUSMANN, hlm. 177.
·
Samenvoeging
van vordering, obyectieve cumulatie, Edisi
CREMERS - Wetboek Burgelijke Rechtvorderingen Wet RO, hlm. 19;
Cumulatie
van vordering (hlm. 1-8a) BRv tentang azas Hukum Acara oleh beberapa Sarjana
Belanda a.l. : Funke.
Di dalam
RID hal penggabungan
gugatan-gugatan tidak diatur,
akan tetapi penggabungan gugatan-gugatan dikembangkan berdasarkan Yurisprudensi, buku-buku yang diuraikan di atas memberikan komentar mengenai penggabungan gugatan-gugatan sebagai salah satu aspek dari Ps. 1 Buku I BRv tentang hal penggabungan gugatan-gugatan.
akan tetapi penggabungan gugatan-gugatan dikembangkan berdasarkan Yurisprudensi, buku-buku yang diuraikan di atas memberikan komentar mengenai penggabungan gugatan-gugatan sebagai salah satu aspek dari Ps. 1 Buku I BRv tentang hal penggabungan gugatan-gugatan.
- Pengertian lain lagi ialah penggabungan perkara-perkara (bukan peng-gabungan gugatan-gugatan) mengenai sengketa yang mempunyai hubungan yang erat yang mendasar dan semula ke 2 (dua) perkara tersebut diperiksa sebagai 2 (dua) perkara yang terpisah dengan 2 (dua ) Nomor Register oleh seorang Hakim (Majelis) dapat dimintakan (jadi atas permintaan) baik oleh Tergugat/Penggugat untuk digabungkan menjadi satu perkara dengan satu Nomor Register;
- Putusan MA-RI No. 885.K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 :
Salah melaksanakan tertib Hukum Acara.
Perkara ini merupakan gabungan
dari perkara No. 250/Pdt/1983/PN Mdn, mengenai tanah seluas 110 Ha
milik Penggugat yang telah dikuasai dan diperjual belikan secara melawan hukum
oleh para Tergugat;
Dengan perkara-perkara perlawanan (verzet) masing-masing
No.34/VZ/Pdt/ 1983/PN Mdn, No.33/VZ/Pdt/1933/PN Mdn, No.27/VZ/Pdt,
No.28/VZ/Pdt/1983/ PN Mdn, No. 29/VZ/Pdt/1983/ PN Mdn, dan No. 30/VZ/Pdt/1983/
PN Mdn. Penggabungan dilakukan ditingkat banding tanpa permohonan para pihak;
Dari penggabungan ini kedudukan para Pelawan menjadi
Tergugat bertentangan dengan kehendak para Pelawan dan akan menempatkan
kedudukan para Pelawan di dalam hukum pembuktian berlawanan dengan kedudukannya
semula sebagai Pelawan, dan hal itu dapat mempersulit para Tergugat baru itu
dalam menghadapi gugatan;
YURISPRUDENSI TENTANG SUBYEK HUKUM (PARA PIHAK) DALAM GUGATAN PERKARA. (1)
- Putusan MA-RI No. 419.K/Sip/1988, tanggal 22 Oktober 1992 :
Suatu
Badan Hukum seperti PT yang mengadakan, membuat dan menanda tangani
"perjanjian" dengan pihak subyek hukum lainnya (bila terjadi
wanprestasi dan tuntutan ganti rugi) haruslah ditujukan terhadap Badan Hukum
(PT) dan bukan ditujukan pada Direktur (Utama) Badan Hukum tersebut. Gugatan
yang ditujukan Ir.S. untuk diri sendiri dan sebagai Direktur PT. Graha Gapura
berarti seolah-olah memisahkan antara Direktur PT dengan PT. Graha Gapura itu
sendiri, sehingga gugatan terhadap Tergugat Ir. S tersebut Obscuur Libel dan
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Mengenai
tidak digugatnya PT. Graha Gapura sebagai Tergugat, sedangkan Ir. S. telah
tidak lagi menjabat Direktur tersebut, maka gugatan menjadi kabur maka
seharusnya yang digugat adalah terhadap PT. Graha Gapura dan PT. Rencong Aceh
dan bukan kepada Direkturnya;
- Putusan MA-RI No.2322.K/Pdt/1986, tanggal 30 Maret 1988 :
Tentang Kasus Tanah Adat di Jayapura, kemudian di PK dan
dalam Putusan MA-RI No.
381.PK/Pdt/1989, tanggal 28 Juli 1992 membatalkan putusan MA-RI No.
2322.K/Pdt/1986 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri Jayapura serta mengabulkan gugatan para Penggugat sebahagian dan
menyatakan tanah sengketa adalah tanah adat yang dimiliki para Penggugat secara
turun menurun serta menghukum T.I, T.IV, T.VIII, membayar ganti rugi kepada
para Penggugat Rp 18.600.000.000,- (Delapan
Belas Milyar Enam Ratus Juta Rupiah), masing-masing untuk 1/6
bagian : Dalam Surat MA-RI No. KMA/126/IV/1985, tanggal 5 April 1995 dinyatakan
bahwa para Pejabat Negara tersebut (Gubernur Kepala Daerah TK. I Irian Jaya dan
kawan-kawan) bukan merupakan Badan Hukum Publik yang mempunyai harta kekayaaan
tersendiri, maka putusan MA-RI tidak dibatalkan dan tetap ada, hanya saja tidak
dieksekusi. Gubernur Kepala Daerah TK. I adalah "Wakil" dari Daerah
TK. I sedang status Daerah TK. I itulah yang Badan Hukum Publik.
Pasal 23 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok Pemerintah Daerah menyatakan : "Bahwa Kepala Daerah (KDH)
mewakili daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan". Jadi sebagai wakil di
daerahnya dan tidak boleh disimpulkan bahwa Gubernur Kepala Daerah adalah Badan
Hukum Publik.
Pasal tersebut harus diartikan, yang disebut Badan Hukum
Publik adalah Daerah Tk. I, sedang Gubernur berstatus sebagai yang mewakilinya,
sehingga tanggung jawab yuridis tetap ada pada Badan Hukum Publik yaitu Daerah
Tk. I. Surat MA-RI tersebut, timbul berhubung dengan kewenangannya sebagaimana
Pasal 32 Undang-Undang No. 14 tahun 1985 (Vide : Pendiriann P.P-IKAHI);
- Putusan MA-RI No.244.K/Sip/1959, tanggal 5 Januari 1959 : Gugatan penyerahan kembali harta warisan yang dikuasai seseorang tanpa hak, dapat diterima walaupun tidak semua ahli waris ikut sebagai pihak (Saudara kandung Penggugat), karena Tergugat tidak dirugikan dalam pembelaannya;
- Putusan MA-RI No.25.K/Sip/1973, tanggal 30 Mei 1973 :
Menurut Statuten CV. diurus oleh Direktur yang bertindak
di dalam dan diluar Pengadilan, sedang Pasal 19-21 KUHD didalam CV. tak ada
Direktur Utama, maka gugatan yang diajukan oleh "Direktur Utama" atas
nama CV. tidak dapat diterima;
- Putusan MA-RI No.495.K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 : Karena kontrak adalah dengan CV. Palma, gugatan yang diajukan oleh Achmad Paeru, Direktur CV. Palma tersebut secara pribadi, seharusnya tidak dapat diterima;
- Putusan MA-RI No.495.K/Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1975; Penggugat sebagai debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban-kewajiban, ialah kewajiban untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi suatu pengajuan gugatan harus ada suatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan;
- Putusan MA-RI No.1771.K/Sip/1975, tanggal 19 April 1979 : Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena itu gugatan ditujukan terhadap Tergugat Pribadi, sedang gugatan itu mengenai tindakan-tindakannya dilakukannya sebagai Pejabat;
- Putusan MA-RI No.174.K/Sip/1974, tanggal 6 Maret 1975 : Tentang saksi sebagai Kuasa pihak.
Source : http://syafruddinsh.blogspot.com/2011/04/yurisprudensi-putusan-dan-perlawanan.html
No comments:
Post a Comment
No SARA please..